Puisi

PUISI: Martir Perlawanan

Martir Melawan Kazaliman

26 tahun yang lalu, jasadnya ditemukan tak bernyawa.
Tubuhnya penuh luka lebam.
Dagu, lengan dan pahanya memar dan lecet.
Tidak hanya itu, hymen-nya pun robek
Darah yang dipaksa tergerus dari tubuhnya pun tidak sedikit jumlahnya.
Memilukan.
Sungguh tragis dan sadis.
Mengoyak-ngoyak hati nurani
(bagi yang masih memilikinya).

Marsinah.
Ya… Namanya Marsinah.
Singkat, sesingkat umur nafas melekat di tubuhnya.
Meninggal bukan karena sakit penyakit,
Atau mungkin kecelakaan saat menyeberang jalan.
Bukan! Bukan!
Bukan karena itu.

Ia meregang nyawa karena melawan.
Ia dipaksa menghembuskan nafas terakhirnya karena tidak mau diam,
Ia tidak mau duduk manis menonton kezaliman yang terjadi di depan matanya.
Ia lepaskan impian yang tak sempat direngkuhnya demi melawan kesewenang-wenangan.

Dia..
Diculik, disiksa sedemikan hebatnya karena sikap beraninya.
Dibungkam secara paksa.
Mereka, para pengecut-pengecut itu takut akan keberaniannya.
Takut akan semangat dan bara di sinar matanya.

26 tahun telah berlalu sejak kematian perempuan yang gemar membaca itu,
Tapi lihat! Siapa yang bisa membungkamnya?
Ia terus hidup.
Di jalan-jalan, di pakaian, di pertunjukkan, di tulisan-tulisan; di berbagai wujud media.
Nafasnya panjang, meski tak lagi dimiliki jasadnya.
Terus hidup.
Terus tumbuh.
Semerbak wanginya, mengisi paru-paru perlawanan.

Ada harga yang harus dibayar dalam setiap perjuangan.
Ada yang harus dikorbankan untuk melawan kerakusan dan kepongahan.
Marsinah, ia membayarnya dengan jiwa dan raganya.
Ia martir.
Martir melawan kezaliman.

Seperti Marsinah,
Suarakanlah kebenaran,
Lawanlah penindasan, sekalipun suaramu bergetar mengucapkannya.
Kebenaran tetaplah kebenaran,
Sekalipun ditutup serapat mungkin, dikubur sedalam mungkin, dilenyapkan berkali-kali.
Berlongsong-longsong peluru pun tak akan sanggup merdam dan membendungnya.

Kebenaran tetaplah kebenaran, meskipun kau poles dengan ‘pembenaran-pembenaran’-mu.
Kebenaran akan hidup, menancapkan akar-akarnya, terus tumbuh, di jiwa-jiwa yang berjuang untuknya.
Tumbuh subur, dan mewangi, mengiringi semangat baik.

 

Tidak Perlu Heran

Tidak perlu heran
Apalagi mesti berkata “Wow”
Tidak perlu juga menghela nafas dalam-dalam hingga kau terbatuk-batuk karenanya
Tidak perlu juga geleng-geleng kepala sampai lehermu rasanya hampir copot dari tulang penyangganya
Tidak perlulah semuanya itu
Saat kau melihat ‘indahnya’ keadilan ditegakkan di sini, di negeri kolam susu.

Tidak perlu kau heran berlebihan, hingga bola matamu keluar dari sarangnya melihat proses demi mendapat keadilan di sini.
Ya, di sini.
Di negeri yang katanya tongkat kayu dan batu pun bisa jadi tanaman.

Tidak perlu kau tercengang dan garuk-garuk kepala menyaksikan jalannya hukum di negeri ini.
Jangankan Novel Baswedan, yang kasusnya 2 tahun, ingat Marsinah? Kasusnya sudah 26 tahun, dan sudah ditutup secara peradilan.
Apalagi dengan kasus ’65???

Jadi, tidak perlulah kau heran.
Tidak perlu juga meratap terus.
Terjerembab dalam kubangan perkabungan yang kelam dan pekat, penuh duka lara.

Yang perlu kau lakukan adalah jangan diam.
Teruslah berjuang.
Meski tidak perlu selalu terlihat dan mencolok.
Belalah yang benar.
Belalah mereka yang lemah dan tak berdaya.
Suarakan kebenaran, meskipun suaramu lirih du tengah hingar-bingar modernisasi dan globalisasi.
Upayakanlah keadilan bersama-sama.
Dan bersetialah pada kata hati.

 

Puisiku Bilang “Aku Ingin Menjadi”

Aku ingin menjadi anak panah.
Meluncur cepat, tepat ke sasaran.

Aku ingin menjadi peluru.
Membelah udara dengan girang menembus ke jantungmu.
Aku ingin menjadi pengeras suara.
Memperdengarkan bunyi-bunyian dengan keras ke telinga-telinga mereka yang pura-pura tuli.

Aku ingin menjadi alat penerang.
Memberi cahaya ke mata-mata yang pura-pura buta melihat kekeruhan yang diskenariokan oleh tangan dingin mereka sendiri.
Aku ingin menjadi arloji.
Menempel di pergelangan tangan dan senantiasa menjagamu awas.
Aku ingin menjadi bagian dari kolaborasi tinta dan pena.
Melenggak-lenggok, sesekali halus, sesekali tegas dan tajam.
Meliuk-liuk bukan tanpa hasil.
Menorehkan guratan-guratan yang bisa dibaca, dirasa, dicerna oleh berpasang-pasang bola mata warna-warni yang melahapnya.

Aku ingin menjadi nada.
Nada yang mengalun dengan berani, mengiringi derap langkah kaki-kaki para buruh yang melangkah tegar, memburu lembar rupiah untuk digantikan dengan beras, susu, dan pulsa untuk menelfon sanak saudara dan kawan seperjuangan yang selalu dirindukan.
Aku ingin menjadi korek api.
Terbakar untuk menyalakan api semangat,
Yang kian lama kian pupus di jiwa-jiwa yang lelah dengan dagelan sistem yang mencekik pelan-pelan ini.
Aku ingin menjadi embun.
Yang menyejukkan dan menghapus pilu hati perempuan-perempuan yang diputuskan masa kerjanya karena telah hamil besar.

Aku ingin menjadi obat.
Yang bisa diteguk saat sakit kepala dan demam menjalar berusaha merajaimu yang sedang dikejar target.
Alih-alih segala asa itu,
Aku ingin menjadi bagian dari ruas tulang kiri tanganmu,
Yang mengepal erat menembus udara,
Tegak menjulang bersama air mata yang luruh, lepas berhamburan,
saat kau teriakkan “A Luta Continua” di bawah terik matahari,
dari sela-sela tempatmu berdiri, dari barisan massa kaum yang tertindas.

___________________
Nolinia Zega
Seorang perempuan yang ingin terus berjuang

Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?