Filsafat

Kritik atas Kritik Ismantoro atas Buku “Mitos Merebut Negara”: Perjuangan Tanpa (Kesadaran) Kelas

Sanggahan Ismantoro Dwi Yuwono atas gagasan saya di buku “Mitos Merebut Negara” dapat dikatakan menarik. Ketertarikan saya atas sanggahan tersebut ada pada posisi penting “Perjuangan Kelas” yang merupakan salah satu konsep penting, sehingga frasa itu dijadikan bagian dari judul tulisan tersebut (Kesadaran & Perjuangan Kelas: Sanggahan Untuk Jun Bramantyo).[1]

Tulisan ini bertujuan untuk mengkritik tulisan tersebut sambil di sisi lain menegaskan posisi pembacaan saya atas Marx. Selain itu tulisan ini akan mengargumentasikan bahwa marxisme mengungkapkan eksploitasi dalam sistem kerja-upahan bukan untuk mendorong perlawanan pekerja terhadap modal, melainkan lebih jauh dari itu, marxisme hadir sebagai kritik luas terhadap sistem kerja-upahan itu sendiri. Tujuan marxisme bukan untuk membebaskan pekerja dari cengkeraman modal, melainkan lebih jauh dari itu, untuk membebaskan proletariat dari status pekerja upahan itu sendiri. Inilah yang tidak banyak dipahami oleh para leninis-bolshevik atau sosialis bersettingkan panorama mata abad-20.

Ismantoro tidak setuju apabila perjuangan kelas dipandang sebagai konsep dangkal belaka:

“Namun, yang perlu untuk mendapat catatan di sini adalah, Marx mengatakan itu untuk menunjukkan kalau dalam masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan akan berdampak pada terjadinya pertarungan antarkelas, dan pertarungan inilah yang kemudian akan mendorong terjadinya pergantian kelas. Dengan kata lain, titik berat yang ditekankan oleh Marx adalah perjuangan kelas.”[2]

Tulisan ini merupakan ‘sanggahan’ Ismantoro atas posisi saya sebagai orang yang memperlakukan konsep “perjuangan kelas” secara kejam. Mungkin ada benang kusut di sini, dan tulisan ini yang akan saya fungsikan sebagai penarik benang tersebut agar lurus kembali. Mengkonotasikan pandangan saya secara negatif sebagai orang yang memperlakukan konsep “perjuangan kelas” dan bahkan “kelas” sebagai manifestasi dangkal dari proses yang jauh lebih dalam, sama dengan mengkonotasikan secara positif bahwa harga komoditi dapat dikatakan sebagai perwujudan yang tampak di permukaan untuk nilai-nilai terdalam mereka. Ismantoro memperingatkan kita semua bahwa sebagai sosialis, kita mesti menjadi pembela salah satu kutub hubungan sosial yang ada. Dengan geram ia meneriakkan ‘sanggahan’:

“Dengan demikian, ketidakinginan kaum buruh untuk bersatu menjadi satu kelompok yang bernama kelas, dan ketidakpeduliannya terhadap politik, atau anti-politiknya kaum buruh, bukanlah watak mendasar yang tidak dapat diubah. Anti-politik di kalangan kaum buruh, berdasarkan ajaran Marx dan Engels, dapat diubah dengan cara menghancurkan kesadaran palsu yang mencengkram isi kepala mereka, membuka lebar-lebar mata mereka, dan menunjukkan kalau mereka saat ini sedang dalam kondisi tertindas, dan mereka dapat mengakhirinya. “Diam sekarang bukanlah emas, diam adalah tindakan membiarkan penindasan semakin merajalela”, begitu kira-kira kalimat yang seharusnya disampaikan kepada kaum buruh untuk membuka mata dan pikiran mereka. Dan, dengan demikian pula, tindakan-tindakan pengorganisasian buruh berbasiskan kelas bukanlah tindakan yang bodoh, naif, dan cacat sebagaimana dikatakan oleh Jun Bramantyo, melainkan tindakan-tindakan yang justru dapat membebaskan kaum buruh dari kesadaran palsu.”[3]

Dalam tulisan ini, saya akan memperkenalkan beberapa masalah dari pendekatan “perjuangan kelas” Ismantoro Dwi Yuwono (yang dianggapnya diambil dari Marx) di tulisan ‘sanggahan’ untuk buku saya.

