Esai

Kontrol Moralitas atas Agama

Diskursus seputar moralitas dan agama telah dimulai oleh para filsuf dunia sejak ratusan abad yang lalu. Dalam hubungannya dengan moralitas, Sokrates misalnya, merupakan filsuf pertama yang menegaskan bahwa hidup moral menjadi sebuah indikasi bagi hidup berdasarkan kodrat manusia. Perhatian para filsuf terhadap tema-tema seputar moralitas dan agama secara implisit menunjukkan perhatiannya terhadap kehidupan manusia. Manusia sebagai subjek atau pelaku di tengah dunia tentunya menjadi fokus perhatian para filsuf dalam usaha menata wajah dunia yang humanis dan penuh damai.

Tak dapat dimungkiri bahwa pembicaraan seputar moralitas dan agama di antara para pemikir dunia seringkali menunjukkan adanya tegangan yang begitu kuat antar-keduanya. Perselisihan pendapat atau pikiran menjadi mungkin ketika dihadapkan dengan fakta-fakta miris yang terjadi di dunia, seperti tindakan kekerasan atas nama agama, peperangan dalam usaha membela agama, dan lain-lain. Morris Raphael Cohen misalnya, menegaskan bahwa agama telah membuat kebajikan atas kekejaman; pengorbanan darah manusia untuk menyenangkan para dewa memenuhi lembaran sejarah.[i] Selain melalui pendekatan negatif untuk menunjukkan universalitas moralitas dalam kehidupan manusia dan kepincangan agama sebagai sumber prinsip hidup baik, seperti yang diungkapkan oleh Cohen sendiri, filsuf Immanuel Kant pun mengemukakan pikirannya tentang moralitas. Ia mengatakan bahwa hukum moral berada dalam suara hati manusia, karena itu moralitas bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia. Setiap manusia memiliki pengertian moral dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Yang diperlukan adalah sebuah pertimbangan rasional praktis untuk menilai apakah kesadaran moral tersebut memiliki dimensi rasional.[ii] Dengan kata lain, berperilaku baik bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia dan hanya dapat diperoleh melaui agama. Manusia secara kodrati terarah pada kebaikan, karena kebaikan atau berperilaku baik adalah sesuatu yang rasional dalam dirinya sendiri.

Di lain pihak, perselisihan pendapat itu menjadi mungkin dengan munculnya kesadaran akan longgarnya kebebasan dan maraknya perilaku amoral akibat kemerosotan iman keagamaan. Salah satu filsuf yang menekankan pentingnya agama dalam usaha menjaga eksistensi moral adalah Kiekergaard. Dalam pandangannya, eksistensi moral merupakan sebuah produk dari hubungan manusia dengan Allah. Sejauh kita hanya membangun moralitas di atas pengetahuan manusia (sebagaimana dikembangkan Sokrates dan Kant), kita kehilangan motivasi untuk mengubah keputusan moral menjadi kehidupan praksis. Moralitas bagi Kiekergaard, pertama-tama merupakan sebuah keterarahan atau tanggung jawab pada Yang lain.[iii] Sampai sejauh ini, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana sesungguhnya relasi antara moralitas dan agama? Apakah keduanya sangat berbeda satu sama lain?

