Apakah “Orang Kiri” itu Cabul?: Sosialisme dan Pembebasan Perempuan
Ada yang menarik dari aksi dan kampanye pembebasan perempuan beberapa waktu belakangan. Terutama aksi International Women’s Day tahun 2019 yang mengangkat isu “Kiri Cabul”. Isu ini diangkat lantaran rentetan kejadian berupa; dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh BW hingga kasus kekerasan seksual oleh RP yang mendaku dirinya kiri.
Puncaknya, slogan “Kiri Cabul” seolah mendapat justifikasi dari tindakan catcalling yang dilakukan oleh terduga buruh-buruh yang tergabung dalam KASBI pada peringatan IWD 2020 di Jakarta. Hal ini kemudian memberi kesempatan pada media popular semacam Magdalene.co yang tanpa kajian dan pendiskusian telah melakukan generalisasi bahwa “orang kiri itu cabul, sehingga perlu hati-hati ketika menjalin hubungan dengan mereka”. Hal ini seolah menganggap ideologi kiri seperti sosialisme mengajarkan penganutnya untuk melecehkan perempuan. Apakah ajaran sosialisme mempunyai tendensi melecehkan perempuan? dan apakah benar berarti semua orang “kiri cabul”?
Basis Kekerasan Seksual
Karl Marx dalam bukunya Ideologi Jerman menyebut bahwa corak produksi menentukan hubungan antar manusia. Setiap corak produksi membentuk hubungan sosial lain, meninggalkan yang usang, dan memperbaharui beberapa yang lain, sehingga membentuk hubungan ekonomi yang baru. Guna memahami hubungan manusia dalam sebuah struktur sosial dalam kasus ini, maka analisis terhadap struktur ekonomi yang melatarbelakanginya perlu dilakukan terlebih dahulu.
Individu manusia tidak dibentuk dari apa yang dia bayangkan, pikirkan, atau narasikan, dalam rangka mencapai kemanusiaan manusia yang utuh. Manusia dan peradabannya adalah hasil dari dialektika sebuah kondisi riil, dan basis proses kehidupan riil menunjukkan pada kita refleksi ideologi dari proses kehidupan. Artinya, individu akan dibentuk oleh tindakan produksinya: apa yang mereka produksi? dan bagaimana cara mereka berproduksi? Oleh karena itu, individu akan bergantung pada kondisi material dari produksi mereka. Dalam basis ini, terdapat 2 (dua) analisis terhadap kekerasan seksual.
Pertama, dalam sistem produksi berbasis keuntungan, segala sesuatu dapat dijual, tidak terkecuali tubuh manusia yang dipandang sebagai objek untuk memproduksi komoditas atau menjadi komoditas itu sendiri. Salah satu konsekuensinya adalah merebaknya industri pornografi dengan memanfaatkan—sekaligus melanggengkan–stigmatisasi tubuh perempuan. Industri melakukan sensor terhadap tubuh perempuan dan menciptakan versi yang dibentuk oleh pasar (dan dilanggengkan oleh birokrasi) untuk ditampilkan, dan menjamin kesadaran dari masyarakat dominan. Hal ini membentuk imaji seksual tentang khayalan kekerasan seksual yang diproyeksikan dalam kesadaran, bahwa ketertundukan adalah sesuatu yang elegan, penuh gaya, menarik dalam citra kepasrahan perempuan.
Objektifikasi perempuan tersebut bertujuan untuk memperlemah harga diri seksual perempuan dan meyakini bahwa laki-laki dan perempuan tidak mungkin dapat menyusun pandangan yang sama dalam melawan tatanan yang berpijak pada antagonisme kelas. Dalam sirkulasi imaji dan informasi seksual semacam itu, akan menumbuhkan masyarakat yang berpandangan bahawa materi kekerasan dan dominasi seksual terhadap perempuan merupakan sebuah kewajaran. Produksi imaji seksual adalah salah satu bentuk strategi pengontrolan tubuh perempuan: pertama, untuk menyerap distribusi produksi dalam masyarakat; kedua, untuk membangun indeks demografi karena adanya pandangan bahwa reproduksi perempuan adalah cermin dari lanskap kekuasaan yang mendemontrasikan kunci generasi dan konstruksi peradaban.
-
Mitos Inferioritas Perempuan – Evelyn ReedProduk dengan diskon
Rp65.000Rp52.000 -
Catatan Perempuan Revolusioner – Clara ZetkinProduk dengan diskon
Rp65.000Rp52.000
Kedua, kondisi produksi material, alih-alih membebaskan, justru malah mendorong manusia kepada keterasingan terhadap beberapa faktor: Pertama, keterasingan dari produksi karena aktivitasnya yang ditentukan oleh pemilik modal dengan imbalan upah; kedua, keterasingan dari apa yang diproduksinya, karena hasil produksi adalah komoditas yang terpisah dari produsennya; ketiga, keterasingan dari sesama manusia; keempat, keterasingan dari diri sendiri, karena potensi manusia dinilai dari kebutuhan pasar. Hal ini menyebabkan manusia tidak dapat sepenuhnya mengaktualisasikan kepribadiannya, karena kerja adalah sesuatu yang eksternal dari diri yang inti.