Tulisan ini bukan penegasan mati-matian atas argumen Marx didalam karya-karyanya. Karl Marx tidak membutuhkan orang seperti saya untuk menegaskan argumentasinya. Saya hanya memeriksa ‘sanggahan’ Ismantoro menggunakan teori Marx untuk meningkatkan pemahaman saya lebih jauh lagi tentang argumen-argumen Marx. Secara pribadi, saya pikir tidak ada cara yang lebih ampuh untuk memahami suatu argumentasi selain dari mempelajari argumen yang dibuat menentangnya.

Berikut adalah poin-poin yang menjadi masalah dari pendekatan “perjuangan kelas” atas materialisme-historis Karl Marx:

Poin 1: Ismantoro – jika konsisten – berpendapat bahwa penciptaan komoditi secara asali berhutang pada modal dan bukan tenaga kerja

“Berangkat dari hubungan yang bersifat hierarkis tersebut, maka munculah hubungan penindas (baca: yang mengeksploitasi – ed) dan yang ditindas (baca: yang dieksploitasi – ed).”[4] Yang jika ditarik lebih jauh menggunakan analogi Marxian, Ismantoro seharusnya – jika konsisten – akan berpendapat jikalau hukum-hukum nilai itu sendiri didasarkan pada perjuangan kelas. Maksudnya? Berikut saya sajikan paragraf yang menjelaskan hal tersebut diatas meja:

“Dalam perspektif Marxisme, kelas tidak hanya diikat oleh kepemilikan terhadap alat produksi, tetapi juga keberadaannya ditentukan oleh posisi setiap orang dalam hubungan hierarkis mereka terhadap kepemilikan alat produksi. Ketentuan itulah yang kemudian mengelompokan setiap orang pada kelompok yang memiliki alat produksi dan yang tidak memiliki alat produksi. Kelompok pertama disebut sebagai kelas kapitalis, dan kelompok yang kedua disebut sebagai kelas buruh. Mengapa disebut kelas bukan kelompok? Jawabannya, karena di dalam istilah kelas terkandung adanya pengertian hierarki, pemilik dan bukan pemilik, penguasa dan yang dikuasai, serta majikan dan buruh. Nah, berangkat dari hubungan yang bersifat hierarkis tersebut, maka munculah hubungan penindas dan yang ditindas, sedangkan hubungan ini akan mendorong munculnya perlawanan, baik perlawan secara spontan maupun terorganisasi. Munculnya perlawanan itulah yang disebut dengan munculnya kesadaran kelas. Jadi, kesadaran kelas bukan hanya semata-mata disebabkan oleh kepemilikan alat produksi, melainkan juga hubungan hierarkis kepemilikan terhadap alat produksi.”[5]

Sehingga Ismantoro Dwi Yuwono dengan ini menempatkan konsep “perjuangan kelas” sebagai ‘prasangka logis’ dan historis untuk keberadaan kapitalis dan pekerja. Ismantoro kurang lebih mengamini bahwa kemunculan hubungan ekonomi masyarakat kapitalis ditentukan oleh konflik yang terjadi diantara kelas-kelas. Nah, inilah yang akan mempengaruhi pengambilan solusi apa yang akan dipakai untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, dimana selanjutnya Ismantoro Dwi Yuwono menulis:

“Dengan dihancurkannya negara, kelas pemilik modal yang masih memiliki kendali terhadap kesadaran palsu dan kemampuan ekonomi akan mudah untuk kembali lagi menegakkan kepentingannya apabila mereka tidak ditindas. Namun, kalau mereka ditindas, hal itu bertentangan dengan ajaran Anarkisme itu sendiri, yang menentang secara membuta segala bentuk penindasan dan otoritas.”[6]

