Cerita Pendek

CERPEN: Perempuan Itu Bernama Arika

Malam ketika Arika membunuh Kopral Heri, lelaki yang selama berbulan-bulan menjadikannya simpanan, bayi mungilnya yang konon lahir dari seorang veteran tentara Prancis, menangis histeris menanti puting susu yang tak kunjung dikulumnya sejak sore. Disampingnya tergeletak tanpa nyawa Kopral Heri dengan pakaian tentara lengkap beserta pangkat serta wing bertaburan menghiasi kain seragam. Arika telah menjalani ini – perempuan penghibur – sejak perjumpaannya dengan Clement Mallouda setahun lampau dan kini memberinya seorang bocah laki-laki yang permunculannya lebih banyak Prancis daripada melayu bernama; Griezman. Hingga datang Kopral Heri sebagai lelaki simpanan penghabisan yang sekaligus membawanya bercokol didalam penjara.

Arika terlahir dari keluarga terpandang dan sangat dihormati di sebuah kampung pesisir utara Ambon. Dibesarkan didalam sebuah keluarga makmur, sentosa sekaligus terpandang. Di sana ia tumbuh sebagai bocah periang, lincah, manis dan tak tersentuh oleh tangan-tangan cacingan bocah-bocah kampung sebayanya, sebab ia selalu dilindungi oleh keluarga bangsawan kecil yang tak pernah memukul dan selalu memperlakukan anak-anak mereka secara layak. Ibunya anak tertua raja negeri yang hanya sudi menikah dengan seorang pegawai pemerintah atau paling kurang juragan tanah. Sayang, garis tangan hanya menuntunnya pada laki-laki pedagang keturunan bugis yang melamarnya dengan mahar seperangkat alat sholat beserta emas lima belas gram dan cukup untuk menjadikan laki-laki itu menantu kesayangan keluarga raja.

Arika kecil, menjalani hari-harinya dengan bahagia dikampung dan menjadi kesayangan bagi orang-orang gila hormat yang mencari-cari muka kepada keluarga raja sebagai pembantu tanpa bayaran. Cukuplah diberi lauk alakadarnya saja, sekali dua, atau bahkan tidak samasekali. Sejak SMA Arika tak sedikitpun menampakkan kecenderungan sebagai perempuan pemuja kenikmatan badani sebagaimana gadis-gadis seusianya. Ia gadis sopan dalam tingkah dan tutur bahasa. Sayangnya, selepas menjadi mahasiswa disebuah universitas di kota, Arika menjelma sebagai gadis modis dan gonta-ganti membawa teman lelakinya keluar-masuk kampung. Bagi lelaki-lelaki universitas, Arika termasuk perempuan yang gampang diajak jalan-jalan. Asalkan punya motor, vespa buntutpun tak mengapa, siapa saja bisa membawa dara itu kemana saja hingga berhari-hari tak pulang rumah. Dia pernah menjalin cinta dengan lelaki kampung yang disukainya lebih karena ketampanan laki-laki itu. Tapi sayang, perjaka itu tak terlalu kota hingga membuat Arika mencampakkannya dan pergi bersama laki-laki lain yang lebih kota. Sejak saat itupula, sebagaimana yang diyakini semua orang, Arika telah hilang kegadisannya hingga akhirnya pulang menggendong bayi merah tanpa sepotongpun gelar sarjana.

Dalam sebuah event internasional yang dihelat dikota, Arika terpilih sebagai salah seorang guide turis dikarenakan selain memiliki roman yang manis, ketrampilan bahasa Inggrisnya lumayan bisa. Disitulah awal perjumpaannya dengan Clement, seorang veteran tentara Prancis berumur sekira empat puluhan tahun. Arika yang keranjingan dibumbui rasa penasaran bersetubuh dengan lelaki dari bangsa asing, dibuat tak berdaya dengan kegagahan si bule. Maka hanya dengan dua kali beradu keperkasaan diatas tempat tidur, benih haram telah tertanam di liang rahim Arika yang kemudian tumpah kedunia dalam wujud seorang bocah blasteran bernama Griezman. Clement hengkang seiring berakhirnya event megah itu. Pulang ke Perancis meninggalkan cinderamata seorang jabang bayi yang kini bercokol didalam perut muda Arika.