Di bawah sistem yang didominasi oleh pasar dan profit, keterasingan menciptakan mistifikasi terselubung atas ketidakberdayaan dan kepasrahan terhadap fragmentasi diri dari produksi, serta sistem hierarki yang dianggap turun dari langit (taken for granted). Seolah-olah, sistem ini memberikan “hak” kepada seseorang untuk memperlakukan manusia pada hierarki yang lebih rendah sebagai objek, sebagaimana dia juga diperlakukan dalam relasi kuasa yang dibentuk oleh sistem. Kaum rentan, (termasuk perempuan) yang direduksi hak dan pilihannya, dijadikan sebagai sasaran dominasi dan pelampiasan keterasingan. Upaya mendominasi manusia yang berada di bawah kekuasaannya (menjadikannya sebagai objek sasaran kefrustasian, kekecewaan, keputusasaan) dianggap sebagai bentuk penegakan norma dan ketertiban, sehingga bersifat wajar dan dapat dimaklumi.
Pendominasian melalui pelecehan bukan merupakan akibat dari disfungsional individu, akan tetapi disebabkan oleh seseorang yang diijinkan untuk memainkan peran yang menindas dalam hierarki. Pada saat yang bersamaan, seks dan seksualitas tidak luput beralih menjadi komoditas dalam logika pasar. Kenikmatan seksual menjadi terpisah dari interaksi manusia dengan dibatasi dan dihilangkanya kontrol seksualitas manusia, menciptakan aura kerahasiaan dari ruang privasi tersebut, sekaligus menciptakan keterasingan yang tinggi. Secara struktural, aktivitas penindasan yang menyentuh cerminan privasi ini, melalui pelecehan seksual, dipandang sebagai bentuk pelampiasan dan penundukan yang bersifat paling traumatis dan mampu melumpuhkan daya, tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada laki-laki.
Sosialisme dan Pembebasan Perempuan
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan bukanlah sebuah kondisi “alamiah” yang selalu ada, dan akan selalu ada. Penelitian arkeologis membuktikan bahwa sebagian besar sejarah manusia, sebelum munculnya peradaban yang disebabkan oleh pertanian berskala besar, perempuan dan laki-laki hidup dalam pembagian kerja yang setara dan tidak menindas dalam masyarakat komunal primitif. Munculnya kepemilikan pribadi melahirkan pembagian kelas antara mereka yang mengendalikan sumber daya untuk produksi dan mengambil dari hasil tenaga kerja manusia lain di satu sisi, dengan mereka yang menjual tenaganya untuk hidup di sisi yang lain. Pembagian ini, secara bersamaan juga menyingkirkan perempuan dari kegiatan produksi masyarakat.
Kondisi ketidaksetaraan terhadap perempuan dipertahankan oleh kapitalisme dengan dua tujuan. Pertama, guna mempertahankan institusi keluarga, sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang tidak berbayar, akan tetapi dibutuhkan secara sosial. Kedua, untuk melanggengkan penghisapan nilai lebih tenaga kerja dalam logika pasar. Tujuan kedua dapat dicapai melalui tiga cara. Pertama memberikan upah yang lebih rendah kepada tenaga kerja perempuan -dengan memanfaatkan stereotype pekerja tambahan- untuk menekan upah rata-rata, sehingga rata-rata eksploitasi nilai lebih meningkat. Kedua, memberi tekanan ke bawah kepada semua upah pekerja, dengan meningkatkan persaingan sekaligus memperlemah organisasi kelas pekerja, sehingga pekerja menjadi tidak terorganisir, kemudian berbalik menekan upah dan kondisi kerja. Ketiga, mempertentangkan buruh laki-laki dan perempuan, sebagai upaya pelemahan perlawanan kelas pekerja melalui strategi pemecahan gerakan dengan gender, ras, agama, dan lainnya.
Hukum perkembangan masyarakat ditentukan oleh kegiatan produksi dan reproduksi. Perempuan yang kehilangan kuasa atas kegiatan produksi menjadi objek yang didomestifikasi untuk kegiatan reproduksi tenaga kerja lewat pelanggengan institusi keluarga. Sejarah peradaban adalah tentang laki-laki dan perempuan (sebagai unsur paling progresif dalam tenaga produktif) yang berjuang memenangkan kembali kuasa yang setara atas sumber daya (alat produksi dan sasaran kerjanya). Upaya untuk mengakhiri penindasan perempuan ialah perjuangan yang bertujuan mengakhiri masyarakat kelas, dan menggantikanya dengan sistem ekonomi yang dikendalikan secara kolektif dan distributif.