Ini adalah lompatan kutipan saya atas tulisan Isman, dimana dengan jelas Isman berfikir bahwa kelas pemodal memiliki kendali terhadap (kemampuan) ekonomi – selain itu juga ia menuduh saya sebagai anarkis. Maka posisi Isman secara lebih jauh harusnya berpendapat bahwa: “hubungan ekonomi masyarakat kapitalis ditentukan oleh konflik yang terjadi diantara kelas-kelas”, dimana penarikan logika atas argumentasi Isman diatas dapat digunakan untuk mencungkil satu per satu bangunan argumentasi Isman sendiri.

Tentu saja penarikan konsistensi logika Isman dalam tulisannya ini untungnya tidak bertujuan sama sekali untuk membangun argumentasi yang akan menunjuk Ismantoro sebagai kaum liberal beraliran marxis. Tetapi penarikan logika ini saya tujukan untuk mengurai logika terbalik dalam tulisan Ismantoro. Dimana pandangan Isman bertentangan dengan dugaan “determinisme ekonomi” yang dilekatkan terhadap marxisme – bahwa konflik antara kelas-kelas yang ada ditentukan oleh kekuatan ekonomi.

Mengulang apa yang dikutip diatas, Ismantoro menggunakan kata hierarkis untuk menjelaskan kemunculan kelas penindas dan kelas yang ditindas:

“Dalam perspektif Marxisme, kelas tidak hanya diikat oleh kepemilikan terhadap alat produksi, tetapi juga keberadaannya ditentukan oleh posisi setiap orang dalam hubungan hierarkis mereka terhadap kepemilikan alat produksi. Ketentuan itulah yang kemudian mengelompokan setiap orang pada kelompok yang memiliki alat produksi dan yang tidak memiliki alat produksi. Kelompok pertama disebut sebagai kelas kapitalis, dan kelompok yang kedua disebut sebagai kelas buruh. Mengapa disebut kelas bukan kelompok? Jawabannya, karena di dalam istilah kelas terkandung adanya pengertian hierarki, pemilik dan bukan pemilik, penguasa dan yang dikuasai, serta majikan dan buruh. Nah, berangkat dari hubungan yang bersifat hierarkis tersebut, maka munculah hubungan penindas dan yang ditindas, sedangkan hubungan ini akan mendorong munculnya perlawanan, baik perlawan secara spontan maupun terorganisasi. Munculnya perlawanan itulah yang disebut dengan munculnya kesadaran kelas. Jadi, kesadaran kelas bukan hanya semata-mata disebabkan oleh kepemilikan alat produksi, melainkan juga hubungan hierarkis kepemilikan terhadap alat produksi.”[7]

Penggunaan kata “hierarkis” disini ditulis oleh Isman untuk mengungkapkan sebuah kekerasan akumulasi primitif (adanya pemilik-bukan pemilik), perampokan dimana kaum proletar dipisahkan dari alat-alat bertahan hidupnya (alat produksinya). Perampokan ini yang menjadi asal-muasal dari hubungan nilai, struktur ekonomi masyarakat, dimana hubungan antar individu muncul sebagai hubungan antar benda.

Dengan adanya pendapat yang saya kutip diatas, maka Ismantoro Dwi Yuwono tampaknya berpendapat bahwa produksi dan pertukaran komoditas, nilai dan nilai tukar berhutang asal-muasalnya terhadap modal, dan bukan tenaga kerja. Ini adalah pandangan yang bertentangan dengan teori ketenagakerjaan Marx.

