Esai

Marxisme dan Kerusakan Alam: Sanggahan Terhadap Teori Malthus

Kerusakan alam, menurut Malthus, disebabkan oleh terjadinya ledakan jumlah penduduk. Menurutnya, pertumbuhan penduduk bergerak secara geometrik (1, 4, 7, 12, 18, …), sedangkan pertumbuhan alam bergerak dalam deret ukur aritmatika (1, 2, 3 ,4 ,5, …). Pertumbuhan yang berbeda di antara keduanya menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Manusia dari waktu ke waktu semakin membludak (tumbuh banyak secara kuantitatif) semakin ketat dan ganas pula dalam dalam persaingan memperebutkan dan mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan yang disediakan oleh alam. Hal itu membuat alam dengan keterbatasannya untuk menyediakan kebutuhan manusia terus dikuras hingga tandas, sehingga dari situlah kemudian alam mengalami kerusakan.

Berangkat dari rumusan teorinya tersebut, Malthus kemudian menarik kesimpulan bahwa untuk menghentikan terjadinya kerusakan, caranya adalah dengan mengurangi atau memberangus laju pertumbuhan penduduk atau kelahiran generasi-generasi baru. Dengan cara seperti itu, intensitas terhadap kerusakan alam dapat dikurangi dan alam diharapkan dapat menyediakan kembali sumber-sumber kehidupan manusia lebih dari yang diperlukan oleh manusia. Bisa jadi Malthus akan berpikiran positif ketika menyaksikan Hitler dengan ideologi fasisnya membantai jutaan manusia, Soeharto dan barisan militernya membunuhi manusia tidak berdosa pasca-1965, pembantaian orang-orang Papua, bencana alam di Aceh saat Tsunami, dan gempa bumi serta bencana alam yang membunuh ribuan manusia. Malthus dan pengikutnya bisa jadi akan bersorak, “Hore!”.

Teori Malthus itu, dirumuskan pada saat sistem ekonomi kapitalisme sedang mengalami krisis over-akumulasi (kelebihan akumulasi). Krisis yang terjadi karena hasil produksi komoditas atau barang dagangan mengalami penumpukan dan tidak terjual di pasar. Dengan kata lain, hasil produksi komoditas tidak dapat diserap oleh pasar. Sementara itu, pengangguran dan kemiskinan terus mengalami peningkatan, dan kelas kapitalis pun semakin melakukan eksplotiasi terhadap sumber-sumber kehidupan manusia yang disediakan oleh alam. Alam dirusak dengan begitu brutalnya oleh kelas kapitalis demi akumulasi kapital walau mereka sadar mereka sedang mengalami krisis over-akumulasi.

Dalam sudut pandang Marxis, kerusakan alam tidak berhubungan dengan pertumbuhan penduduk dalam masyarakat kapitalis. Terkait dengan hal itu, Karl Marx mengatakan jika kerusakan alam lebih condong disebabkan oleh cara manusia berproduksi. Dalam sistem produksi kapitalisme, yang menempatkan alat-alat produksi dimiliki dan dikuasai oleh segelintir individu mengakibatkan surplus value (nilai lebih/keuntungan) hanya mengalir ke kantong para pemiliknya. Berangkat dari sini, untuk kepentingan menumpuk surplus value, kelas kapitalis melakukan ekspoitasi alam besar-besaran, mengerahkan teknologi-teknologi canggih untuk mengeruk sumber-sumber kekayaan alam baik yang ada di dalam perut bumi maupun permukaan bumi. Perilaku brutal tersebut semakin menjadi-jadi ketika mereka dihadapkan pada persaingan antar-kapitalis, dan persaingan antar-imperialis di zaman kapitalisme lanjut. Semakin berkembang kapitalisme semakin gila mereka melakukan tindakan merusak alam.

Alam, sebagaimana telah disampaikan di depan, memiliki batasan untuk dieksploitasi oleh manusia. Nah, batasan inilah yang ditabrak oleh kelas kapitalis demi menumpuk surplus value. Dalam kondisi seperti ini, di satu sisi tenaga kerja yang hidup (kelas pekerja) semakin tergantikan oleh tenaga kerja yang mati (mesin produksi) yang menyebabkan terjadinya ledakan pengangguran, namun di lain sisi mesin produksi semakin haus dengan sumber-sumber kekayaan alam yang semakin hari semakin mengalami kerusakan. Kekayaan alam yang pada awalnya melimpah dan lestari direnggut dan dirusak oleh segelintir individu pemilik alat produksi. Bersamaan dengan itu, mayoritas penduduk yang didominasi oleh kelas pekerja menjadi korban dari kerusakan alam yang disebabkan oleh sifat kebinatangan sistem kapitalisme. Terkait dengan hal ini, Marx benar ketika dia berkata, “Pertumbuhan penduduk terikat dengan cara produksi manusia”.

