Resensi Buku

Pak Tua yang Hidup di Antara Kerusakan Hutan dan Amukan Macan Kumbang

Judul: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis: Luis Sapulveda
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: XVI +116 Halaman

“Antonio Jose Bolivar berusaha membuat hewan-hewan itu bertahan sementara para pemukim menghancurkan hutan dan membangun mahakarya manusia beradab: padang kerontang,” (hlm.39). Kalimat tersebut adalah kutipan dari Novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sapulveda.

Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta adalah novel berlatar Amerika Latin sekaligus berbicara tentang lingkungan hidup. Dalam sambutan penulisnya, novel ini juga dipersembahkan kepada Chico Mendes—aktivis lingkungan hidup yang ditembak di Brazil pada tahun 1988. Chico Mendes adalah penduduk pedalaman Amazon yang getol berjuang mempertahankan hutannya. Sampai sekarang, kasusnya tidak pernah jelas siapa aktor utama atas pembunuhannya. Ia adalah aktivis ke-90 yang ditembak mati di Brazil pada tahun itu.

Dengan dibalut oleh kisah Pak Tua yang senang membaca novel cinta-cintaan, novel ini, secara tak langsung mengisahkan penghancuran wilayah masyarakat adat yang hidup di Amazon. Salah satunya adalah suku asli di hutan hujan tropis itu. Namun, seiring dengan semakin berjalannya waktu, terjadi deforestasi besar-besaran di hutan Amazon.

Hingga Juli 2019, kerusakan hutan Amazon terjadi seluas 9.762 km persegi (Jonathan Watts, 2019). Dalam berita yang sama, Watts menuliskan bahwa meningkatnya luas deforestasi di Amazon Brasil, tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang mendorong masifnya perampasan tanah termasuk tanah adat, hingga kemudahan izin. Deforestasi tersebut belum termasuk Kawasan hutan Amazon di negara lain seperti Ekuador.

***

Tokoh utama dalam novel tersebut adalah Antonio Jose Bolivar (pak tua) yang menetap di El Idilio, Ekuador. Ia adalah satu dari sekian banyak pendatang dari tempat lain, yang ikut mendaftar program migrasi. Ia dijanjikan oleh pemerintah akan mendapatkan bantuan bibit dan alat pertanian oleh dan diberi lahan seluas dua hektar. Namun, program tersebut gagal karena ganasnya hutan Amazon dan ketidakmampuan para pendatang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi di desa yang mereka tempati..

Akhirnya, Antonio ikut bersama dengan suku Shuar (masyarakat asli) yang sudah lama menghuni wilayah tersebut. Ia belajar berburu, memilih buah yang bisa dimakan, dan bagaimana bertahan hidup di hutan. Antonio lalu merasakan suatu kebebasan di dalam hutan dan begitu mencintai hutan tersebut. Namun, di saat yang bersamaan, ancaman pemburu, tambang emas, dan penebangan hutan mengusik kenyamanannya.

Pemburu dan pendatang justru mengubah wajah Amazon. Orang-orang Shuar harus menyingkir semakin jauh ke dalam hutan. Hewan-hewan juga mengikuti pergerakan orang-orang Shuar. Pendatang telah mengusik keindahan Amazon, dengan berburu tanpa kenal waktu dan membuka hutan untuk berkebun. Dampaknya, banyak hewan yang menjadi liar dan ganas, lalu melukai penduduk.

Seekor macan kumbang yang memburu manusia karena anaknya terbunuh oleh pemburu, menjadi salah satu yang dibahas dalam novel ini. Penduduk di El Idilio, penambang, dan pemburu di hutan Amazon terancam oleh macan tersebut. Akhirnya, Antonio Jose Bolivar yang ingin menghabiskan masa tuanya dengan membaca buku, merasa terusik. Ia harus ikut ekspedisi memburu macan tersebut, karena hanya dirinya yang tahu betul hutan Amazon dan bagaimana menghadapinya.

Luis Sapulveda, sebagai aktivis lingkungan dan orang yang diasingkan dari negaranya, Chile, menggambarkan dengan sangat detail hutan Amazon. Misalnya, saat Antonio Jose Bolivar, bersama beberapa orang penduduk termasuk pak Walikota yang korup memasuki hutan Amazon untuk memburu Macan Kumbang itu. Luis Sapulveda menggambarkan hutan Amazon seperti ini: “Di sana hujan tak seberapa kencang tapi airnya mengucur membentuk pancuran-pancuran deras. Hujan tak sanggup menembus kanopi hutan. Ia menumpuk di dedaunan, dan saat dahan-dahannya kalah ia pun mengucur turun, membawa serta segala jenis bebauan” (hlm. 70).

Kepedulian Luis Sapulveda terhadap lingkungan hidup semakin tergambar dalam novel ini ketika tokoh utamanya berhadapan dengan macan kumbang saat hujan mengguyur seisi Amazon. Ia menggambarkannya dengan kalimat yang puitis namun terasa menegangkan sekaligus menyedihkan. “Maaf kawan, bule brengsek itu membuat hidup kita serba salah” (hlm. 100), kata Antonio Jose Bolivar kepada macan kumbang jantan yang sekarat karena tertembak oleh pemburu beberapa waktu sebelumnya. Setelah itu ia menyudahi penderitaan si macan jantan, lalu melanjutkan pertarungannya dengan si macan betina.

“Matanya berlinang air mata dan air hujan. Ia dorong tubuh hewan itu ke tengah sungai, dan air menghanyutkannya ke dalam hutan, menuju wilayah yang belum pernah cemar oleh kulit putih, menuju persuaan dengan amazon, menuju riam tempat ia bakal dilumat oleh karang-karang setajam belati, aman selamanya dari makhluk-makhluk keji” (hlm. 105).  Ini adalah potongan paragraf yang puitis, menyedihkan, sekaligus menegaskan keberpihakan penulisnya terhadap lingkungan hidup.

Walau novel ini penuh dengan ironi hutan Amazon di Ekuador, terdapat pula bagian-bagian lucu dan terkesan mencibir. Misalnya saat Antonio Jose Bolivar mencari buku yang akan ia baca sebagai pengisi hari tuanya. Antonio Jose Bolivar tidak memilih buku sejarah dan mencibir suatu sejarah tentang tentara yang menang perang. Berikut kutipannya:

“Buku-buku sejarah tampak olehnya bagai rentetan dusta. Bagaimana mungkin anak-anak manis bermuka pucat ini, dengan sarung tangan sampai ke sikut dan celana ketat seperti celana pejalan tali, bisa sanggup memenangkan perang? Kau cuma perlu melihat jambul ikal mereka yang rapi dan bersih melambai dalam angin sepoi untuk tahu bahwa orang-orang ini membunuh lalat seekor pun tak bisa” (hlm. 48).

Luis Sapulveda dalam “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta” telah menulis tentang bagaimana masyarakat adat disingkirkan dan Amazon dihancurkan. Namun, sekarang, kisah tersebut harus ditambah dengan kisah-kisah perlawanan balik dari mereka yang tersingkir di Amazon. Pun dengan bagaimana mereka membentuk aliansi dengan gerakan masyarakat lain di perkotaan. Chico Mendes telah tiada, namun gerakan melindungi bumi akan terus ada.

____________
Nur Ansar
Mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Jakarta.
Dapat dihubungi melalui email nuransar243@gmail.com, atau di Instagram @nur_ansar

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang masuk di spam atau update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?