Poin 2: Argumen Isman mengenai perjuangan kelas tidak dapat dijelaskan

Saya akan membuka argumentasi Isman yang salah paham dari kutipan berikut:

“Terkait dengan hubungan antara alat produksi dan lahirnya kesadaran kelas, Marx pernah berkata kalau masyarakat lama adalah ibu kandung dari masyarakat baru. Masyarakat zaman perbudakan adalah ibu kandung yang melahirkan feodalisme, dan feodalisme adalah ibu kandung dari kapitalisme. Namun, yang perlu untuk mendapat catatan di sini adalah, Marx mengatakan itu untuk menunjukkan kalau dalam masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan akan berdampak pada terjadinya pertarungan antarkelas, dan pertarungan inilah yang kemudian akan mendorong terjadinya pergantian kelas. Dengan kata lain, titik berat yang ditekankan oleh Marx adalah perjuangan kelas. Terkait dengan hal itu, Marx dan Engels juga pernah berkata bahwa “Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”[9], sejarah inilah yang merupakan rahim dari lahirnya kesadaran kelas, bukan seperti yang dikatakan oleh kawan Marxis beraliran Anarkis kita, Jun Bramantyo, kalau alat produksi secara langsung atau tanpa perantara akan melahirkan kesadaran kelas. Benar alat produksi memang akan melahirkan kesadaran kelas, tetapi kelahirannya diperantarai oleh adanya hubungan produksi yang bersifat antagonistik, yakni satu pihak mengeksploitasi pihak lainnya. Dari hubungan inilah kemudian muncul kesadaran kelas. Ringkasnya, kesadaran kelas adalah kesadaran untuk melawan dan mengubah keadaan.”[8]

Sepemahaman saya atas paragraf ini, Isman mencoba untuk menjelaskan asal-usul kapitalisme secara singkat dari sudut pandang perjuangan kelas. Tapi, jika perjuangan kelas (baca: pertarungan antar kelas) dapat menjelaskan hubungan dalam masyarakat kapitalis (hubungan antara modal dan tenaga kerja), pandangan ini justru tidak dapat menjelaskan “perjuangan kelas” itu sendiri.

Inilah bentuk pertahanan argumentatif yang hanya mencoba menarik asal-muasal modal selangkah lebih jauh ke belakang dalam catatan sejarah dengan didasari oleh logika perjuangan kelas, bahwasanya ibu dari kapitalisme adalah feodalisme, ibu dari feodalisme adalah zaman perbudakan. Tetapi, jika asal-usul pergantian kelas adalah pertarungan antar kelas (baca: perjuangan kelas), maka bisa diulang:

Pertanyannya: Dari mana asal modal?

Jawaban: Perjuangan/pertarungan kelas.

Pertanyaan: Darimana perjuangan/pertarungan kelas ini datang?

Jawaban: Dari lebih banyak lagi perjuangan/pertarungan kelas sebelumnya.

Seperti sebuah dongeng mitologis tentang dunia yang ada dipunggung/cangkang kura-kura, dan pada akhirnya kura-kura ini juga hidup didalam dunia yang ada dipunggung/cangkang kura-kura yang lebih besar, logika Isman tentang perjuangan kelas tidak akan pernah habis dan terus menunda penjelasan darimana asal-muasal perjuangan kelas.

Poin 3: Ismantoro menyangkal logika dari kapitalisme itu sendiri

Masalah ketiga yang dimiliki oleh Isman adalah tuduhannya kepada saya bahwa…

Pertama, saya tidak berfikir secara historis, karena menurut Isman saya tidak mengamini bahwa “sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas[!]” karena menolak pendekatannya mengenai logika perjuangan kelas. Dan yang kedua, posisi saya dianggap rentan karena berkecenderungan untuk menerima kapitalisme sebagaimana diperlukan:

