CERPEN: Ling, Perempuan di Kerusuhan Mei
Mei 1998
Kurasakan ada yang janggal ketika aku lewat di depan rumah Mbah Darmin. Hari ini dia tidak di rumah atau juga di pasar. Aku memang sering mampir ke rumahnya, menyempatkan barang sejenak untuk bercengkerama sebelum aku sampai di pasar, karena aku kuli angkut di sana.
Biasanya, jika Mbah Darmin tidak di rumahnya, dia pasti telah ada di pasar. Menjajakan barang dagangannya berupa sayuran hasil kebunnya sendiri. Tapi hari ini dia tidak ada di pasar. Kupikir dia pergi ke ladang. Mudah untukku menyimpulkan seperti itu, karena akhir-akhir ini pasar sepi pedagang, hanya ada sekumpulan orang yang bukan lagi menawarkan barang dagangan, melainkan berisi omongan tentang kondisi politik yang ada di Jakarta. Karena hal itu, sempat terlintas dalam pikiranku apakah Mbah Darmin pergi ke kota? Pertanyaan itu terus berputar di pikiranku.
***
Matahari belum sempurna menawarkan panas. Angin berkesiur lembut, membuai setiap jiwa yang ingin mengais ketenangan untuk hari ini. Tapi angin tak juga menghantar sesuatu yang benar-benar membuat tenang perasaan. Subuh sudah lewat sekitar dua jam, selain radio yang terus memberitakan kobaran api karena demonstrasi di berbagai penjuru kota, desaku pun geger karena kepulangan Mbah Darmin setelah semingguan pergi. Gosip terus beredar, merambat dari satu telinga ke telinga lewat mulut yang menghadirkan cerita berbagai versi.
Seorang warga mengatakan Mbah Darmin pulang membawa seorang perempuan kota. Aku semakin penasaran. Tanpa pikir panjang kucoba mengobati rasa penasaranku, bergegas ke rumahnya. Banyak warga yang berkumpul di sana, lengkap dengan berbagai gunjingannya. Kuterobos kerumunan itu, tapi bukan Mbah Darmin yang pertama kutemui, melainkan Pak RT yang sudah ada di depan pintu rumah.
Pak RT mengetuk pintu rumah Mbah Darmin berkali-kali, tapi tak ada sahutan dari dalam rumah. Seiring matahari meninggi, semakin banyak warga yang mendekat. Pak RT mencoba menenangkan kerumunan yang sudah tak keruan jumlahnya.
Matahari terus naik hingga Azan Zuhur terdengar. Satu per satu warga mulai meninggalkan rumah Mbah Darmin. Hati mereka terbungkus rapat dengan kekecewaan. Pak RT yang semula terus mengetuk pintu mulai bosan dan merasa lelah jika selalu menenangkan warga, hingga akhirnya dia pun pergi.
Kini tinggal aku. Pada saat itu kucoba mengetuk pintu sembari mengantar salam, dan menyebut namaku berkali-kali tapi tak ada sahutan juga. Aku terus melakukannya, hingga suara langkah kaki pelan terdengar.
“Cepat masuk, Har!” ajak Mbah Darmin sembari cepat menarik tanganku, “Aku membawa putri majikanku. Sekarang dia ada di kamar,” ucap Mbah Darmin sebelum aku sempat menanyakan satu hal.
“Ceritanya panjang, Har,” kata Mbah Darmin lalu menerangkan panjang lebar.
Setapak demi setapak segala yang gelap menjadi terang. Bukan karena ini siang hari atau tuntasnya sebuah penebusan akan dosa, tapi terangnya sebuah cerita. Dengan gaya bicaranya yang khas, Mbah Darmin menceritakan padaku tentang masa lalunya. Seperti lazimnya, masa lalu memang akan tampil bak gendang ditabuh, lalu bunyinya siap menjalar ke setiap hati yang mendengar.
***
Dulu, Mbah Darmin dipecat karena dituduh merusak sebuah lukisan mawar putih, sebuah lukisan yang paling disayangi oleh tuannya, padahal Mbah Darmin sama sekali tak tahu menahu kenapa lukisan itu bisa rusak. Kepercayaan bak sebuah piring. Sekali pecah tidak akan pernah bisa kembali utuh seperti sediakala dan tak bisa digunakan sebagaimana mestinya lagi. Terlebih jika kehancurannya kepercayaan itu dibumbui dengan hasud, tak ubahnya bagai sebuah piring pecah bukan karena jatuh, melainkan karena digodam berkali-kali. Sebenarnya Mbah Darmin tahu, siapa penghasud itu hingga membuatnya dipecat. Tapi dia tidak mau menyebut nama itu, toh baginya hal itu akan berakhir sia-sia. Masa lalu tidak pernah bisa diperbaiki, kecuali dengan membuka celah maaf selebar-lebarnya. Mbah Darmin juga tidak ingin mendebatkan segala perkara dengan tuannya, bukan karena dia kalah, namun dia hanya berpikir bahwa kenyataan yang sesungguhnya akan sulit untuk diterima. Tentu tuannya sangat menyayangi dengan sepenuh hati penghasud itu.