-
Paket Silvia FedericiProduk dengan diskon
Rp170.000Rp136.000 -
Patriarki dalam Pengupahan : Catatan tentang Marx Gender dan Feminisme – Silvia FedericiProduk dengan diskon
Rp85.000Rp72.250 -
Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara – F. EngelsProduk dengan diskon
Rp120.000Rp108.000 -
Seks dalam Ketetapan Negara dan Tuhan – Soe Tjen MarchingProduk dengan diskon
Rp78.000Rp70.200 -
Feminisme dan Nasionalisme di Negara Dunia Ketiga – Kumari JayawardenaProduk dengan diskon
Rp120.000Rp108.000 -
Merebut Kembali Feminisme – Lola OlufemiProduk dengan diskon
Rp75.000Rp60.000 -
Memainkan Pelacur: Persoalan, Hak, dan Kerja dari Pekerjaan Seks – Melissa Gira GrantProduk dengan diskon
Rp65.000Rp52.000 -
Aborsi adalah Hak Perempuan! – Pat Grogan & Evelyn ReedProduk dengan diskon
Rp58.000Rp46.400 -
Membunuh Hantu Hantu Patriarki – Dea SafiraProduk dengan diskon
Rp65.000Rp54.600 -
Apakah Takdir Perempuan Sebagai Manusia Kelas Dua? – Evelyn ReedProduk dengan diskon
Rp65.000Rp52.000 -
Perempuan dan Perburuan Penyihir – Silvia FedericiProduk dengan diskon
Rp85.000Rp72.250 -
Dari Doing ke Undoing Gender: Teori dan Praktik Dalam Kajian FeminismeProduk dengan diskon
Rp100.000Rp84.000
Hal tersebut hanya dapat dicapai dengan menghancurkan penghambat produktivitas perempuan dan mengembalikan perempuan dari kekalahan sejarahnya. Penindasan perempuan terletak pada kelas yang terbentuk dalam masyarakat. Hanya gerakan yang menyatukan perjuangan pembebasan perempuan, perjuangan melawan sistem yang menempatkan profit di atas dasar kebutuhan manusia, dan perlawanan terhadap segala macam bentuk penindasan, menjadi satu-satunya jalan untuk dapat mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Pandangan bahwa kelas adalah struktur penindasan utama, tidak bertujuan untuk mereduksi penindasan perempuan ke dalam kelas. Cara pandang ini digunakan untuk menegaskan bahwa persilangan penindasan gender dengan penindasan kelas merupakan suatu totalitas dari bagian yang saling bertentangan, namun saling mempengaruhi secara keseluruhan.
Eksploitasi kelas telah melahirkan penindasan yang menghubungkannya secara fundamental dengan penindasan berbasis gender. Dengan kata lain, pandangan Marxisme memberikan landasan analisis bahwa segala bentuk penindasan berakar pada eksploitasi ekonomi dari proses akumulasi kapital, yang didasarkan pada dialektika realitas obyektif dan kesadaran subyektif, struktrur sosial, tindakan manusia, faktor ekonomi, budaya, hukum, institusi negara, dll. Tidak ada bagian dari faktor tersebut yang dapat direduksi ke dalam bagian lainnya. Oleh karenanya, pemahaman terhadap konteks sejarah menjadi bagian penting untuk menganalisis kontradiksi dinamika realitas, guna menemukan dan mendeterminasi salah satu dari faktor yang paling fundamental dibanding lainya. Sebaliknya, meletakkan landasan ketidaksetaraan perempuan pada hasrat dan keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan, justru akan terjebak pada analisis reduksionis yang mengabaikan faktor-faktor struktural dalam formasi sosial. Hal ini akan sama dengan pengambilan kesimpulan Cabul atas dasar tindakan pelecehan yang dilakukan oleh beberapa individu (yang mengaku kiri) terhadap keseluruhan teori dan praktek ideologi sosialisme, yaitu sebuah tindakan simplifikasi yang prematur dan berlebihan.
Seorang yang mengaku memahami ideologi sosialisme (atau mengaku kiri) tentu menyadari bahwa dobrakan terhadap corak produksi masyarakat dilakukan melalui perkembangan tenaga produktif yang sudah tidak mampu ditampung lagi oleh corak produksi lama yang telah usang. Seorang kiri juga akan memahami bahwa tenaga produktif mengandung unsur tenaga kerja, alat produksi, dan sasaran produksi. Tenaga kerja, terlepas dari perbedaan gender dan jenis kelamin, ialah unsur paling revolusioner dalam struktur tenaga produktif yang dapat secara aktif mengupayakan pendobrakan formasi sosial yang telah usang. Dengan demikian, seorang yang mendaku Kiri, tentu tidak akan menciptakan sebab yang dapat menumpulkan potensi dan produktivitas tenaga kerja (cth: melakukan pelecehan seksual sebagai pengalaman yang paling traumatis) dan menghambat pencapaian tujuan ideologis yang diyakininya.
Di sinilah letak pentingnya sebuah partai revolusioner sebagai alternatif di tengah hegemoni sistem yang melanggengkan tindakan-tindakan seksis, yang berpotensi memukul mundur perjuangan kelas. Terkait hal ini (pentingnya partai revolusioner dalam perjuangan pembebasan perempuan) akan dibahas dalam artikel berikutnya.
________________
Linda Sudiono
Anggota Landless (Labor and Class Struggle Studies)
Esai ini sebelumnya dimuat di pergerakan.net, dimuat ulang untuk tujuan menyebarluaskan gagasan.
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.