Anak itu kemudian lahir, hendak diberi nama Yusuf oleh kakeknya yang raja, tapi Arika berkeras tetap menamainya Griezman sebab itulah yang dipesankan Clement kala malam disela-sela persekutuan mereka sebagai binatang purba yang saling menggulung di tempat tidur. Tak habis pikir memang, bagaimana bisa Arika masih berlapang hati menjaga wasiat laki-laki kapiran yang pergi begitu saja setelah puas menjamahi lekuk tubuh mudanya yang membuncah menghasut berahi. Ajaibnya cinta, ia tak merasa malu barang sedikitpun dengan aib sebesar itu. Justru memamerkan perut buncitnya yang berisi bayi kepada seisi kampung dan sumringah mengisahkan itu pada teman-teman sebaya semasa sekolah dulu.

Semenjak kejadian itu, Arika berubah menjadi perempuan panggilan seutuhnya. Hingga ia singgah di kehidupan Kopral Heri dan berlabuh di sana sepanjang waktu yang berbulan lamanya.

Pertemuannya dengan kopral Heri terjadi disebuah malam resepsi pernikahan salah seorang sepupu dekatnya. Arika yang mengenakan gaun satin merah marun, nampak begitu anggun tanpa tandingan di pesta kawinan itu. Kopral Heri hadir sebagai tamu dari pihak mempelai laki-laki yang juga seorang perwira tentara. Hati sang kopral tergugah, kepincut oleh kecantikan tiada tara yang dipancarkan raut bulat telur Arika, dengan ikat konde tinggi mempertontonkan leher jenjang pemiliknya, dan berberapa helai rambut tergerai jatuh sekenanya menghiasi kulit leher yang putih berseri-seri. Dan itu semua cukup untuk membuat kopral Heri tak sadar diri jika anak-bininya sedang menanti penuh cinta dirumah dinas.

Si kopral yang bahkan telah mendengar desas-desus jika wanita bergaun satin itu adalah janda dengan kata tambahan “dia bisa dipakai”, tak risih barang sedikitpun. Dia hanya ingin menikmati tubuh anggun itu saja. Tak lebih.

Kopral Heri beruntung, Arika tak menunjukkan gelagat angkuh semestinya perempuan cantik. Ia ramah, ramah sekali. Barangkali sisa-sisa pengajaran adab tata krama masa kecil masih ia simpan rapat-rapat dalam pola tingkahnya. Pun barangkali begitulah tabiat perempuan seperti Arika yang biasa bermanis-manis pada laki-laki.

“Sendiri saja?” tanya Kopral Heri basa-basi.

“Iya pak. Sendiri saja”

“Gaunnya indah” Si Kopral mulai merayu.

Arika senyum.

“Seindah pemiliknya” sambung Pak Kopral.

Rona Arika menjelma ranum. Persis kuncup bunga. Beruntung ia cepat menguasai diri. Biarpun sudah puluhan kali dirayu macam begini tetap saja ia rasai gejolak darahnya bergemuruh.

Begitulah perkenalan itu berlangsung lalu keduanya melesat bersama mobil kijang kopral Heri menuju penginapan kelas melati di pinggiran kota.

Bulan setengah gerhana ditelan gumpalan awan hitam. Semilir angin darat yang tengah dalam pengembaraan menuju tepian laut membelai lembut kulit ari Arika yang putih mulus serupa pati sagu, menegakkan bulu roma. Keduanya lalu berbarengan turun dari mobil. Setelah melapor dan memesan kamar pada Mba resepsionist yang bermata panda sebab saban hari begadang hingga malam jatuh, keduanya kemudian menapaki anak tangga, memasuki lorong sempit dengan jejeran pintu yang berhadap-hadapan. Pasangan itu lalu menghilang dibalik pintu bernomor 021.

