Resensi Buku

Eksklusi dan Kuasa yang Bekerja dalam Politik Pertanahan di Asia Tenggara

Judul: Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara
Penulis: Derek Hall, Philip Hirsch, & Tania Murray Li
Penerjemah: Darmanto Simaepa dan Achmad Choirudin
Penerbit: INSISTPress, 2020
Tebal: 420 halaman

Bagi Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li dalam bukunya “Kuasa Eksklusi: Dilema Pertanahan di Asia Tenggara,” eksklusi adalah tindakan yang mutlak. Petani kecil pun membutuhkan eksklusi. Ia tidak akan dapat menggarap lahan pertanian tanpa jaminan bahwa orang lain tidak merebut lahan atau mencuri hasil panennya (hlm. 6). Lebih jauh, mereka menjelaskan proses eksklusi dan kuasa-kuasa yang bekerja di dalamnya.

Hall, Hirsch, dan Li (kemudian disingkat HHL), mendefinisikan eksklusi sebagai tindakan di mana pihak-pihak tertentu dicegah untuk mendapatkan manfaat dari suatu hal—khususnya tanah (hlm. 12). Mereka berpandangan bahwa lawan dari eksklusi adalah akses, bukan inklusi yang sering digunakan dalam berbagai kajian. Definisi tersebut berangkat dari pendapat Ribot dan Peluso yang mendefinisikan “akses” sebagai kemampuan mendapat manfaat dari sesuatu (hlm. 12).

HHL membagi proses eksklusi menjadi tiga (hlm. 12). Pertama, bagaimana pihak tertentu memelihara akses atas tanah yang mereka punya dan mencegah akses calon pengguna lain; kedua, bagaimana pihak tertentu yang memiliki akses atas tanah kehilangan akses tersebut; ketiga, bagaimana pihak tertentu yang tidak memiliki akses, dicegah untuk mendapatkan akses. Bagi mereka, eksklusi mesti dipahami lebih luas dari konsep kepemilikan pribadi. Eksklusi tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya hak resmi, tetapi oleh berbagai kekuasaan yang dapat mencegah orang mendapatkan akses dari tanah (hlm. 12).

Berangkat dari konsep tersebut, mereka kemudian menjelaskan empat kuasa yang membentuk eksklusi. Kuasa-kuasa tersebut merupakan induk dari analisis pertanahan (hlm. 330). Jadi, walaupun mereka hanya menggunakan empat kuasa eksklusi, bukan berarti kuasa-kuasa lain tidak penting, bahkan kuasa lain juga ikut bekerja (hlm. 330). Serta penting pula diingat bahwa kuasa-kuasa tersebut saling berhubungan dalam suatu proses eksklusi.

Kuasa pertama adalah peraturan yang memiliki komponen seperti menentukan batas petak tanah; jenis penggunaan tanah yang diperbolehkan atau dilarang; menentukan jenis-jenis klaim kepemilikan atau hak pemanfaatan yang dapat diberikan untuk berbagai macam status tanah; serta menentukan individu, kelompok, atau instansi mana yang mempunyai hak atas lahan tertentu (hlm. 26). Kuasa peraturan juga bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat adat yang menentukan akses tanah dan eksklusi di wilayahnya, pun dengan lembaga internasional seperti UNESCO (hlm. 27).

Kedua adalah paksaan yang merupakan inti dari peraturan. Namun, kadang kala aparat penegak hukum atau pun pejabat negara bertindak melebihi kewenangannya terhadap suatu lahan tertentu. Atau bertindak brutal demi mengamankan kepentingan swasta (hlm. 28). Namun, penduduk miskin atau petani kecil juga bisa melakukan suatu paksaan, misalnya menduduki kawasan secara paksa, atau membakar lahan dalam sengketa dengan petani lain di tingkat desa (hlm. 28).

Ketiga adalah kuasa pasar yang telah menjadi kekuatan besar, namun, selalu disokong oleh kuasa peraturan, paksaan, dan legitimasi (hlm. 29). Pemerintah senantiasa mencampuri urusan pasar dalam rangka menciptakan kegiatan ekonomi dan memberi keistimewaan kepada kelompok tertentu. Kuasa pasar juga dapat kita jumpai dalam demam komoditas seperti demam kopi di Vietnam dan tambak udang di Thailand (bab 4). Kadang pula pemerintah terlibat dalam penjualan tanah-tanah di dalam kawasan konservasi (bab 3) serta pembangunan sektor pariwisata (bab 5).

