Polemik Konsepsi tentang Desa di Jawa dan Kapitalisme
Indonesia biasanya dikelompokkan sebagai negara berkembang karena perekonomiannya sebagian besar masih agraris. Seiring dengan anggapan tersebut, muncul dikotomi antara desa dan kota. Desa adalah representasi dari suatu wilayah yang terdiri dari community bukan society (Soemardjan, 1981: 5). Community ini dimaksudkan sebagai kumpulan warga dengan frekuensi interaksi yang tinggi. Ciri lain mengenai desa misalnya karena masyarakatnya masih tradisional, dengan kata lain tidak modern.
Dari sini saya melihat bahwa ada suatu imaji mengenai desa yang melekat sangat kuat dalam masyarakat Indonesia. Adanya desa hampir selalu dikontraskan dengan kota. Terlebih lagi dalam era sekarang, dimana pembangunan digembar-gemborkan, terdapat berbagai kebijakan yang disebut sebagai upaya membangun desa. Saya beranggapan bahwa seharusnya konsep desa diuraikan terlebih dahulu. Apakah imaji kita selama ini adalah suatu proses alami atau justru karena konstruksi sosial tertentu.
Imaji kolektif ini pada dasarnya berakar pada suatu sejarah sosial Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari kehadiran pihak kolonial atau penjajah. Dengan kekuasaannya, pihak kolonial membangun imaji terhadap desa yang sampai sekarang masih ajeg. Kebanyakan karya ilmiah mengungkapkan kota di negara koloni sebagai produk modernitas dan hasil dari kolonialisme Eropa. Pandangan bahwa kolonialisme telah membentuk wajah, konsepsi, dan imaji mengenai desa justru terpinggirkan.
Koentjaraningrat (1994) misalnya mengemukakan bahwa terjadi perubahan bentuk kota tradisional menjadi kota administratif akibat kebijakan kolonial. Jawa pada dasarnya memiliki suatu bentuk kota yang asli namun berubah karena kepentingan kolonial mendorong industri, terutama industri perkebunan. Mengenai desa, Koentjaraningrat menyatakan bahwa Sistem Tanam Paksa menciptakan kesenjangan pada masyarakat dan tertinggalnya masyarakat desa. Hal ini diuraikan tanpa penjelasan terlebih dahulu mengenai bentuk dan konsepsi desa.
Sehingga kasus ini harus dilihat dari perspektif ekonomi-politik untuk mendekonstruksi imaji tersebut. Selain itu untuk melihatnya juga dibutuhkan pendekatan pasca-kolonial dan sejarah untuk melihat asal usulnya. Hal ini disebabkan karena konstruksi ini dibangun untuk kepentingan ekonomi kolonial Belanda. Corak ekonomi penjajah Belanda saat itu sudah menjadi kapitalisme yang mendorong pertumbuhan industri, terutama pertanian dan perkebunan besar. Wilayah perdesaan menjadi lumbung ekonomi bagi kapitalis Belanda. Tanaman yang ditanam disesuaikan dengan kebutuhan pasar internasional.
Dari sini saya lebih melihat masalah ini melalui pendekatan ekonomi politik. Masalah ini lebih condong pada kuatnya pengaruh kapitalisme yang mengubah pertanian subsisten menjadi pertanian dan perkebunan industri. Terjadi perubahan dalam cara produksi perdesaan Jawa. Menurut Eric Wolf (2001), butuh analisis terhadap mode of production untuk membongkat ketimpangan dalam masyarakat. Pandangan ini dipengaruhi oleh Marxisme.
Perdesaan Jawa yang sudah beralih menjadi wilayah industri memiliki pertentangan kelas di dalamnya antara priyayi dengan pekerja di perkebunan maupun pertanian. Salah satu bagian dari pendekatan ekonomi politik adalah pandangan mengenai world-system theory (Wellerstein, 1976). Teori ini dapat digunakan karena kondisi perdesaan tersebut memang tidak dapat dilepaskan dari sistem dunia internasional, terlebih lagi sistem pasarnya. Kapitalisme harus terus berakumulasi untuk tetap hidup. Sehingga akumulasi itu harus diarahkan pada negara-negara pra-kapitalisme melalui imperialisme.