Pertanyaannya, bagaimana cara menghentikan kerusakan alam?

Jawabannya, bukan dengan mempermasalahkan pertumbuhan penduduk. Jawaban seperti itu hanya akan membuat kelas kapitalis “cuci tangan” atau berdalih kalau bukan merekalah yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Mereka akan menuding dengan berbagai manipulasi statistik kalau kelas pekerjalah yang mengakibatkan kerusakan alam karena mereka yang banyak melahirkan generasi baru. Jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu adalah:

  1. Kelola alam secara terencana;
  2. Rebut alat-alat produksi yang dimiliki dan dikuasai oleh kelas kapitalis dan ubah menjadi milik bersama atau kolektif.
  3. Distribusikan hasil-hasil produksi kepada semua orang yang membutuhkannya secara merata.

Pengelolaan secara terencana akan akan mengontrol batas-batas penggunakan alat produksi dalam mengeksploitasi alam, dan memikirkan bagaimana cara menjaga agar alam tetap lestari dan menumbuhkan kembali sumber-sumber kekayaan yang telah dimanfaatkan oleh manusia.

Penguasaan alat-alat produksi secara kolektif akan mengarahkan proses produksi bukan untuk kepentingan penumpukan surplus value, tetapi untuk mensejahterakan semua manusia. karena tujuan produksi adalah kesejahteraan dan keselamatan manusia, maka proses produksi diarahkan untuk itu, bukan untuk kerakusan manusia per individu dan merusak alam.

Distribusi secara merata akan mengakhiri, secara bertahap, kemiskinan dan pengangguran.

Demi keselamatan semua manusia di muka bumi ini, pengelolaan alat produksi dan pengolahan bahan mentah yang berasal dari alam harus diorientasikan untuk kepentingan bersama, dan semua itu haruslah dilakukan dengan ramah terhadap lingkungan. Tidak ada kompetisi atau persaingan antarkapitalis dan imperialis yang berujung pada perusakan alam.

Dalam teori Malthusian juga dirumuskan bahwa pertumbuhan kebutuhan hidup berupa berbagai tetumbuhan lebih lambat ketimbang pertumbuhan penduduk sehingga fenomena seperti ini akan menyebabkan distribusi kekayaan alam tidak merata. Ketidakmerataan inilah yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan.

Teori borjuis dari Malthus tersebut mendapat sanggahan pula dari Marxisme. Dalam masa prakapitalis, pada saat alat-alat produksi yang digunakan masih sangat sederhana dan hasil-hasil produksi pun tidak melahirkan surplus value sehingga masyarakat pada saat itu hidup secara tersubsistensi, pada saat itu pula pemanfaatan terhadap sumber-sumber kehidupan yang disediakan oleh alam tidak dapat dieksplotasi secara besar-besaran oleh manusia. Walaupun manusia tumbuh secara geometris, karena alat-alat produksi yang mereka gunakan masihlah sangat sederhana. Namun, ketika teknologi semakin berkembang di bawah sistem perekonomian kapitalisme, ketika kerja hidup semakin digantikan oleh kerja mati, ketika surplus value adalah tujuan satu-satunya, ketika distribusi hasil produksi hanya dimakan oleh kelas kapitalis sedang pihak yang memproduksinya hanya mendapatkan jatah untuk mempertahankan hidupnya, ketika kelas buruh hanya menjadi penonton dari terjadinya kerusakan alam, pada saat itulah akar ketidakmerataan terhadap distribusi kekayaan alam menjadi monster yang menakutkan, merusak, dan menghancurkan.

____________________
Ismantoro Dwi Yuwono
Pengelola Penerbit Buku Pragraf.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di website pribadi penulis.

Daftar Pustaka

Doug Lorimer, Pokok-Pokok Materialisme Historis: Pandangan Marxis terhadap Sejarah dan Politik, Bintang Nusantara, Tanpa Nama Kota, 2013

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?