Post-Truth dan Cara Kerja Kebohongan menjadi Kebenaran
Hoax (berita bohong atau palsu), telah berkembang pesat di Indonesia, apalagi ketika mulai memasuki tahun-tahun pemilihan presiden. Semua lontaran ujaran hingga pernyataan bohong seperti peluru yang terus dibrondongkan. Hal utama dari itu adalah untuk mendapatkan pengaruh hingga kuasa.
Para pembuat hoax menggunakan media sosial (karena banyak masyarakat yang menggunakannya) sebagai medium untuk menggiring opini publik agar percaya apa yang dikatakan. Public Figure di media sosial bisa dengan gampang menggiring publik menuju opini bebas yang sekonyong-konyong tampak masuk akal hingga dipercaya sebagai kebenaran. Kita bisa melihat itu dari “kehebohan-kebohongan” yang dibuat demi menaikan popularitas. Esai ini bertujuan memperkenalkan Post-Truth dan “anak kandungnya” hoax beserta cara kerjanya.
Post-Truth mendadak menjadi terkenal di kalangan masyarakat disaat kata itu dinobatkan oleh Oxford Dictionaries sebagai word of the year pada bulan November 2016. Hal itu menjadi begitu familiar kalau dikaitkan dengan pilpres di AS dan referendum Inggris yang berujung pada Brexit (2016). Post-Truth dipakai pada saat orang membicarakan: ketidakpercayaan pada data, pemalsuan data, penolakan untuk berpikir secara rasional dan normal, dan kebohongan terang-terangan. Pada kasus Brexit kebohongan dilakukan dengan cara membuat kampanye bahwa “Inggris tiap minggu harus setor 350 Juta Poundsterling” kepada Uni Eropa. Menakjubkan sekali orang eropa mempercayai hal omong kosong itu. Pilpres yang dimenangkan Trump juga dipenuhi dengan kampanye bohong yang dilakukan oleh Trump sendiri. Trump kerap kali mengatakan dusta dengan percaya diri didukung alternative fact (istilah yang diciptakan Kellyanne Conway, salah seorang yang dekat dengan Trump).
Tahap-tahap menuju kebohongan tingkat akut terlihat dari tiga hal. Pertama kebohongan diujarkan tanpa ada niat disengaja untuk melakukan kejahatan. Kedua, adalah tahap dimana kita tidak tahu akan kebenaran dan kita tidak mau memverifikasi kebenaran dengan membiarkan kekeliruan karena kita sengaja untuk tidak mau tahu. Ketiga, adalah tahap yang menurut penulis paling horror karena di tahap inilah saat seseorang dengan serius berbohong.
Apabila ingin diidentifikasi dari segi psikologi, Post-Truth mula-mulanya berasal dari dalam jiwa manusia yang mudah jatuh dalam cognitive bias apabila dihadapkan pada sesuatu yang tidak sesuai atau tidak menyenangkan hati. Ego manusia memiliki mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Kita menyembunyikan kebenaran karena keyakinan kita terbukti salah. Sepertinya hanya orang-orang yang sudah bisa legowo dengan sendirinya untuk dapat menerima kenyataan dan mengakui kesalahan lalu dengan inisiatif mengubah keyakinannya dengan kebenaran yang ada dihadapannya. Sudah jatuh dalam cognitive bias, kita lebih sering mempertanyakan kebenaran karena rasa nyaman di hati dan pikiran kita terganggu.
-
Pendidikan Kaum Tertindas – Paulo FreireProduk dengan diskon
Rp88.000Rp79.200 -
Muslimah yang Diperdebatkan – Kalis MardiasihRp78.000
-
Menjinakkan Komersialisasi PendidikanProduk dengan diskon
Rp50.000Rp42.000 -
Bergeraklah Mahasiswa! – Eko PrasetyoRp69.000
-
Sekolah Apa Ini?Produk dengan diskon
Rp70.000Rp58.800 -
Binorrow: Tongkat Musa dan Tujuh Roh BoorneProduk dengan diskon
Rp78.000Rp65.000 -
Politik PendidikanProduk dengan diskon
Rp80.000Rp67.200 -
Menggugat PendidikanProduk dengan diskon
Rp110.000Rp93.500 -
Pendidikan Sebagai ProsesProduk dengan diskon
Rp50.000Rp45.000 -
Anak Anak Belajar dari Kehidupannya – Dorothy Law NolteProduk dengan diskon
Rp80.000Rp67.000 -
KAPITALISME : Teori dan Sejarah PerkembangannyaProduk dengan diskon
Rp47.000Rp42.000 -
Manipulasi Kebijakan PendidikanProduk dengan diskon
Rp76.000Rp64.600
Menurut Lee McIntyre terdapat beberapa hal yang membentuk sistem kepercayaan seseorang (cognitive bias) antara lain adalah Source Amnesia yaitu keadaan ketika kita ingat sesuatu namun kita tidak dapat memastikan sumber ingatan kita itu terpercaya atau tidak; Repetition Effect yaitu cara untuk mengulangi pendapat sehingga nanti akan memiliki peluang besar untuk dipercaya oleh orang lain; Backfire Effect yaitu apabila seseorang diperlihatkan dengan kebenaran namun malah semakin yakin dengan apa yang ia yakini sebagai “kebenaran”; dan yang terakhir adalah Dunning-Kurger Effect yaitu keadaan seseorang yang terlalu bodoh untuk memahami kebenaran, bisa dikatakan juga “too stupid to know they’re stupid”.
Kecenderungan Post-Truth yang berkaitan dengan hoax adalah membiarkan Fact Checking (pengecekan fakta) tidak terjadi, sehingga orang tidak bisa membedakan antara fakta, opini, atau kebohongan. Kedudukan fakta bisa setara dengan opini, yang lebih ironisnya adalah apabila kedudukan opini lebih “tinggi” daripada fakta. Hal yang lebih berbahaya adalah ketika kebohongan diyakini sebagai fakta. Dampak dari hal itu tidak hanya membuat seseorang menjadi tidak berpikir logis, tetapi mereka akan mengacaukan demokrasi.
Oleh karena itu, berbahayanya hoax dan cara kerja Post-Truth, menjadi penting bagi kita untuk selalu melakukan pengecekan fakta. Pengecekan fakta sangatlah dianjurkan sebagai salah satu bahkan mungkin satu-satunya penawar di Era Post-Truth yang penuh dengan Hoax yang terstruktur, sistematis, dan masif. Kita harus memeriksa kembali informasi yang didapat dan belajar untuk menjadi kritis.
___________________
Firas Arrasy
Mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat dihubungi di akun Instagram: @arrasy_ / Twitter: @arrasyFiras
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.