Filsafat

Subjek Etis: Subjek yang Sesungguhnya Menurut Levinas

Salah satu filsuf yang memberi sumbangan konstruktif terhadap perkembangan filsafat, khususnya tentang etika pada abad ke-20 adalah Emmanuel Levinas. Secara khusus, filsuf yang lahir pada tahun 1912 di Lituania itu memiliki keprihatinan yang radikal dan mendalam terhadap sesama manusia, yang dilihatnya sebagai bagian integral dari dirinya. Dalam terminologi Levinas, sesama diartikan sebagai “yang lain” (the other). Terminologi “Yang lain” itu, secara khusus merupakan representasi dari mereka yang lemah, terasing, menderita, dan yang terbuang. Menurut Levinas, keberadaan “yang lain” ini menghadirkan suatu impul etis dalam diri subjek yang memandangnya, yang mengharuskan subjek untuk menaruh perhatian dan tanggung jawab terhadap keadaan “yang lain” (Suseno, 2018:86). “Yang lain” inilah yang dikenal sebagai wajah dalam filsafat Levinas, karena “yang lain” memuat seruan etis terhadap subjek yang berhadapan dengannya. Dalam rumusan lain, “yang lain” merepresentasikan dirinya sebagai wajah. Wajah inilah yang melahirkan tanggung jawab etis dalam diri subjek. Subjek justru menjadi the real subject, dalam praksis etis yang diekspresikannya kepada “yang lain”.

Subjek dalam Pemikiran Levinas

The subject is not in itself, at home with itself, but its being “turned to another” is this being turned inside out (Levinas, 1991:49)

Pernyataan filosofis Levinas tersebut sesungguhnya hendak mengarahkan kita pada pemahaman komprehensif dan metafisis akan subjek. Baginya, subjek tidak dapat  dipahami dalam dirinya sendiri. Pemahaman harfiah subjek yang semata-mata terbatas sebagai “aku”, sesungguhnya mempersempit dan mereduksi arti subjek yang luas. Menurut Levinas, arti subjek yang demikian belum cukup untuk menggambarkan subjek itu sendiri sebagaimana riil adanya. Bahkan, pembicaraan mengenai subjek itu sendiri bukan sekadar dilihat sebagai sesuatu yang bereksistensi atau sekadar dilihat sebagai adanya. Levinas memahami subjek lebih dalam dari kebanyakan, melampaui yang harafiah.

Sesungguhnya, pemahaman Levinas mengenai subjek lebih bersifat aktif—ke luar. Dengan kata lain, subjek diakui sebagai subjek jika secara aktif ke luar dari dirinya sendiri. Pengakuan akan subjek tidak berlaku pada konsentrasi ke dalam diri. Pemaknaan subjek seperti ini selalu mengandaikan bahwa “yang lain” sebagai sesuatu yang berada di luar diri merupakan bagian integral dari dirinya. Dalam rumusan lain, subjek justru tidak dapat dipisahkan dari yang lain, secara kodrati-alamiah ia senantiasa aktif—ke luar. Oleh karena itu, “yang lain” bukanlah sesuatu yang asing (strange) dan yang lain sama sekali; “yang lain” merupakan diriku yang terpisah. Hal senada ditegaskan oleh Levinas demikian: I become substantial and a subject, subjected to the world and to the others (Alphonso Lingis [penerj], 1991:xxiii). Pernyataan ini dengan jelas menggambarkan bahwa pergerakan aktif—ke luar merupakan suatu usaha membentuk diri yang substansial. Substansi diri sebagai subjek justru dilengkapi dan diutuhkan oleh aktivitas ke luar dari diri dan melampaui diri.

Menurut penulis, salah satu hal yang paling penting untuk diafirmasi ialah bahwa “aktif—ke luar” yang dimaksudkan oleh Levinas berarti benar-benar ke luar dari dirinya sendiri. “Aktif—ke luar” tidak mengandaikan adanya kepentingan-kepentingan diri yang serta merta dibawa. Ia sungguh-sungguh ke luar dan terlepas dari motivasi pemenuhan keinginan dan kebutuhan diri, kesenangan diri, dan lain-lain yang berhubungan dengan kepentingan diri. Oleh karena itu, “aktif—ke luar” yang dimaksudkan oleh Levinas berarti kesanggupan menghadirkan diri untuk “yang lain”. “Yang lain” merupakan fokus orientasi dari kehadiran diri. Pada tataran inilah Levinas mengatakan bahwa subjek itu mesti keluar dari totalitas dirinya. Sampai sejauh ini, tampak bahwa alur pemikiran Levinas mengenai subjek lebih bersifat etis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa subjek etis adalah subjek yang sesungguhnya (the real subject). Lantas, jika demikian, bagaimana Levinas mempertanggungjawabkan perilaku diri subjek yang membawa kepentingan-kepentingan dirinya, ketika ia “aktif—ke luar” atau berinteraksi dengan “yang lain”?

