Kebenaran Marxisme: Cara Menjadi Marxis ala Terry Eagleton
Judul : Mengapa Marx Benar
Penulis : Terry Eagleton
Penerbit : Jalan Baru
Tebal : x + 302 halaman
Empat kuliah umum yang diisi oleh wakil ketua CC PKI Lukman Njoto yang diselenggarakan pada tahun 1958, terbit menjadi buku tipis berjudul Marxisme, Ilmu dan Amalnja pada tahun 1962. Alasan penerbitannya antara lain: “didorong oleh permintaan-permintaan serta pertanyaan-pertanyaan yang diterima Dewan Redaksi Harian Rakjat tentang berbagai permasalahan marxisme.”
Sedari dulu marxisme amat sering dipersoalkan. Sebagai propagandis marxis, Njoto, dalam bukunya mengulas berbagai ihwal perkara marxisme. Mulai dari yang paling remeh semisal “apakah marxisme = atheis” hingga bukti kegagalan kapitalisme dan kebenaran marxisme. Njoto menulis, “Kita cukup membaca surat-surat harian, maka kita bacalah hampir saban hari: Amerika terkena resesi, pengangguran meningkat, harga-harga naik, upah riil merosot, tidakkah semua ini membuktikan bahwa marxisme tetap benar?”.
Setengah abad setelahnya buku Njoto itu, marxisme masih saja dipermasalahkan dengan cara serupa. Alan Woods pada 23 Juni 2013, menulis artikel bertajuk The Ideas of Karl Marx. Senada dengan Njoto, ia menulis bukti kebenaran marxisme tentang kapitalisme yang diambang kehancuran. Hal itu ditandai dengan berbagai krisis yang menghantam kapitalisme, yang terbaru adalah krisis ekonomi pada tahun 2008.
Buku lainnya yang membahas marxisme adalah karya Terry Eagleton berjudul Why Marx was Right diterbitkan oleh Penerbit Jalan Baru dengan tajuk Mengapa Marx Benar pada akhir tahun 2019. Ternyata tak jauh beda, buku itu adalah jawaban Eagleton atas sekumpulan prasangka yang paling sering disematkan pada marxisme. “Saya berupaya menyajikan gagasan Marx bukan sebagai sesuatu yang sempurna melainkan sebagai sesuatu yang masuk akal.” (hlm. ix)
Motif dan konten tulisan Eagleton masih nampak mirip dengan Njoto dan Alan Woods, meski berbeda bentuk dan format. Perbedaan lain adalah pemberian konteks baru oleh Eagleton. Pemberian konteks baru ini di satu sisi bisa mendekatkan marxisme pada pembaca, juga memberi bukti-bukti baru kebenaran marxisme, mengutip kata pengantar penerjemah.
Persis di sinilah saya kira marxisme tampak kehilangan taring bagi sebagian orang. Pada zaman di mana yang-riil-adalah-praktik, teori-teori propagandis marxis tampak membosankan. Sebab beberapa orang, baik pihak pro maupun kontra, punya hasrat yang dalam untuk melihat bukti kebenaran marxisme dengan segala rupanya: revolusi, masyarakat tanpa kelas, dan jam kerja yang berbanding lurus dengan tingkat kemalasan.
Klaim Marxisme dan Eksperimen Gagal Soviet
Praktik rill marxisme pernah terjadi tahun 1917 di bawah pimpinan Lenin, teoritikus dan praktisi ulung marxisme. Pasca perang dunia pertama meletus tahun 1914, Kerajaan Rusia menjadi begitu ringkih dan rentan dikudeta. Dalam situasi itu, tiga tahun setelahnya golongan pro-demokrasi memimpin revolusi pada bulan Februari. Lalu Lenin, pada bulan Oktober, kembali melakukan pemberontakan dan mendirikan negara sosialis pertama di dunia.
Negara sosialis yang didirikan Lenin, bagi sebagian orang, mungkin tak bisa ditafsirkan sebagai wujud praktik dari marxisme. Tapi ia bukan sekadar isapan jempol. Dalam rentang waktu delapan bulan sejak Revolusi Februari, Lenin kembali menyulut api kudeta. Sepulang dari Swiss, pada bulan April, ia mengacuhkan golongan pro-demokrasi yang menyambut kedatangannya. Ia malah mengumumkan revolusi sosialis akan segera tiba, dipimpin kaum pekerja, petani dan sebagainya, dari atas mobil lapis baja yang bergerak dari stasiun ke alun-alun.
Ada fakta yang memang tak bisa dibantah. Bertahun setelah revolusi, keadaan Soviet dibayangi mimpi buruk ketimbang ramalan masyarakat tanpa kelas.
Mimpi buruk itu lantas menjadi salah satu kritik utama pada Marxisme. Sejarawan beken kekinian Yuval Noah Harari bahkan mengatakan tak ada sistem ekonomi yang lebih baik dari kapitalisme di buku pertamanya, Sapiens. Meski mencipta ketimpangan, kapitalisme juga menghasilkan produksi pangan berlebih, teknologi, kebebasan hak milik, dan lain sebagainya. Sementara itu, sosialisme dengan salah diartikan sebagai pembunuhan massal, kelaparan dan kemiskinan.
Kritik keras ini dilampirkan oleh Eagleton pada bab dua bukunya, tentu saja, ia membantahnya dengan beberapa argumen. Argumen pertama Eagleton, yang sedikit apologetik, adalah pendukung kapitalisme, kaum kristen dan lain-lain juga ditempa dengan darah dan air mata. Kaum liberal maupun konservatif sama-sama menghasilkan derita juga.
