Esai

Memahami Moralitas Manusia Bersama Leon Trotsky

Moralitas selama ini, oleh kaum beragama, dianggap bersumber dari Tuhan, bukan dari hasil produksi hubungan antarmanusia, hubungan yang merefleksikan basis materil yang bernama kekuatan produksi. Dengan perkataan lain, moralitas hanya dianggap sebagai sesembahan umat manusia tanpa merefleksikannya dengan kondisi sosial.

Karena moralitas dianggap berasal dari Tuhan, maka konsekuensinya adalah: moralitas yang digunakan oleh manusia untuk menilai baik dan buruknya suatu perilaku atau perbuatan disandarkan pada dalih “amanat” dari Tuhan. Pada saat gerombolan kaum beragama yang diperalat oleh kepentingan modal menyerang ruang-ruang demokrasi, mereka dengan entengnya berteriak, “Allahuakbar! Bubarkan, hancurkan, remukkan dengan satu komando perilaku orang-orang kafir itu!” Mereka dengan membuta, menilai bahwa “moralitas” yang sudah tidak sesuai lagi dengan terjadinya perkembangan alat produksi yang diikuti oleh hubungan produksi harus terus dipertahankan, sampai titik darah penghabisan. Mereka, menilai bahwa moralitas yang ketinggalan zaman harus terus dipertahankan karena dia kekal, tidak dapat dibuah.

Tidak hanya tidak dapat diubah, tetapi juga dianggap sakral. Dan, karena kesakralannya itulah, maka jika ada pihak yang berani “mengusik”-nya akan diperangi dengan keras. Demi mengamankan anggapan itu, mereka akan menggunakan metode apa pun, dari metode yang terang-terangan sampai metode yang licik dan menginjak rasa perikemanusiaan, untuk memerangi para pengusik itu. Meminjam istilah yang digunakan oleh Leon Trotsky, mereka akan menggunakan metode “Tujuan Menghalalkan Cara”.

“Tujuan Mengahalalkan Cara” yang digunakan oleh kaum agamawan yang telah diperalat oleh modal inilah yang sebenarnya merupakan cerminan dari metode yang digunakan oleh kaum borjuis. Dalam melancarkan serangan kepada musuh-musuh mereka, kaum borjuis menggunakan metode itu. Dengan dalih meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan ekonomi (baca: ketergantungan negara terhadap modal besar), kaum borjuis telah melakukan perampasan terhadap tanah-tanah milik kaum miskin, membunuhi orang-orang Papua, memeras hasil kerja buruh dengan sangat tidak berperikemanusia, merusak alam, membuat bumi seperti neraka, dan tindakan-tindakan apapun yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan (surplus value) yang melimpah. Persetan dengan kepentingan rakyat! Ringkasnya, kaum borjuis tidak akan segan-segan melakukan kebohongan untuk memperkaya diri. Tujuan menghalalkan cara adalah tipikal dari modus produksi borjuis. Nah, tipikal inilah yang tercermin ke dalam perilaku kaum beragama tersebut.

Di ranah rumusan teori, siasat “tujuan menghalalkan cara” tersebut digunakan pula oleh kaum intelektual borjuis, diantaranya Jeremy Bentham, John Stuartmill, dan Imanuel Kant. Kaum intelektual yang berposisi sebagai anjing penjaga teoritis kaum kapitalis itu, mengajarkan bahwa “kebahagiaan terbesar untuk kepentingan terbesar”. Rumusan yang artinya dapat dengan mudah dipahami seperti ini, “demi untuk meraih ‘kebahagiaan (kekayaan) setiap orang boleh mengeksploitasi pihak lain, bahkan merusak alam’. Rumusan teori itu, sama seperti halnya dalih yang digunakan oleh kaum beragama, “demi untuk menegakkan ajaran agama, halal hukumnya untuk menumpahkan darah orang-orang yang mereka anggap musuh’.