“Dengan demikian, ketidakinginan kaum buruh untuk bersatu menjadi satu kelompok yang bernama kelas, dan ketidakpeduliannya terhadap politik, atau anti-politiknya kaum buruh, bukanlah watak mendasar yang tidak dapat diubah. Anti-politik di kalangan kaum buruh, berdasarkan ajaran Marx dan Engels, dapat diubah dengan cara menghancurkan kesadaran palsu yang mencengkram isi kepala mereka, membuka lebar-lebar mata mereka, dan menunjukkan kalau mereka saat ini sedang dalam kondisi tertindas, dan mereka dapat mengakhirinya. “Diam sekarang bukanlah emas, diam adalah tindakan membiarkan (baca: menerima – ed) penindasan semakin merajalela”, begitu kira-kira kalimat yang seharusnya disampaikan kepada kaum buruh untuk membuka mata dan pikiran mereka. Dan, dengan demikian pula, tindakan-tindakan pengorganisasian buruh berbasiskan kelas bukanlah tindakan yang bodoh, naif, dan cacat sebagaimana dikatakan oleh Jun Bramantyo, melainkan tindakan-tindakan yang justru dapat membebaskan kaum buruh dari kesadaran palsu.”[9]

Menurut pendapat saya, tuduhan yang dapat disimpulkan secara asosiatif ini kepada diri saya, bahwa saya cenderung nerimo logika kapitalisme sebagaimana yang diperlukan, adalah benar dan akurat. Saya tidak akan secara penuh membantah tuduhan semacam ini. Tetapi secara konotatif, stigma negatif terhadap logika ini tidak bisa dibenarkan pula. Pendekatan “politik anti-politik” yang coba saya usulkan memang menyiratkan bahwa logika dari hubungan ekonomi kapitalisme yang ada diperlukan. Namun, penerimaan logika yang diperlukan dari hubungan ekonomi kapitalisme yang ada bukanlah menjadi masalah disini. Para pejuang dari logika perjuangan kelas seperti Isman ingin melupakan bagaimana Marx mencirikan logika modal, jadi saya akan berupaya untuk mengingatkan mereka sedikit:

“Perkembangan tenaga-tenaga produktif kerja masyarakat merupakan tugas dan pembenaran bersejarah kapital (modal). Untuk alasan itu sendiri, ia tanpa disadari menciptakan kondisi-kondisi material bagi suatu bentuk produksi yang lebih tinggi.”[10]

Disini, menerima logika dari hubungan ekonomi kapitalisme sebagaimana diperlukan berarti kita menerima bahwa perkembangan kekuatan produktif dalam kapitalisme itu sendiri menciptakan persyaratan material dari sosialisme. Oleh karena itu, saya tidak memiliki masalah untuk menerima pengembangan kekuatan produktif yang dijalankan modal dari kerja sosial kita semua. Justru saya melihat melalui perkembangan ini lah jalan menuju masyarakat tanpa kelas, negara, dan kerja (sosialisme) dapat ditapaki.

Gagasan bahwa sosialis haruslah menerima bahkan merangkul kemajuan produktif yang muncul dari sistem modal dan kerja sosial cenderung ditolak sebagai pernyataan sesat bagi banyak orang sosialis, namun hanya aspek modal inilah yang menurut Marx menarik perhatian Ricardo untuk alasan yang bagus. Karena sisi lain dari perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dari kerja sosial adalah penurunan keuntungan itu sendiri, dengan selanjutnya menyiratkan bahwa cara produksi berdasarkan nilai tukar untuk laba haruslah jatuh:

“Adalah tingkat laba itu yang merupakan daya pendorong dalam produksi kapitalis, dan tiada apapun yang diproduksi kecuali yang dapat diproduksi dengan suatu laba. Dari situ kecemasan para ahli ekonomi Inggris atas kemerosotan dalam tingkat laba. Jika Ricardo digelisahkan bahkan oleh kemungkinan hal ini sendiri, itu justru menunjukkan pemahamannya yang mendalam mengenai kondisi-kondisi produksi kapitalis. Yang disesalkan orang lain pada Ricardo ialah bahwa ia tidak menghiraukan makhluk manusia dan memusatkan dirinya secara eksklusif pada perkembangan tenaga-tenaga produktif ketika membahas produksi kapitalis – dengan berapapun pengorbanan makhluk manusia dan nilai-nilai kapital ini telah dibeli (dibayar)– adalah justru sumbangannya yang penting. Perkembangan tenaga-tenaga produktif kerja masyarakat merupakan tugas dan pembenaran bersejarah kapital. Untuk alasan itu sendiri, ia tanpa disadari menciptakan kondisi-kondisi material bagi suatu bentuk produksi yang lebih tinggi. Yang mengganggu Ricardo ialah betapa cara tingkat laba itu, yang merupakan dorongan produksi kapitalis dan juga kondisi bagi dan daya dorong dalam akumulasi itu, telah dibahayakan oleh perkembangan produksi itu sendiri.”[11]

