Esai

Pendidikan Alternatif sebagai Alat Pembebasan

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia karena ada proses belajar dari tidak tahu menjadi tahu. Embrio kesadaran seseorang atau kelompok diawali dari adanya pembelajaran baik didapatkan dari pengalaman maupun proses belajar secara formal (misalnya di Sekolah Formal). Akan tetapi ada hal lain dalam proses pendidikan itu, yaitu pendidikan alternatif.

Pendidikan alternatif memberi ruang bagi masyarakat untuk belajar dan tidak terkurung dengan pengetahuan dalam aturan akademik yang bersifat linear. Pendidikan alternatif juga diarahkan dengan metode yang berbeda dengan pendidikan formal. Sumber pengetahuan dari masyarakat seringkali diabaikan dalam pendidikan formal. Pendidikan alternatif melihat pengetahuan lokal sebagai hal yang menjadi kajian bahkan dipertanggungjawabkan secara akademik dengan berbagai pembuktian riset. Dalam pendidikan alternatif gedung bukan menjadi sebuah ukuran tempat belajar (kelas). Berbagai tempat akan menjadi tempat belajar (rumah, kebun, bantaya).

Pengertian kelas tidak terikat pada sebuah gedung, namun di bawah pohon juga bisa disebut sebagai kelas apabila ada proses belajar. Belajar juga tidak harus membawa kelengkapan layaknya sekolah yang kita kenal, cukup mendengar dan mempraktekkan itulah yang dimaksud pendidikan alternatif. Pengajarnya tidak harus orang yang mengorganisir melainkan masyarakat sendiri, sehingga outputnya, masyarakat mampu mengorganisir sendiri kemudian hasil akhirnya kematangan berpikir menentukan arah mereka di komunitas.

Pengorganisasian dilakukan dengan pendidikan alternatif bukanlah sesuatu yang baru. Paulo Freire sebagaimana digambarkan dalam bukunya “Pendidikan Kaum Tertindas” memperlihatkan pengorganisasian petani-petani dan berbagai lapisan masyarakat di Brasil yang telah ia lakukan. Tetapi pengorganisasin yang dilakukan tidak harus seperti yang dilakukan di Brasil karena kondisi di Indonesia berbeda dengan di sana. Walaupun dalam buku tersebut tidak disebutkan bahwa apa yang dilakukan adalah pendidikan alternatif, tetapi berbagai proses yang dilakukan memberikan penyadaran atas tertindasnya masyarakat adalah alternatif untuk belajar. Mengorganisir masyarakat adat Marena contohnya, bukan berarti mengajarkan untuk melawan rezim yang berkuasa tetapi lebih pada memberikan penyadaran pentingnya mempertahankan tradisi yang ada dan juga tidak phobia dengan perkembangan yang sesungguhnya akan membawa dampak positif.

Pendidikan Alternatif dan Masyarakat

Pendidikan Alternatif tidak terikat dengan sekolah formal tetapi bisa memengaruhi pembelajaran dalam sekolah formal karena model pendidikan alternatif yang bisa belajar di mana saja. Proses belajarnya juga tidak kaku. Berdiskusi di ruang-ruang terbuka adalah bagian dari pendidikan alternatif. Orang tua berbicara kepada anaknya tentang cara menanam padi dan menjaga budayanya merupakan bagian dari pendidikan alternatif. Masyarakat akan bisa menjadi pendidik bagi masyarakat lainnya. Sementara orang yang mengorganisisr hanya mengarahkan dan berdiskusi bersama. Pendidikan seperti ini akan berjalan secara alamiah, karena hanya dengan diskusi-diskusi pada umumnya bisa membuka lebar pengetahuan lokal yang dapat juga didorong menjadi pelajaran muatan lokal di sekolah formal.

Adapun 9 (Sembilan) prinsip pokok pendidikan berbasis masyarakakat yang dikemukakan Michael W. Galbraith (1995:3-4) yaitu:

  1. Menentukan sendiri (Self determination)
    Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab untuk terlibat menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
  2. Menolong diri sendiri (Self help)
    Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggungjawab adalah untuk kesejahteraan diri sendiri.
  3. Pengembangan kepemimpinan (Leadership development)
    Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai keterampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dan proses kelompok sebagai cara menolong diri sendiri secara terus-menerus yang juga sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
  4. Lokalisasi (Locallization)
    Potensi terbesar untuk tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupannya.
  5. Keterpaduan pemberian (Intergrated delivery of service)
    Adanya hubungan gensi di antara masyarakat dan agen-agenyang menjalankan pelayanan public yang lebih baik.
  6. Pelayanan masyarakat (Reduce duplication of service)
    Pelayanan masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan melakukan koordinasi usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
  7. Menerimah perbedaan (Accept diversity)
    Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan masyarakat perlu dilakukan seluas-luasnya, dituntut aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksaan program pelayanan dan aktivitas-aktivitas kemasyarakatan.
  8. Tanggungjawab kelembagaan (Institutional responsivences)
    Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga public sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
  9. Pembelajaran seumur hidup (Lifelong learning)
    Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.

Demikian yang coba dilakukaan di Marena, artinya pengorganisasian bukan hanya sekedar kerja-kerja kelembagaan tetapi juga mampu memberikan pemahaman yang menjaga pengetahuan lokal yang mereka miliki.

Pengorganisasian di Marena

Berdasarkan pengalaman lapangan penulis di Desa Marena bahwa masyarakat menganggap setiap lembaga melakukan pengorganisasian masyarakat sudah dihantui dengan kata” uang”. Itu menjadi tantangan dalam mengorganisir masyarakat, tidak bisa juga mengatakan bahwa masyarakat salah tetapi penulis melihat bahwa ada kekeliruan perorganisiran sebelumnya yang selalu bicara program founding sehingga anggaran akan menjadi kendala untuk melakukan pemberdayaan. Salah satu contoh ketika pembentukan kelompok pengrajin pandan hutan masyarakat harus di bayar dulu, sementara kerja-kerja perkumpulan bantaya adalah pemberdayaan masyarakat bukan proyek bekerja kemudian ada uangnya. Tetapi bicara pemberdayaan butuh proses adapun hasil tergantung proses yang dilakukan dan kembali lagi pada keadaran masyarakat dan pola pengorganisasian.

Perorganisasian tujuannya adalah memberikan kesadaran bahwa penting untuk dapat berday demi kemajuan tanpa meninggalkan kearifan lokal. Justru kearifan lokal menjadi jalan menuju perubahan yang lebih baik. Perorganisasian gaya baru harus dilakukan tanpa bergantung dengan donor karena masyarakat akan mampu memberdayakan dirinya apabila mempunyai kemampuan mengorganisir minimal diri sendiri dan memberikan pengaruh kepada komunitas. Terpenting adalah butuh diskusi dan analisis mendalam bagi kelompok yang mencoba melakukan pengorganisiran sebagai alat pembebasan untuk mencapai kemerdekaan. Apa yang penulis sajikan bukan merupakan hasil akhir atau kesimpulan dari pengorganisasian di Marena, melainkan hal ini hanya jawaban sementara (hipotesa) dari kerja-kerja di lapangan karena pengorganisasian akan tetap berlanjut.

____________________
Arman Seli
Tinggal di Palu, Sulawesi Tengah
Bergiat di LS-ADI (Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia)

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?