Keempat adalah kuasa legitimasi yang dapat dipahami sebagai alasan pembenaran atas kondisi sesungguhnya atau ideal yang merujuk pada nilai-nilai moral. Kuasa ini berperan penting dalam mendukung berbagai bentuk eksklusi. Argumen “apa yang layak dan benar” menjadi landasan normatif suatu eksklusi (hlm. 31). Misalnya, wacana tata kelola tanah melalui pasar bebas dapat digunakan untuk eksklusi (hlm. 31), bisa berupa sertifikasi tanah. Namun, wacana tertentu selalu dapat dilawan dengan wacana yang lain atau kadang saling bertentangan. Misalnya wacana penguasaan lahan berbasis adat kadang berbenturan dengan wacana reforma agraria (hlm. 307).

Untuk memberi sedikit penjelasan tentang pengejawantahan kuasa-kuasa tersebut di lapangan, saya menggunakan kasus di Taman Hutan Raya (Tahura) Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dalam publikasi World Agroforestry Centre (ICRAF) 2016, berjudul “Rencana Pengelolaan Lahan Secara Kolaboratif di Tahura Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan,” Tahura Bonto Bahari diresmikan pada 2004 yang sebelumnya merupakan kawasan suaka marga satwa (ditetapkan pada tahun 1979).

Masyarakat mengaku sudah menggarap lahan tersebut sebelum dijadikan sebagai kawasan suaka marga satwa. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kuburan masyarakat di dalam kawasan lindung. Oleh karena itu, masyarakat mengklaim bahwa yang ditetapkan sebagai Tahura adalah lahan mereka. Namun, terdapat pernyataan berbeda dari tokoh masyarakat sekaligus menjabat di Pemerintahan. Menurutnya, Tahura sebelumnya adalah hutan lindung yang pada perkembangannya  masyarakat tetap masuk ke dalam memanfaatkan dan mengeksploitasi secara besar-besaran (ICRAF, 2016). Sehingga, pada tahun 1979, pemerintah Bulukumba menetapkan kawasan tersebut menjadi Suaka Marga Satwa Bonto Bahari.

Pada pertengahan tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program Perhutanan Sosial 4.0. Salah satu kawasan yang dijadikan sebagai lokasi program adalah Tahura Bonto Bahari. Saat itu, setidaknya sudah ada tiga kelompok yang menerima kontrak selama 35 tahun melalui program perhutanan sosial. Namun, masyarakat yang bergabung dengan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menolak program tersebut. Mereka menuntut lahan yang menjadi sengketa dikeluarkan dari kawasan Tahura, tentu saja dengan diberikan sertifikat hak milik. Bagi mereka, perhutanan sosial tidak menyelesaikan akar konflik agraria yang terjadi di Bulukumba.

Dalam kasus Tahura Bonto Bahari, kuasa yang bekerja adalah peraturan, paksaan, dan legitimasi. Kuasa pasar tidak tampak dalam kasus ini. Tetapi, bukan berarti kuasa pasar tidak bekerja dalam isu yang erat kaitannya dengan kehutanan atau konservasi. Misalnya proyek konservasi oleh korporasi dengan wacana peduli lingkungan membuat mereka seolah menjadi pahlawan lingkungan (hlm. 139).

Kuasa peraturan jelas dominan dalam kasus ini, karena penetapan sebuah kawasan menjadi hutan adalah kewenangan pemerintah. Sementara pemaksaan, sebagai inti dari peraturan juga terjadi. Misalnya konflik yang terjadi antara masyarakat dengan polisi kehutanan saat bertani (ICRAF 2016). Pemaksaan juga dapat terjadi ketika dilakukan dengan tersirat dan dari jarak yang cukup jauh (hlm. 29). Misalnya, orang yang dipindahkan dari kawasan hutan tidak akan menuntut kompensasi atau melawan, karena merasa jika melakukan hal tersebut, pemerintah telah siap menggunakan kekerasan untuk mencegah aksi mereka (hlm. 29).

Sedangkan kuasa legitimasi, bisa berupa wacana kelestarian lingkungan untuk generasi yang akan datang, sehingga hutan harus dilindungi.  Namun, wacana ini dilawan oleh masyarakat dengan menyatakan bahwa lahan yang dijadikan Tahura adalah milik mereka. Itu ditandai dengan adanya makam orang-orang terdahulu mereka. Dalam kasus tertentu, wacana pelestarian lingkungan juga dilawan dengan argumen bahwa masyarakat adat atau penduduk sekitar hutan juga bisa melindungi hutan dengan cara-cara mereka sendiri.

Menurut saya, buku yang ditulis HHL bisa kita jadikan sebagai pendekatan untuk menganalisis berbagai eksklusi yang terjadi. Tentu saja, menggunakan pendekatan tersebut, bukan berarti membuang pendekatan yang lain. Pendekatan yang ditawarkan dalam buku ini, justru membuat cara kita dalam mengadvokasi sebuah konflik agraria semakin tajam dan lebih beragam.

____________
Nur Ansar
Mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta. Dapat dihubungi melalui email nuransar243@gmail.com, di Instagram @nur_ansar, dan Twitter @ansar_hrs

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?