Leon Trotsky menegaskan bahwa moralitas bukanlah hasil dari pikiran Tuhan, tetapi hasil dari perkembangan sosial . Dalam sebuah buku yang ditulisnya, “Moralitas Liberal versus Moralitas Marxis”, Trotsky menulis, “… moralitas adalah hasil dari perkembangan sosial … tidak ada sesuatupun yang kekal. Bahwa, berbagai bentuk moralitas difungsikan untuk melayani kepentingan sosial, sedangkan kepentingan itu adalalah representasi dari kepentingan kelas. Dengan perkataan lain, moralitas lebih dari sekedar sebuah bentuk ideologi. Dia adalah substansi yang mengekspresikan karakter kelas (Leon Trotsky, Moralitas Liberal Versus Moralitas Marxis, 2002:41).

Dalam sudut pandang materialisme historis, perintah-perintah moral disusun dalam perkembangan kemanusiaan sebagai keseluruhan untuk mengatur kepentingan kepentingan kolektif atau sebagai alat untuk menjaga keutuhan kelompok dalam kerangka kebersamaan dan kerjasama. Dengan kata lain, perintah-perintah moral sangat diperlukan dalam kehidupan kolektif. Pada zaman komunisme primitif, manusia akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya dan memerangi binatang buas apabila mereka tidak memiliki moralitas seperti rasa cinta, persahabatan, saling melindungi, dan saling mengasihi. Kondisi alam yang ekstrem dan mematikan mengharuskan manusia membangun dan mengembangkan moralitas kolektif.

Namun, pada saat masyarakat telah terbagi dalam kelas-kelas yang ditandai dengan terjadinya terkonsentrasi surplus hasil produksi pada segelitir individu, dan terjadinya perubahan corak produksi dari nomaden ke sedanteris, perintah-perintah moral menjadi alat pagi kepentingan kelas yang sedang berkuasa. Moralitas menjadi dalih untuk menindas pihak lain.

Moralitas manusia, dalam sistem ekonomi kapitalisme, diarahkan oleh penguasa untuk melayani kepentingan modal. Setiap orang diharuskan untuk berperilaku jujur, diantaranya tidak boleh mencuri, tidak boleh korupsi, dan tidak boleh berbohong. Perilaku jujur akan memberikan jaminan kepada kelas kapitalis kalau alat-alat produksi yang digunakan oleh kelas buruh dalam memproduksi komoditas aman, tidak dicuri. Selain itu, komoditas yang sebenarnya bukan hasil kerja kapitalis, melainkan hasil kerja buruh, dapat diproduksi sesuai dengan target akumulasi. Dan, melalui perilaku jujur, tidak berbohong, kapitalis dapat mengontrol perilaku buruh. Hal yang terakhir itu menggiring  buruh, meminjam istilah yang dipakai oleh Pramoedya Ananta Toer, memasuki “rumah kaca”.

Melalui moralitas, ketenangan kelas kapitalis dalam proses produksi komoditas pun dapat dijamin. Kekisruhan atau kondisi yang kacau karena tidak dipatuhinya nilai-nilai moral akan menimbulkan anarki dalam proses produksi sehingga hal itu akan membuat kelas kapitalis, selain harus mengeluarkan ongkos produksi yang luar biasa besarnya, juga akan mengancam keberlangsungan proses produksi.

Berangkat dari situ, pertanyaan yang menarik diajukan adalah ini. Apakah dalam ajaran Marxis orang dibenarkan melanggar moralitas mengingat moralitas, dalam sistem kapitalisme, diarahkan untuk melayani kepentingan modal? Jawaban terhadap pertanyaan itu tidaklah sederhana. Sebagaimana telah aku sampaikan pada bagian pertama artikel ini, kemunculan moralitas di masa komune primitif ditujukan untuk menjaga keutuhan kelompok. Namun, pada saat masyarakat telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, moralitas digunakan oleh kelas yang sedang berkuasa untuk melayani kepentingannya. Dalam kehidupan masyarakat berkelas, di satu sisi eksistensi moralitas tetap dijaga untuk menjalin hubungan baik antarmanusia, melalui moralitas diharapkan antara manusia satu dan lainnya tidak saling menyakiti, tidak saling menghina, dan tidak saling menghancurkan. Namun, di sisi lain, nilai-nilai moralitas yang berlaku umum itu dapat dimanfaatkan pula oleh kelas kapitalis untuk melayani kepentingannya. Melalui nilai-nilai itu, buruh diharapkan tidak melakukan aksi massa karena tindakan itu adalah tindakan yang tidak bermoral. Buruh seharusnya berterima kasih kepada majikan atau kapitalis karena sudah dipekerjakan, dan mendapatkan sumber penghidupan dari pekerjaannya, bukan malah bertindak kurang ajar atau tidak bermoral dengan cara melakukan aksi massa. Melalui moralitas yang berlaku secara umum, kelas kapitalis juga dapat mencegah buruh mencuri hasil kerjanya sendiri. Bahkan untuk menjamin buruh tidak melakukan pencurian, kelas kapitalis mengerahkan polisi, pengadilan, dan penjara untuk menghukum buruh. Jadi, berangkat dari sini, moralitas yang berlaku pada masyarakat berkelas berkarakter kontradiktif, di satu sisi dia berfungsi untuk memanusiakan manusia, namun di sisi lain dia juga dapat digunakan untuk menindas manusia.