***

            “Kamu cantik Arika, saya tak bisa melupakan kamu”. Begitulah kalimat pertama yang meluncur dari mulut kopral Heri di pagi setengah basah seusai hujan mengguyur di sepertiga malam.

Arika sekali lagi tersenyum. Kali ini aura perempuannya kelihatan lebih hidup. Rautnya polos sebab air kran membuat seluruh polesan makeup pada mukanya luruh tak tersisa.

“Saya mau kamu hanya untuk saya saja, Arika. Sudihkah?” nada si kopral setengah memohon.

Arika tertegun. Ia tak tahu harus menjawab apa? Ia samasekali tak terbiasa dengan gagasan kepemilikan penuh atas dirinya. Selama ini ia bercinta dengan siapa saja sekehendak hatinya. Lalu;

“Saya punya seorang anak yang harus diberi makan pak. Kalau bapak menginginkan saya untuk bapak sendiri, lantas bagaimana nasib anak saya. Selama ini saya melayani karena

saya perlu uang untuk hidup kami berdua.” tutur Arika panjang lebar. Dia tak terbiasa bicara banyak, tapi pagi ini situasinya lain.

“Saya bisa menanggung biaya hidup kamu dan anakmu, manis.”  Sanggah kopral Heri segera. “Gaji saya lumayan, usaha saya banyak, dan saya langganan jadi panitia penerimaan prajurit baru. Tak tanggung-tanggung, posisi saya selalu ketua panitia dan itu memungkinkan saya banyak menerima cekeran dari situ.” Kopral Heri terdiam, pandangnya dibuang keluar jendela. Sinar matanya ragu, gerak tubuhnya tak tentu. Ia gugup. Kopral Heri gugup dihadapan seorang perempuan panggilan.

“Ahh. Harusnya tak kukatakan hal itu padamu. Tapi, persetan semua itu.!”.

Keduanya terdiam.

“Bagaimana dengan anak-bini bapak?” tanya Arika seketika.

Bibir sang kopral melebar cekung, kumisnya yang tipis ikut tertarik oleh otot pipinya yang kini ikutan melebar. Pertanyaan Arika barusan memberi sedikit celah untuk memiliki perempuan ini seutuhnya.

Kopral Heri menghela nafas panjang, didekatinya tubuh Arika lalu membelai lembut rambut kekasihnya yang panjang bergelombang.

“Jangan pikirkan tentang itu, manisku.” bisik si kopral pelan pada telinga Arika yang kiri. Hembusan nafasnya terasa hangat dikulit leher Arika yang jenjang, “si Jena itu, perempuan bodoh itu, matanya tak akan melihat apa-apa lagi jika tiap bulan sudah saya sodori jutaan rupiah”

“Lalu bagaimana dengan anak-anak bapak?” Arika.

“Alaahh. Dua orang anak saya masih kecil. Tahu apa mereka soal beginian”.

Jawaban itu untuk sementara membuat Arika agak tenang. Dan kopral Heri membaca itu sebagai pertanda baik. Muka Arika didekapkan kedadanya yang bidang hingga setengah tubuh perempuan itu nyaris tenggelam di sana. Detik berubah menit, lama Arika menikmati rasa nyaman itu. Begitu mukanya ditengadahkan ke muka kopral Heri, seketika ia rasai lekuk bibirnya kembali basah.

Griezman, hampir genap delapan bulan kala itu, nampak gempal kelebihan nutrisi daripada bocah-bocah lain. Bola matanya biru, namun kulitnya kuning langsat mendekati coklat sama seperti si ibu. Rambutnya belum tumbuh betul, namun agak-agaknya akan pirang sebagaimana sang ayah, Clement Mallouda, pria Perancis itu.

Selepas beduk magrib bergema dari langgar, Arika buru-buru menutup pintu rumah kontrakannya takut angin jahat akan masuk dan mengerjai si anak sampai tak enak badan. Dua bulan telah berlalu sejak pertemuannya dengan kopral Heri. Sering perwira itu datang berkunjung ke kontrakannya dan menginap hingga sehari dua di sana.