“Negara kapitalis modern adalah buah dari sejarah perbudakan, genosida kekerasan, dan eksploitasi yang sama menjijikannya dengan Cina di bawah Mao atau Uni Soviet di bawah Stalin.” (hlm 11).
Sebaliknya, jika kapitalisme punya prestasi seperti kata Harari, maka negara-negara sosialis juga punya pencapaiannya. Cina dan Soviet merangsek dunia industri modern, meninggalkan keterpurukan ekonomi. Ongkos derita memang ada, namun permusuhan negara liberal-kapitalis seluruh dunialah yang membuat harapan sosialisme ringsek.
Di sinilah jantung argumen Eagleton terletak: pendirian negara sosialis kini menjadi fosil belaka sebab permusuhan negara-negara lain. Mereka dimiskinkan melalui tekanan kebijakan internasional, sementara sosialisme adalah proyek struktural yang tak bisa dikerjakan secara lokal. Buntutnya, masyarakat tanpa kelas dan pembagian kekayaan tak dapat terjadi tanpa ongkos apapun, apalagi di bekas negara feodal nan miskin. Patut diakui, sosialisme Soviet memang tak lebih dari eksperimen yang belum berhasil.
“Revolusi Bolshevik segera menemukan dirinya sendiri dikepung oleh tentara-tentara imperial Barat, sebagaimana juga diancam oleh kontra-revolusi, kelaparan di kota-kota, dan perang saudara yang berdarah. Ia diasingkan dalam satu samudra petani yang sebagian besar bermusuhan yang enggan menyerahkan surplus mereka yang dihasilkan dengan susah payah di bawah todongan senjata pada kota-kota yang kelaparan.” (hlm. 18).
Belum lagi persoalan lain yang menghimpit, semisal kelas pekerja yang hancur dan kelelahan, birokrasi yang bengkak sebagai saingan birokrasi tsar. Mendaftar tantangan negara sosialis itu sudah bisa meyakinkan siapa saja bahwa revolusi sudah dibayangi kesukaran sejak awal.
Back to Basic
Orang-orang bisa senyum kecut bila mendengar ramalan keruntuhan kapitalisme atau revolusi. Bukan karena janji dan ramalannya terlalu ideal dan mulia, tapi karena kebebalan dan ketidakadilan sejak dalam pikiran.
Ada fakta yang tak dapat dibantah bahwa kapitalisme tidak membawa kehidupan kita ke arah yang lebih baik. Kapitalisme terus menghadapi krisis sejak perang membelah dunia, membentuk negara dan kemiskinan.
Tahun 1997 Asia mengalami krisis finansial. Di Indonesia, rupiah bergerak sempoyongan dan Bursa Efek Indonesia sujud di atas lahan kering dan tandus. Krisis politik diperparah ketergantungan pada perdagangan internasional yang sedang labil. Krisis kapitalisme tak pernah berhenti terjadi. Negara maju macam Amerika juga bahkan diambang kebangkrutan di tahun 2008.
Kita juga dikejutkan oleh fenomena politik identitas, populisme, dan seterusnya. Di tengah dogma kebebasan yang mengilhami kapitalisme dan sistem pasar, karat depresi meningkat dan orang bisa gila tiba-tiba. Seperti Robert De Niro dalam film Taxi Driver, Joaquin Phoenix alias Joker di Gotham, atau teman saya yang mengumpat di burjo karena gorengan yang dibanderol “dua ribu dapat tiga” ternyata satuannya dihargai seribu.
Kalau memang dunia akhir-akhir ini buat Anda jadi sinting, membaca buku Eagleton saya kira bisa bikin sedikit tenang. Setidaknya kita tahu bagaimana dunia bekerja. Buku ini memang hanya sekadar pengantar bagi marxisme, tapi pemikir ulung sekalipun perlu memikirkan ulang hal-hal dasar seperti di buku ini, back to basic.
Analisis dasar marxisme membuat kita berpikir jernih dan jujur terkait letak kegagalan Soviet. Tanpa back to basic, revolusi tak perlu tergesa-gesa. Sedikit mengutip Zizek, persoalan kini begitu menjadi rumit. Berkali-kali krisis kapitalisme tak urung meruntuhkan sistem busuk itu. Sebab, “semakin kapitalisme membusuk, semakin ia tumbuh subur,” kata Zizek dalam ceramahnya bertajuk Don’t Act. Just Think.
Kita perlu mencangkok batok kepala Marx dan menempelkannya pada leher kita. Ada yang perlu ditafsirkan ulang perihal cara kerja dunia, tanpa terjebak dogma kapitalisme yang sudah mengakar dalam cara berpikir dan tindakan kita.
Mengapa Marx benar dan masih relevan karena ia menganalisis kapitalisme dalam bentuk apapun. Njoto, dalam bab pertama Marxisme, Ilmu dan Amalnja, berkata kapitalisme memang tidak mandek saja. “Sekarang ada kapitalisme kerakyatan, kapitalisme berencana,” dan hingga kini kapitalisme lanjut. Tapi ia tetaplah kapitalisme yang selalu buruk rupa.
Di salah satu paragraf, Njoto juga memberi peringatan terkait kapitalisme yang suka mengaku sebagai “kapitalis marhaen”, “kapitalis murba”, atau “kapitalis jelata”. Paragraf itu ditutup dengan kalimat yang menohok: “Sungguh kapitalis jenaka!”
__________________
Sidratul Muntaha
Redaktur LPM Arena, UIN Yogyakarta
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.