Jan Breman (1980) yang mengajukan hipotesis bahwa konsepsi desa di Jawa merupakan suatu konstruksi kolonial, bukan institusi pribumi. Gagasan desa di Jawa oleh kaum populis sering dinyatakan sebagai suatu community yang homogen dan harmonis. Lahirnya konsepsi ini tidak terlepas dari peranan kaum elit lokal atau priyayi. Didorong oleh kepentingan kolonial, priyayi yang saat itu banyak menjadi birokrat bagi pihak kolonial membentuk konsepsi ini suatu konsepsi masyarakat yang teratur. Desa menjadi suatu area yang diperuntukkan untuk kepentingan ekonomi kolonial. Harmonisasi pada dasarnya tidak terjadi karena kedudukan priyayi sebagai tangan kanan kolonial. Dari sinilah, seperti yang digambarkan Wertheim (2009), elit lokal menyampaikan suatu laporan atas desa sesuai dengan keinginan pemerintah kolonial. Masyarakat desa digambarkan sebagai suatu totalitas yang seimbang dan serasi.
Pada kenyataannya, konsepsi desa ini memang berkembang di negara-negara berkembang yang memiliki latar historis penjajahan oleh pihak kolonial. Gagasan ini juga terus direproduksi, tidak hanya di tataran masyarakat awam, tetapi juga dalam berbagai karya ilmiah. Di awal sendiri saya, dalam menyebutkan definisi desa, saya mengutip karya klasik sosiolog awal Indonesia, Selo Soemardjan. Definisi yang masih sangat kental dengan konsepsi kolonial atas desa dengan menyatakan bahwa desa tidak bisa dikelompokkan sebagai suatu society. Dalam komentarnya terhadap Jan Breman, Ruiter dan Nordholt (1989) menyatakan bahwa karya Breman itu meskipun berlatar desa di Jawa, tetapi membantah konsep desa di Asia yang merupakan bentukan kolonial.
Perlu diingat bahwa sumber yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah awal mengenai desa di Jawa adalah catatan dari pihak kolonial. Kebanyakan penulisnya adalah kalangan birokrat kolonial, baik dari kalangan Belanda maupun pribumi sendiri. Sulit ditemukan narasi selain narasi kolonial mengenai berbagai hal pada saat itu. Pihak kolonial berhasil menciptakan regime of truth[1] yang pengaruhnya terasa sampai sekarang. Clifford Geertz (2016) misalnya membantah pandangan J.H. Boeke mengenai kondisi perekonomian Hindia Belanda adalah ciri khas peradaban Timur dan merupakan “gejala yang bersifat spiritual”. Ia menyatakan bahwa kondisi perekonomian Hindia Belanda lahir dari suatu akar historis tertentu dimana pihak kolonial amat berperan. Meski Geertz juga tetap mempertahankan pandangan desa yang harmonis dalam Agricultural Involution yang begitu khas pandangan kaum populis.
Dari analisis ini, kajian yang membahas mengenai pedesaan di Indonesia harus disertai dengan dekonstruksi mengenai konsep desa itu sendiri. Padahal desa ini menjadi salah satu konsep penting dalam kajian mengenai negara berkembang, terutama Asia Tenggara. Begitu juga kebijakan publik yang menargetkan desa tidak akan berhasil tanpa adanya kejelasan mengenai “apa itu desa?” terlebih dahulu. Desa sebagai konsep harus terus ditelaah dari berbagai perspektif. Sulit untuk membedah konsep desa ini dengan perspektif tunggal. Saya beranggapan bahwa hal ini disebabkan karena kepentingan kapitalisme dan pasar internasional kala itu. Menguraikan konsep desa juga membutuhkan analisis terhadap data sejarah yang ada. Hal ini menjadi suatu titik temu antara perspektif sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lain.
Daftar Pustaka
Bernstein, Henry. (2015). Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. Yogyakarta: Insist Press
Breman, Jan. (1980). The Village on Java and the Early-colonial State. Rotterdam: Erasmus University
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Geertz, Clifford. (2016). Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
Ruiter, Tine, & Nordholt, Henk Schulte. (1989). “The Village Revisited: Community and Locality in Southeast Asia”. Journal of Social Issues in Southeast Asia 4 (1): 127-134
Soemardjan, Selo. (1981). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: YIIS
Wallerstein, Immanuel. (1976). The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press
Wertheim, W. F. (2009). Elite vs Massa. Yogyakarta: Resist Book
Wolf,
Eric. (2001). “The Mills of Inequality: A Marxian Approach” dalam Pathways of Power: Building an Anthropology
of the Modern World. Berkeley: University of California Press.
[1] Regime of truth adalah mekanisme yang membedakan yang salah dan yang benar. Mekanisme ini ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Pihak kolonial memiliki kekuasaan mengenai definisi desa yang sesuai dengan kepentingannya. Lebih lanjut mengenai regime of truth, lihat Collin Gordon (ed.), Power/Knowledge (New York: Pantheon Books, 1980)
___________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.