Menurut penulis, perilaku diri subjek yang membawa kepentingan-kepentingan dirinya ketika ia “aktif—ke luar” atau berinteraksi dengan “yang lain” dianggap Levinas sebagai bentuk persiapan diri subjek sebelum menghadirkan diri seutuhnya bagi “yang lain” (salah satu bagiannya yang lain adalah perilaku diri subjek yang berorientasi ke dalam dirinya, seperti belajar, bekerja, berolahraga dan lain-lain).

Dengan kata lain, perilaku diri subjek yang demikian merupakan salah satu bagian dari usaha-usaha diri subjek untuk memantapkan diri sebelum menghadirkan dirinya bagi orang lain seutuhnya. Dengan demikian, diskusi-diskusi, percakapan-percakapan atau interaksi-interaksi sosial lainnya, dilihat sebagai bentuk persiapan sebelum memberi diri secara total kepada “yang lain”. Bahkan, aktivitas yang dilakukan untuk bersenang-senang atau rekreasi, yang dilakukan oleh diri subjek bersama dengan “yang lain” pun dilihat sebagai persiapan dan pemantapan diri sebelum memberi diri secara total kepada “yang lain” itu (aktivitas yang dilakukan untuk bersenang-senang atau pun berekreasi dapat juga dilihat sebagai bentuk pemberian diri subjek yang total, apabila berpretensi untuk menghibur orang yang sedang berada dalam kesedihan).

Namun, hal itu tidak berarti menafikan spontanitas diri subjek dalam usaha memberikan diri secara total kepada “yang lain”. Dengan kata lain, spontanitas pemberian diri subjek kepada “yang lain” tetap mungkin tanpa dipersiapkan secara langsung. Persiapan-persiapan atau pemantapan-pemantapan di atas dapat menjadi bagian dari usaha tidak langsung dalam menyongsong situasi penyeberangan atau pelampauan diri. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman hidup atau pun pendidikan diharapkan dapat mempertajam cita rasa etis dalam diri subjek. Dengan demikian, subjek dapat memberi diri secara total kepada “yang lain”.

Berkaitan dengan hal di atas, Levinas mengandaikan secara pasti bahwa dalam diri setiap subjek memiliki kebaikan (goodness) di dalam dirinya. Dalam terminologi Levinas, keadaan tersebut disebut dengan goodness in me. Dengan kata lain, dalam diri setiap orang sebagai “ada yang terbatas” (finite being) memiliki dalam dirinya kebaikan. The goodness atau the good will itu sendiri tidak akan berarti, bila tidak dipancing oleh realitas yang ada di luar kita. Di sinilah the good will atau the goodness memanifestasikan dirinya dalam tindakan praksis, tindakan etis. The goodness inilah yang memungkinkan subjek “aktif—ke luar”, menyeberang (beyond) ke “yang lain”, sebagai bentuk gerakan melampaui diri.

Etika Asimetris (Responsibility for the Other)

The self is sub-jectum; it is under the weight of the universe, responsibility for everything (Levinas, 1991:116).

Kehadiran pernyataan filosofis Levinas ini semakin jelas menggambarkan arah pergerakan subjek dalam hidupnya di dunia. Pernyataan ini hendak menegaskan bahwa pengakuan akan subjek senantiasa berada di bawah kepentingan alam semesta, dalam hal ini, subjek diakui sebagai subjek ketika ia bertanggung jawab terhadap segala sesuatu, khususnya “yang lain”. Oleh karena itu, kehadiran diri subjek melampaui totalitas dirinya bagi “yang lain” merupakan bentuk tanggung jawab etis dari subjek. Dengan kata lain, subjek etis sebagai subjek yang sesungguhnya memanifestasikan dirinya secara praksis dalam tanggung jawabnya terhadap “yang lain”.

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Levinas dalam penjelesannya tentang subjek yang direpresentasikan dengan “aku”. Ia menulis, the word I means here I am, answering for everything and for everyone (1991:114). Hal itu berarti etimologi “subjek”, orang pertama tunggal “aku”, hanya bisa dimengerti secara radikal dalam afirmasi “ini aku!”. Afirmasi “ini aku!” merupakan jawaban terhadap segala sesuatu dan terhadap siapa saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa subjek selalu menghadapkan dirinya pada “yang lain”. Dengan kata lain, subjek secara kodrati-alamiah selalu memberi dirinya pada situasi “yang lain”; ia selalu memberi dirinya sebagai tanggung jawab dirinya terhadap situasi yang dialami “yang lain”. Oleh karena itulah, Levinas mengatakan, responsibility for the others has not been a return to oneself …(1991:116). Eksistensi dan pemaknaan dirinya sebagai subjek menempatkan tanggung jawab terhadap “yang lain” lebih tinggi daripada tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, kecenderungan etis ini tidak pernah mengharapkan atau menunggu tanggung jawab balasan (resiprokal tanggung jawab) dari “yang lain”. Subjek hanya menjalankan kecenderungan alamiahnya untuk aktif—ke luar dan bertanggung jawab terhadap yang lain; ia tidak pernah sibuk untuk membicarakan tanggung jawab “yang lain” terhadapnya. Inilah bentuk usaha subjek untuk ke luar dari totalitas dirinya (ego).