Perkembangan dari kekuatan produktif kerja sosial menyiratkan lebih banyak lagi pengurangan progresif tenaga kerja hidup (pekerja) dalam produksi kekayaan masyarakat. Karena tenaga kerja adalah satu-satunya sumber dari nilai lebih, perkembangan produktifitas ini sama dengan kiamat modal itu sendiri.

Dalam pandangan Marx, Ricardo merasakan bahwa logika semacam itu melekat dalam mode produksi kapitalis; bahwa perkembangan dari kekuatan produktif kerja sosial justru adalah hal yang akan mendorong modal itu sendiri menuju kehancurannya.

Poin 4: Apakah itu Kelas?

Mari kita mulai pembahasan masalah keempat dari tulisan kritik Isman atas buku saya. Masalah itu akan saya nyatakan diawal dengan cara kurang lebih seperti ini: seperti halnya Marx mendefinisikan kelas, sebenarnya proletariat bukanlah kelas. Itu merupakan hal yang benar, terlepas dari pembicaraan mereka tentang kesadaran kelas, perjuangan kelas, atau kelas pekerja sendiri, dimana kolaborasi mereka tidak akan menutupi apa yang sedang terjadi sampai hari ini. Sekali lagi saya akan tekankan bahwa Marx dan Engels berpendapat tidak ada yang namanya kelas pekerja.

Mari kita mulai dengan apa yang kita temukan di Ideologi Jerman, dimana Marx dan Engels pertama kali mengembangkan pendekatan fundamental mereka terhadap sejarah, dimana pula mereka menyatakan bahwa pekerja bukanlah kelas:

“…sementara revolusi komunis diarahkan terhadap mode produksi sebelumnya, menghilangkan tenaga kerja, dan menghapuskan aturan semua kelas dengan kelas-kelas itu sendiri, karena hal itu dijalankan oleh kelas yang tidak lagi dianggap sebagai kelas dalam masyarakat, tidak diakui sebagai kelas, dan dengan sendirinya merupakan ekspresi dari pembubaran semua kelas-kelas, kebangsaan, dll dalam masyarakat saat ini.”[12]

Untuk mengubah argumen dari Marx dan Engels menjadi lebih sederhana: revolusi proletar mengakhiri masyarakat berkelas-kelas karena proletar bukan kelas itu sendiri. Revolusi sosial membawa masyarakat pada suatu tatanan negara yang juga bukan negara itu sendiri. Pandangan ini diperkuat lagi dalam penjelasan mereka tentang aktivitas kaum proletar. Tidak seperti kelas-kelas dalam masyarakat, kelas pekerja tidak berlaku sebagai layaknya kelas, kaum proletar bertindak hanya sebagai individu, dan bukan kelas:

“Menyusul semua yang telah kami katakan sampai sekarang bahwa hubungan komunal di mana individu-individu masuk ke dalam suatu kelas yang ditentukan oleh kepentingan bersama mereka terhadap pihak ketiga, hubungan itu selalu merupakan hubungan di mana individu-individu ini hanya menjadi rata-rata individu, hanya sejauh mereka hidup dalam kondisi keberadaan kelas mereka – suatu hubungan di mana mereka berpartisipasi bukan sebagai individu tetapi sebagai anggota kelas [yang dimaksud adalah kelas borjuis – penekanan saya]. Sebaliknya, dengan komunitas proletar revolusioner, yang mengambil bentuk dari keberadaan mereka dan kondisi semua anggota masyarakat di bawah kendali mereka, itu justru sebaliknya; itu adalah sebagai individu dimana individu yang berpartisipasi di dalamnya.”[13]