Tugas yang dibebankan ke pundak aktivis kiri Marxis adalah mengakhiri kontradiksi moralitas dalam masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan. Bagaimana cara mengakhirnya? Jawabannya, bukan dengan cara melanggar nilai-nilai moral yang berlaku seperti melakukan pelecehan seksual, kekerasan seksual, atau melakukan tindak-tindakan cabul lainnya, melainkan menjaga, memperkuat, dan memperkokoh jalinan kerja revolusioner diantara kaum kiri. Dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral, seperti melakukan berbuatan cabul, justru hal itu akan menghancurkan organisasi dan gerakan kiri dari dalam. Bukannya menjaga keutuhan dan kekokohan organisasi, orang-orang seperti itu justru menjadi musuh gerakan kiri. Mereka, bukannya mejadi agen pembebasan rakyat yang tertindas, justru mereka menjadi agen penindasan. Mereka itu, adalah bajingan yang harus di lempar keluar dari organisasi..!! Cara yang tepat untuk mengakhiri kontradiksi itu, adalah dengan cara menjaga keutuhan organisasi, menjalankan program-program organisasi seperti pendidikan, distribusi koran, agitasi, dan propaganda. Melalui cara-cara itu, kaum yang tertindas berupaya dibangkitkan kesadaran kelasnya sehingga, ketika kesadarannya telah bangkit, kelas yang tertindas dapat melakukan perlawanan terhadap para penindas mereka secara terencana, terstruktur, dan sistematis.

Menurut Leon Trotsky, bentuk tertinggi dari perjuangan kelas adalah perang antara kelas yang ditindas dan kelas yang menindas. Perang, yang meledak dalam cakrawala semua ikatan moral diantara kelas-kelas yang saling bermusuhan (2002:41). Dalam kondisi seperti itu, kelas buruh melakukan pelanggaran moral secara serius, yakni mengambil alih alat-alat produksi atau perusahaan yang pada awalnya dimiliki oleh kelas kapitalis, menindas kelas kapitalis, dan menundukan kelas kapitalis di bawah kepemimpinan kelas buruh. Namun, di sisi lain, kelas buruh justru memperkuat moralitas antarkawan, dan kaum yang sebelumnya mengalami penindasan, serta memanfaatkan negara sebagai jembatan untuk membangun masyarata tanpa penindasan, dan kelas. Melalui penegakkan moralitas, kelas buruh saling bergandengan tangan dengan erat dan kuat untuk tujuan menumbangkan kelas kapitalis.

Terkait dengan keutuhan dan kekokohan kolektif dalam membangun organisasi atau gerakan kiri, Leon Trotsky menulis, “Perintah-perintah moral disusun sebagai suatu keseluruhan dan sangat diperlukan untuk keberadaan kolektif” (2002:4).

Daftar Pustaka:
Leon Trotsky, John Dewey, dan George Novack, Ada apa dengan Kita? Moralitas Marxist versus Liberal, Penopticon, Yogyakarta, 2002.

_________________________
Ismantoro Dwi Yuwono
Pengelola Penerbit Paragraft. Tulisan ini sebelumnya dimuat di website pribadinya. Dimuat ulang untuk tujuan penyebaran gagasan

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?