Terlepas dari polemik seputar moralitas dan agama,  penulis mengajak pembaca untuk beralih pada situasi di dunia abad ke-21, yang lebih kontekstual dan aktual. Persoalan yang berhubungan dengan moralitas dan agama muncul dalam wajah baru. Salah satu persoalan yang telah menjadi kepingan yang besar dari pecahan-pecahan persoalan yang terjadi di abad ke-21 adalah persoalan radikalisme agama. Radikalisme agama telah menjadi salah satu persoalan yang mendunia dengan intensitas yang tinggi. Kenyataan ini rupa-rupanya menunjukkan bahwa radikalisme agama sebagai salah satu bentuk patologi telah mewabah dan menular hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Realitas miris radikalisme agama ini akan menjadi riskan dan lebih terasa di negara-negara majemuk yang merangkul pluralitas agama, lagi-lagi salah satunya adalah Indonesia. Pernyataan ini tentunya tidak berpretensi untuk menafikan realitas radikalisme agama di beberapa negara sekular di dunia.[iv] Rentetan peristiwa yang masih segar dalam ingatan kolektif-publik, misalnya peristiwa 9/11, bom-bom di Bali dan Jakarta, aksi-aksi teror ISIS di berbagai kota di berbagai negara, pembakaran gereja-gereja dan persekusi terhadap umat yang beragama lain, serta realitas persekusi terhadap kaum LGBT oleh otoritas hukum syariah yang terjadi di Indonesia. Kenyataan ini dianggap sebagai sesuatu yang kontradiktif, ketika dihadapkan dengan keseharian para pelaku teror dan aktor intoleran yang berperilaku santun dan taat beragama. Pada taraf ini, satu hal yang pasti adalah, ketaatan radikal akan menjadi ganas ketika tidak didukung oleh kemampuan memeriksa dan menafsir perintah Tuhan dengan baik, atau dengan menerima begitu saja perintah tersebut tanpa dipertanyakan kembali. Lagi-lagi, bagaimana sesungguhnya relasi antara moralitas dan agama?

Agama: Diluhurkan oleh Moralitas?

Sebelum menjawab pertanyaan, apakah agama diluhurkan oleh moralitas, penulis hendak memberikan distingsi yang jelas dan tegas antara agama dan moralitas. Pertama, agama. Agama senantiasa identik dengan komunitas atau kelompok partikular. Agama tidak lain adalah komunitas umat beriman yang percaya akan adanya Tuhan dan yakin bahwa Tuhan (pribadi yang transenden, Ilahi) adalah penyelenggara hidup dan dunia ini. Iman akan Tuhan ini kemudian berdampak pada tindakan menyembah Tuhan dan menaati segala kehendakNya yang tertuang dalam perintah dan larangan. Kehendak Tuhan itu dalam dirinya sendiri senantiasa terarah pada kebaikan. Kedua, moralitas. Moralitas adalah suatu desakan sosial untuk hidup dengan rukun serta teratur demi kesejahteraan manusia. Secara spesifik, moralitas bersifat preskriptif, yakni berurusan dengan das Sollen (apa yang seharusnya terjadi).[v] Dalam rumusan lain, moralitas mengatur kenyataan sebagaimana harusnya terjadi. Dasarnya adalah pertimbangan rasional yang benar. Oleh karena itu, moralitas mengandung suatu keinginan yang rasional.[vi]

Distingsi antara agama dan moralitas di atas tampaknya memberi suatu gambaran yang jelas bahwa agama dan moralitas sama-sama bertujuan untuk mencapai suatu kebaikan dan keluhuran. Perbedaannya terletak pada sifat partikular yang dimiliki agama, sedangkan moralitas memuat sifat universal yang merangkul semua jenis kemajemukan. Pernyataan ini tentunya tidak bermaksud untuk menegasi nilai-nilai etis-universal yang dimiliki agama, tetapi hendak menunjukkan bahwa masing-masing nilai etis-universal tersebut diungkapkan atau dimanifestasikan secara berbeda dan khusus dalam ajaran dan praksisnya. Pada kenyataan inilah, agama-agama justru berpotensi untuk bertentangan satu sama lain. Selain itu, di lain pihak moralitas berikhtiar untuk merangkum segala perbedaan partikular tersebut dalam suatu pandangan dan rumusan yang universal sekaligus rasional.