Arika kembali lalu duduk di sofa berhadap-hadapan dengan si bayi yang tengah pulas didalam keranjang rotan yang baru dibelinya beberapa hari lalu. Ia menatap Griezman, bocah itu belum diberi asi sejak tadi sebelum tidur. Arika bangkit dari sofa menuju dapur menimbah seporsi nasi lengkap dengan sayur katok yang dimasak santan. Kata ibunya, sayur katok baik untuk perempuan menyusui karena melancarkan asi.

Tak selang berapa lama, terdengar deru mesin motor dari luar rumah berhenti tepat didepan kontrakan. Menyusul ketokan berkali-kali pada pintu. Suasana yang sedari tadi senyap jadi bising. Hilang selera makan Arika. Untung, Griezmann tetap terjaga dalam tidur damainya.

“Arika! Arika, buka pintu. Arika, buka!” Arika kenal suara itu: Kopral Heri.

“Iya iya, sabarr…” tangan Arika meraih gagang pintu, kunci diputar dua kali kearah kiri, dan seketika kopral Heri mendobrak pintu sampai perempuan manis itu jatuh terpental diatas lantai. Pelipisnya terbentur ujung meja kayu jati, dan menciptakan luka gores sekira tiga senti.

“Dasar perempuan jalang. Kau laporkan apa pada istri saya, hah?” tanya kopral Heri lalu menjambak rambut Arika dan tangannya menghunjam pipi kirinya dan perempuan itu sekali lagi terjerambab ke lantai.

“Perempuan sundal, gara-gara kau saya dipecat dengan tidak terhormat.” kata si kopral gelagapan. Kaki kanannya menuju muka Arika, spontan Arika melindunginya dengan tangan dan ‘krakk’, tulang kering Arika seperti hendak terlepas dari persendian. Patah.

Arika meliuk-liuk diatas lantai menahan kesakitan. Nafasnya megap-megap, tangan kirinya yang patah terkulai lemah dekat kaki meja, sedang matanya merah jingga sembab. Ingatannya menangkap bayang-bayang ketika ia bersama Griezzman dua hari lalu, nekat menemui istri kopral Heri dan melaporkan semua tentang hubungan haram itu.

Jena, istri kopral Heri tak kuasa menahan rasa terkejut mengetahui suaminya yang selama tiga puluh tahun menikahinya dan sebagaimana ia yakini, tak menunjukkan rasa keranjingan berlebih pada perempuan manapun selain Jena seorang, selama ini mempunyai seorang simpanan yang jujur memang lebih cantik dari Jena sendiri.

“Sekarang saya sedang mengandung anak dari suami ibu.” tutur Arika kemudian.

Jena menatap tajam mata Arika dengan segala amarah yang meluap-luap. Rasa panas perlahan-lahan mencuat dari dada, menjalar kemata, lalu naik hingga ubun-ubun. Amarahnya tengah memuncak dan segera akan tumpah melabrak perempuan sundal didepannya ini. Hingga sepersekian detik berlalu, ketika ia rasai syaraf-syarafnya semakin tegang dan barangkali akan pecah, lututnya tiba-tiba dielus oleh sepasang tangan mungil dengan jemari kecil-kecil yang nampak merah jambu menggemaskan. Griezmann telah ada di sana, berdiri disamping Jena, dengan tingkah polos anak-anaknya berusaha meredakan tangis Jena. Arika menggapai tangan Griezmann tapi sang anak justru menampik ajakan si ibu. Sepasang mata birunya kini mengarah pada mata Jena yang telah sembab basah. Lalu keduanya saling bertatapan. Parahnya, tangisan Jena malah semakin kencang, hingga akhirnya perempuan itu berbalik badan dan masuk membanting pintu meninggalkan Arika dan Griezmann yang diam serupa patung.

Begitulah kala akhirnya Arika membunuh kopral Heri dengan sekali tarikan pelatuk yang dirampasnya dari saku tempel si kopral hingga dada perwira itu koyak tak ada bentuk.

 

Ambon, 12 Januari 2018

    ______________________
Almin Patta, penulis lahir di Desa Wakal, Kecamatan Lihitu
Kabupaten Maluku Tengah.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?