***
Ketika aku membuka gorden, mataku menemu seorang perempuan berkulit serupa susu dan bermata sipit. Rambutnya hitam panjang namun tampak acak-acakan.
“Dia anak tuanku.” Ucapan Mbah Darmin membuyarkan segala yang berputar di pikiranku tentang perempuan itu.
Aku sedikit tak peduli dengan ucapan Mbah Darmin. Mataku masih tak mau lepas dari perempuan itu. Pada saat itu tubuhnya meringkuk dan sedikit bergoyang-goyang ditopang dua lututnya sendiri. Rasanya ada keinginan di hatiku untuk mendekatinya, tapi ketika baru beberapa langkah, matanya langsung membelalak. Dia tiba-tiba berteriak.
“Pergi! Pergi! Jangan! Jangan!” Perempuan itu terus berteriak. Dua tangannya seakan mengelak untuk didekati.
“Kebiadaban dipertontonkan dan aku terlambat datang. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku tak habis pikir bagaimana kemanusiaan dikesampingkan. Nafsu diumbar berkedok dendam dan hal itu mereka anggap kewajaran.” Air mata Mbah Darmin mengalir ketika dia mengatakan itu. Ada getar dalam hatiku, sebuah hal yang tercekat dan sunyi mengisi lorong hati. Mbah Darmin melangkahkan kakinya dan memang hanya dia yang bisa mendekati dan memberi pengertian kepada perempuan itu.
“Lebih baik kamu pulang, Har. Sekalian aku minta tolong jelaskan kepada Pak RT, maksudku merawat dia yang sedang tertimpa musibah.” Kata Mbah Darmin sebelum dia mendekati perempuan itu.
***
Seperti yang dikatakan Mbah Darmin, kebencian tak mungkin lepas dari setiap jiwa manusia. Bahkan Mbah Darmin pernah berkata kepadaku bahwa sebagian manusia lebih suka bertahan hidup karena memelihara kebencian itu.
Tidak jelas, antara memaafkan atau tetap menyimpan kebencian yang tak terkira diterima Mbah Darmin juga Ling—nama perempuan itu. Sebagian warga desa ada yang bersimpati atas peristiwa yang menimpa Ling, tapi banyak juga yang terus nyinyir, dan mengatakan bahwa kejadian yang menimpa Ling sudah seharusnya terjadi.
Di saat seperti itu, aku tak pernah tahu harus memihak kepada siapa, atau mengambil sikap seperti apa. Jujur aku prihatin dengan keadaan Ling, tapi aku juga belum bisa melepas kebencianku. Ini tak lepas tentang masa laluku. Ibuku memutuskan bunuh diri karena terlilit utang kepada rentenir yang satu etnis dengan Ling. Sebagai anak tentu aku ingin berbakti kepada orangtua yang membesarkanku. Tapi aku juga merasa iba kepada Mbah Darmin. Tak tega dan tak enak hati jika aku tidak memedulikannya atau juga Ling.
Ada warga yang benar-benar bersimpati pada Mbah Darmin. Hampir setiap hari mereka bergantian mendatangi rumahnya, memberikan sedikit makanan, atau hasil kebun untuk Mbah Darmin juga Ling. Tapi justru tidak begitu denganku. Tiap hari aku melintas di depan rumah Mbah Darmin, tapi sejak itu aku enggan masuk, atau bercengkerama dengannya seperti dulu.
***
Tahun 2019
Dua bola mata itu menatapku. Dari kejauhan segalanya tak pernah benar-benar jelas. Aku melangkah, mendekati rumah Mbah Darmin. Ling tersenyum dari kejauhan.
“Apa kamu suka mawar putih?” tanya Ling kepadaku sembari tangannya sibuk merapikan sebuah bunga.
Aku hanya bisa mengangguk sembari melempar senyum kepadanya.
“Kau mau ke mana?”
“Ke pasar. Mau ikut?”
Ling menggeleng lantas berkata, “Aku di sini saja karena sebentar lagi Mbah Darmin pulang.”
Tak ada lagi perumpamaanku setiap bertemu Ling di pagi hari, saat aku melintas di depan rumah Mbah Darmin. Dadaku sesak setiap Ling berkata Mbah Darmin sebentar lagi pulang.
Waktu serasa berhenti bagiku. Ling belum menyadari, bahwa Mbah Darmin telah benar-benar pulang—telah mati, dan itu sudah berlalu dua tahun. Bak sebuah pemaknaan hidup yang memang terus berulang, karena setiap pagi, ketika aku melintasi rumah Mbah Darmin, itulah pertanyaan dan perkataan yang selalu diucapkan Ling, tak ubah seperti nasib yang menimpanya, dia tidak pernah tahu siapa yang telah melakukan perbuatan keji kepadanya dulu.
___________
Ruly R
lahir di Cirebon, 18 Desember 1994. Saat ini tinggal di Jl. Lawu No. 55 Kabupaten Karanganyar. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4). Kumcernya Cakrawala Gelap (Penerbit Nomina, 2018) dan novelnya Tidak Ada Kartu Merah (Penerbit Buku Kompas, 2019). Surat menyurat: riantiarnoruly@gmail.com atau twitter: @ruly_r_.
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.