Saya garisbawahi, dan saya katakan secara lebih sederhana agar mudah diterima: kaum proletar tidak bertindak sebagai kelas, mereka bertindak sebagai individu. Dan kesalahan klasik yang dibuat kaum Marxis versi abad ke-20 adalah mereka telah menciptakan kekeliruan berfikir mengenai kaum proletar yang dapat bertindak sebagai kelas melawan kaum kapitalis (perjuangan kelas).

Faktanya seluruh konsepsi revolusi sosialis yang pertama kali dikembangkan oleh Marx dan Engels mengasumsikan kelas pekerja tidaklah (dapat) bertindak sebagai kelas. Kaum proletar akan mengakhiri masyarakat kelas-kelas yang telah ada karena, tidak seperti kelas-kelas lain dalam sejarah (masyarakat lama), mereka (proletar/pekerja) tidak memiliki kepentingan kelas tertentu untuk merebut kekuasaan kelas penguasa:

“Penggolongan individu-individu di bawah kelas tertentu tidak dapat dihapuskan sampai suatu kelas terbentuk, yang tidak lagi memiliki kepentingan kelas khusus untuk memaksakannya terhadap kelas penguasa.”[14]

Hampir mustahil untuk membayangkan bahwa gagasan perjuangan dan kesadaran kelas ini sebenarnya tidak memiliki tempat dalam teori Marx dan Engels. Kelas dan perjuangan kelas tidak memainkan peran apapun dalam materialisme historis. Kelas merupakan dan tidak lebih dari perwujudan kekuatan ekonomi yang mendasari proses pergerakan sejarah. Kelas tidak cukup untuk menjelaskan masyarakat kapitalis seperti halnya harga menjelaskan hukum nilai.

***

Kekuatan ekonomi adalah kekuatan objektif, yang berarti kekuatan tersebut tidak akan mengharuskan kita untuk menyadari keberadaan kekuatan itu untuk memastikan kekuatan tersebut berjalan. Tapi, begitu kita menyadari keberadaan kekuatan tersebut, kita bisa memanfaatkannya dengan cara yang sama seperti cara kita menggunakan hukum fisika untuk menempatkan orang di Bulan atau mengirim robot ke planet Mars.

______________________________________

*TAMBAHAN:

Saya menulis satu lagi bagian kritik yang tidak akan saya publikasikan dalam booklet ini. Saya mengabadikan bagian tersebut dalam buku kedua yang akan saya terbitkan selanjutnya sebagai bagian untuk mengevaluasi kinerja kaum sosialis versi abad 20.

Catatan Kaki:

[1] Tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[2] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[3] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[4] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[5] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[6] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[7] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[8] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[9] Kutipan ini diambil dari tulisan yang merupakan sanggahan Ismantoro atas buku saya yang dapat dilihat di: https://bukuprogresif.com/2019/04/07/kesadaran-perjuangan-kelas-sanggahan-untuk-jun-bramantyo/

[10] Marx (diedit: Engels), Kapital III, Ultimus, Bandung. Halaman 295.

[11] Marx (diedit: Engels), Kapital III, Ultimus, Bandung. Halaman 295.

[12] Kutipan ini diambil dari Ideologi Jerman versi Inggris, dapat dilihat di: https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/ch01d.htm#d1

[13] Kutipan ini diambil dari Ideologi Jerman versi Inggris, dapat dilihat di: https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/ch01d.htm

[14] Kutipan ini diambil dari Ideologi Jerman versi Inggris, dapat dilihat di: https://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/german-ideology/ch01d.htm

_______________
Jun Bramantyo
Penulis Buku “Mitos Merebut Negara”
Tulisan ini sebelumnya dimuat di website yang dikelolanya.

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?