Kultus Negara Terlahir untuk Menyejahterakan Adalah Kenaifan
Kita semua tahu, tahun 2020 diawali dengan berita mengenai perang dunia ketiga. Hampir semua media arus utama seperti tak kenal henti memberitakan konflik antara Iran dan Amerika Serikat juga Cina dan Indonesia. Khalayak sendiri menerimanya dengan bermacam reaksi, ada yang peduli, ada yang tidak peduli, dan bahkan ada yang menjadikannya bahan lelucon. Dari sekian banyak yang menjadikannya sebagai lelucon, salah satunya adalah bapak angkringan tempat saya biasanya makan. Ia melemparkan sebuah lelucon yang begitu kritis, bahwa “Jika perang terjadi, saya mau ikut ke medan perang, tapi tidak untuk berperang. Kau tahu apa? … Saya akan menjual nasi kucing karena yang berperang pastilah orang-orang miskin”. Saya rasa itu adalah lelucon paling lucu di semester awal tahun 2020 ini.
Kalaupun perang antar negara terjadi, saya adalah orang yang tidak peduli dalam konteks untuk membela negara saya sendiri. Hal itu karena apa yang bisa dikatakan “merdeka”, tidak sejatinya merdeka. Bukankah setiap hari kita berperang dengan janji-janji pemerintah. Lalu tiba-tiba dikomandokan akan berperang dengan negara lain dan kita harus membela negara kita sendiri. Memangnya apakah negara berlaku baik kepada kita sejauh ini? Tidak ada perang yang benar-benar membela tanah dan air, melainkan hanya kepentingan orang-orang kaya dan berkuasa.
Kultus negara terlahir untuk menyejahterakan seperti yang dikatakan Plato, bagi saya adalah sebuah kenaifan. Saat ini kita bisa lihat realitanya, negara merupakan kumpulan orang yang mempunyai kuasa, kebanyakan dari mereka sering mengecewakan rakyat. Mereka memiliki suara serta dukungan massa yang banyak, yang mana massa itu semua adalah rakyat, dan harus berapa kali lagi rakyat dikecewakan?
Dalih-dalih menyejahterakan rakyat, faktanya tidak terbukti, kita dapat lihat aparatur yang oportunis ada di mana-mana. Di dalam politik saat ini, kuantitas merupakan hal yang utama tapi opini rakyat sulit untuk melawan tiran yang tersebar di setiap pojok istana. Seakan-akan demokrasi tidak ada artinya, (lagi-lagi) Plato mengatakan, “Bisa jadi demokrasi menjadi mimpi buruk dalam sistem pemerintahan”. Menurut saya bukan hanya mimpi buruk, sekarang sistem pemerintahan telah menjadikan demokrasi itu sekadar tempelan yang secara tidak langsung bisa dicopot dan dipasang sesuka hati para politisi.
-
Anarko Sindikalisme – Rudolf RockerProduk dengan diskon
Rp75.000Rp63.000 -
Anarkisme Post-ModernProduk dengan diskon
Rp80.000Rp68.000 -
Anarki Kapitalisme – Andre GorzProduk dengan diskon
Rp68.000Rp57.800 -
Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni – Nezar PatriaProduk dengan diskon
Rp50.000Rp45.000
Negara merupakan ajang politis, kekuasaan adalah tujuan utama. Sebagai contoh, mereka bisa saja membuat aturan yang menjadi kekuatan besar untuk mengatur segala jenis hak dalam bermasyarakat dari legal atau tidak legal., hingga aturan keyakinan memeluk agama. Hukum atau aturan kebanyakan condong menguntungkan penguasa, tidak bagi rakyat kecil. Contohnya, di Indonesia tentang RKHUP yang menjadi soroton pada tahun 2019 atau Omnibus Law yang sekarang sedang marak-maraknya.
Lebih gila lagi, secarik kertas bisa dimanfaatkan oleh korporat yang sudah menjalin hubungan mesra dengan pemerintah untuk menduduki apa pun atas kehendaknya. Kita coba lihat di luar sana, barangkali Anda pernah mendengar nama Charles Hurwitz, dia merupakan bagian korporat yang mengklaim bahwa kayu redwood yang berumur 2000 tahun di hutan Headwater merupakan miliknya. Hal itu terjadi hanya karena ia menandatangani secarik kertas yang datang dari pemerintah. Faktanya, negara melayani pengusaha demi keuntungan mereka bersama. Coba bayangkan ini terjadi di negeri kita, atau memang sudah benar-benar terjadi!