Potensi problematis yang dimiliki oleh agama-agama tentunya mengharuskan adanya suatu konsep yang dapat menengahi sekaligus mendamaikan perbedaan pandangan dan praksis etisnya di dunia. Di sinilah moralitas hadir sebagai konsep yang dibutuhkan dalam usaha meredam termanifestasinya potensi problematis yang dimiliki oleh masing-masing agama. Pada tataran ini, manusia-manusia agama dapat mengaktualisasikan dirinya ke tengah dunia dengan baik, yang tampak dalam perilaku yang terbuka dan toleran terhadap realitas dunia yang majemuk, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan lain-lain. Hal ini senada dengan pernyataan Yoachim Wach, “ hidup keagamaan diluhurkan oleh perilaku moral, tetapi perilaku yang bermoral tak mesti diperoleh karena agama.”[vii] Pernyataan ini tentunya tidak bermaksud untuk menunjukkan absolutisme moralitas atas agama, tetapi bermaksud untuk menyadarkan kita bahwa dalam taraf tertentu, moralitas dapat menjadi pengontrol perilaku keagamaan.

Kesalehan Publik

Terminologi “kesalehan publik” merupakan terminologi yang diperkenalkan oleh F. Budi Hardiman dalam usaha menyatukan hal-hal yang religius, yaitu yang baik menurut Tuhan, dan hal-hal yang moral, yaitu yang baik menurut manusia.[viii] Dalam rumusan lain, yang religius dan yang moral akan menyatu dalam terminologi kesalehan publik yang sinkron dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Secara praksis, kesalehan publik tidak menentang praktik-praktik agama dan pelbagai bentuk ekspresi agamais muncul di tengah dunia. Orang tentu harus saleh menurut agamanya, dan bahkan wajar, kesalehan itu diungkapkannya secara publik sebagai kesaksian imannya. Namun, kesalehan publik itu tidak akan merusak toleransi religius, karena senantiasa menonjolkan perilaku moderat dan inklusif terhadap yang lain dalam keberlainannya.[ix] Dengan demikian, persoalan seputar radikalisme agama yang terjadi di tengah dunia dapat dibendung dan dihalau kehadirannya. Tokoh-tokoh besar yang telah mempraktikan kesalehan publik ini adalah, Abdurahman Wahid, Martin Luther King Jr, dan Mahatma Gandhi.


[i] Bahkan dengan tegas Cohen mengatakan bahwa semangat perang dan kebencian yang sengit tentu saja sepenuhnya bukan karena agama. Namun agama telah membuat kewajiban untuk membenci. Kenyataan inilah yang membuat Cohen berpikir bahwa karakter mutlak moralitas religius membuatnya menekankan sanksi ketakutan sebagai akibat yang mengerikan dari ketidakpatuhan. Lih, Henry Hazlitt, Dasar-Dasar Moralitas, penterj. Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2003), hlm. 429.

[ii] Mikhael Dua, “Moralitas dan Tantangan Zaman”, dalam Andre Ata Ujan, dkk. (ed.), Moralitas, Lentera Peradaban Dunia (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 14.

[iii] Ibid., hlm. 7.

[iv] Mesti diakui secara tegas bahwa pada dasarnya Indonesia juga merupakan negara sekular, karena Indonesia bukanlah negara yang berbasiskan agama tertentu. Secara umum, istilah sekular lahir untuk menggambarkan posisi negara yang tidak terlalu mengurusi hal-hal privat warganya, seperti agama. Negara hanya mengurus hal-hal yang bersifat publik demi kesejahteraan bersama. Namun, warga Indonesia kebanyakan lebih memahami istilah sekular sebagai hidup yang sungguh-sungguh jauh dari kehendak suatu entitas Ilahi, yakni Tuhan.

[v] Agus Rachmat W., “Dua Pola Moralitas dan Agama”, dalam Wajah Baru Etika dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 107).

[vi] Bdk. Fredy sebho, Moral Samaritan, Dari Kenisah Menuju Tepi Jalan (Maumere: Ledalero, 2018), hlm. 3.

[vii] Ibid., hlm. 1.

[viii] Bdk. F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas (Yogyakarta: Kanisius, 2018), hlm. 120.

[ix] Ibid.

___________________
Apriles Fernandes
Mahasiswa Program Studi Filsafat di STFK Ledalero-Maumere dan Anggota Centro John Paul Ritapiret.
dapat dihubungi di akun Facebooknya: Apry Fernandez

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?