Substitusi: Bentuk Tanggung Jawab Radikal

…and because in this putting myself in the place of another I am imperiously suummoned, singled out (Levinas, 1991:xxiii).

Pemaknaan subjek yang dimanifestasikan oleh penempatan atau pemberian diri pada “yang lain” senantiasa dipanggil secara mutlak, dipilih ke luar pada “yang lain”. Tampaknya, kecenderungan etis-alamiah merupakan bentuk panggilan etis dari “yang lain”. Subjek yang dibentuk secara utuh melalui penanggalan otoritas diri untuk “yang lain” seakan merupakan panggilan mutlak dari “yang lain” itu untuk aktif—ke luar menghampirinya. Panggilan itu menjadi mungkin, karena “yang lain” (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya) merupakan bagian dari diriku yang terpisah. Oleh karena itu, kuatnya panggilan etis “yang lain” itu semakin mempengaruhi radikalitas pemberian diri subjek, yang termanifestasi dalam bentuk tanggung jawab terhadap “yang lain”. Kuatnya panggilan etis “yang lain” membuat tingginya radikalitas praksis tanggung jawab terhadap “yang lain”. Radikalitas tanggung jawab itu menampakkan diri dalam tindakan substitusi diri subjek. Substitusi dilihat sebagai konsekuensi dari praktik tanggung jawab terhadap “yang lain” yang radikal. Praksisnya, tanggung jawab radikal untuk membebaskan dan menolong orang yang menderita dilakukan hingga kita mengambil alih penderitaan itu (substitusi).

Penjelasan lanjutan mengenai substitusi dijelaskan oleh Levinas demikian: substitution is not an act; it is a passivity incovertible into an act the hither side of the act-passivity alternative (1991:117).  In its activity, a passivity more passive than all passivity, for it is a sacrifice without reserve, without holding back…. (1991:15).

Pernyataan Levinas di atas hendak menegaskan bahwa tindakan substitusi mengandaikan adanya pasivitas absolut diri subjek. Pasivitas absolut ini tidak berarti ketidakberdayaan, tetapi berarti ‘aku’ melepaskan dan meninggalkan segala ego dan ingat diri. Dengan kata lain, substitusi justru aktif dalam kepasivannya. Kepasifan itu sesungguhnya merupakan bentuk pemberian diri yang total, tanpa memikirkan diri sendiri (sacrifice without reserve, without holding back). Bentuk pemberian diri subjek ini sungguh-sungguh mengalami apa yang disebut Levinas sebagai, responsibility goes beyond being (Alphonso Lingis [penerj], 1991). Ia hanya memusatkan dirinya untuk kepentingan “yang lain”, bukan dirinya. Levinas dalam hal ini sungguh-sungguh mendalami apa artinya menjadi subjek etis. Substitusi sebagai bentuk pemberian diri secara total tentunya tidak menekan kebebasan yang dimiliki oleh setiap subjek. Menurut Levinas, kebebasan subjek justru sungguh bermakna, bernilai dan sungguh teruji kalau ada realitas “yang lain”. Kebebasan subjek terwujud dalam kemampuan subjek untuk ke luar dari dirinya dan bertindak sesuai kesadaran etis yang dimilikinya. Aktualisasi kebebasan yang dimilikinya ini mengarahkan subjek yang sesungguhnya, yakni subjek etis. Levinas pun mengatakan, “berkat orang lain keakuan saya bangkit” (Franz Magnis, 2018:103)

Hakikat diri subjek yang selalu “aktif—ke luar” disertai dengan penanggalan totalitas diri telah melahirkan subjek yang sesungguhnya sebagai subjek etis. Kecenderungan etis-alamiahnya yang total itu, menampilkan sifatnya yang altruis dan bebas dari ego. Tingginya altruisme yang dimiliki oleh subjek ini dimanifestasikan dalam praktik tanggung jawab etis terhadap “yang lain” sebagai yang miskin, lemah, yatim piatu, dan lain-lain. Tanggung jawab etis terhadap “yang lain” ini hadir secara radikal dalam tindakan substitusi. Inilah bentuk pemberian total subjek. Subjek justru mencapai kepenuhannya dalam beyond being. subjek sungguh menjadi subjek, ketika ia keluar dari dirinya sendiri dan melampaui dirinya sendiri. Bentuk tertinggi dari usaha melampaui diri itu ialah “lupa akan diri sendiri”. Ia tidak lagi memikirkan dirinya sebagai ‘aku’ yang penuh ego dan ingat diri.

_______________________
Apry Fernandez
Mahasiswa Program Studi Filsafat di STFK Ledalero-Maumere

DAFTAR PUSTAKA

Levinas, Emmanuel. Otherwise Than Being Or Beyond Essence. Terj. Alphonso Lingis. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1991.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?