Pada awal pembentukan sebuah negara adalah kekeliruan. Kebebasan sebuah gagasan, budaya, bahkan emosi merintih paling dalam harus patuh di bawah aturan-aturan pemerintah. Hak dikerdilkan demi keadilan sosial yang mana kata keadilan sosial adalah bualan belaka yang mungkin dapat berlangsung sepanjang masa.
Pada bulan Januari yang lewat, saya menonton film dokumenter The Bajau dalam acara nobar yang diselenggarakan oleh mahasiswa-mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Di dalam diskusi setelah film itu diputar, saya mendapatkan kalimat menarik dari seseorang. Jika melihat keadaan masyarakat Bajo di dalam film tersebut, seseorang itu mengatakan, “Orang-orang Bajo tidak butuh negara”. Sekilas saya memutar memori tentang film yang disutradarai Dandhy Laksono tersebut. Memang benar, perkara menghidupi diri sendiri kita mampu tanpa negara. Kemudian negara datang dengan proyek perusahaan, menempati, dan campur tangan lalu memonopoli kekayaan alam dengan dalih-dalih menyejahterakan negeri.
-
Logika – AristotelesProduk dengan diskon
Rp75.000Rp67.500 -
Logika Keilmuan: Pengantar Silogisme dan InduksiProduk dengan diskon
Rp40.000Rp36.000 -
Pergolakan Pemikiran Islam – Ahmad WahibProduk dengan diskon
Rp75.000Rp70.000 -
Kematian Filsuf : Bagaimana Demokrasi Membunuh Socrates – PlatoProduk dengan diskon
Rp58.000Rp46.400 -
Menjadi Bahagia : Panduan Hidup Bahagia ala Filsafat Stoik – EpicurusProduk dengan diskon
Rp58.000Rp46.400 -
Kolonialisme / Pascakolonialisme – Ania LoombaProduk dengan diskon
Rp110.000Rp93.500 -
Paket Hak untuk Malas dan Burn out SocietyProduk dengan diskon
Rp130.000Rp104.000 -
Hak untuk Malas – Paul LafargueProduk dengan diskon
Rp62.000Rp52.700 -
Burn out Society – Byung-Chul HanProduk dengan diskon
Rp68.000Rp57.800 -
Ikhtisar Rosa Luxemburg – Rosa LuxemburgProduk dengan diskon
Rp78.000Rp66.300 -
ISLAM DAN IMAJINASI KHILAFAH – Kajian tentang Pemerintahan dalam IslamProduk dengan diskon
Rp75.000Rp67.500 -
A Farewell to Arms – Ernest HemingwayProduk dengan diskon
Rp100.000Rp90.000
Mengambil salah satu contoh dari masyarakat yang ada di film The Bajau dapat selaras dengan pendapat Mansour Fakih dalam jurnal “Anarkisme: Paham yang Tak Pernah Padam”. Ia mengatakan, secara alamiah manusia dapat bertahan hidup secara harmoni dan bebas, tanpa intervensi kekuasaan. Hal tersebut juga dapat memberi gambaran bagaimana saat ini negara berjalan. Jadi, yang perlu direnungkan; “Apa yang telah negara berikan sedangkan kita bisa mencukupi kehidupan kita tanpa campur tangannya?”
Di lain hal tentang kekeliruan lahirnya negara dalam realita yang disuguhkan dapat dilihat di dalam buku Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan yang merupakan kumpulan esai dari Emma Goldman, ia mengatakan, apologi dari penguasa yang mencakup pemimpin dan hukum yang mereka buat merupakan tindakan paling absurd untuk upaya mengurangi kejahatan. Terlepas dari kenyataan bahwa negara itu sendiri merupakan penjahat terbesar yang melanggar setiap hukum alam dan hukum tertulis, mencuri dengan dalih pajak, membunuh dengan dalih perang dan hukuman mati. Di sini negara telah gagal menghancurkan atau mengurangi bencana mengerikan yang mereka ciptakan sendiri.
Beberapa hal mengenai kenaifan terlahirnya sebuah negara kian nyata. Kita sebagai rakyat selalu dipaksa patuh dan seakan-akan semuanya baik-baik saja. Tapi ada kalanya satu ditambah satu sama dengan bunuh diri, yang artinya rakyat dipaksa patuh kepada aturan yang pincang dan kebenaran yang disalahgunakan, seolah-olah rakyat menggadaikan nyawanya kepada penguasa.
_____________________
Wahyudi Pangalayo
Seorang mahasiswa jurnalistik di salah satu universitas negeri di Yogyakarta, juga reporter LPM Rhetor, pengurus JCM Kine Klub, anggota Komunitas Abah Menulis, dan relawan aktif dari Greenpeace Indonesia.
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang masuk di spam atau update) dan silahkan buka dan konfirmasi.