Bahaya Gangguan Stres Pasca Pemilu: Analisis Psikologi
Tanggal 17 April 2019 yang lalu, Indonesia melaksanakan agenda demokrasi lima tahunan yakni pesta demokrasi yang dilakukan serentak untuk memilih calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) serta calon anggota legislatif (Caleg). Pesta akbar demokrasi ini kemudian menjadi berwarna karena ditaburi dengan beragam gambar Capres-Cawapres dan Caleg di berbagai sudut kota. Para calon pemimpin dan wakil rakyat ini mulai rajin mendatangi berbagai kegiatan masyarakat mulai dari acara non-formal sampai pada acara formal dengan tujuan agar lebih dikenal oleh masyarakat dan berharap agar dapat dipilih. Suhu politik semakin meningkat dengan adanya kompetisi dalam memperebutkan suara rakyat.
Tak bisa ditampik bahwa ketatnya persaingan dan kompetisi yang terjadi, dinilai para ahli psikologi bisa memicu timbulnya stres dan depresi di kalangan para caleg yang gagal terpilih. Sebab sistem yang dipakai untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi, berbeda dengan tahun 2014 yang lalu. Pada Pileg 2014 lalu, metode penghitungan suara menggunakan sistem Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Namun, pada Pileg 2019 kali ini, menggunakan metode Sainte Lague murni.
Perbedaan sistem ini turut mempengaruhi persaingan yang terjadi tidak hanya di antara caleg dari satu partai, tetapi juga caleg dari partai lain. Otomatis, tekanan pun dirasakan kian berat. Sistem penentuan ini, mau tak mau, akan membuat caleg dan partai harus bekerja sama dalam peraihan suara terbanyak. Jika ada caleg yang menang secara individual dan suara partai tak terdongkrak, maka akan mempengaruhi proses duduknya calon di legislatif.
Pemilu serentak sudah terlaksana dan sampai saat ini masih dilakukan rekapitulasi perhitungan suara oleh KPU. Semua calon tentu sedang menanti hasil keputusan. Dalam penantian yang bisa dikata ‘tak pasti’ ini, para Caleg dapat terindikasi stres jika mental dan psikisnya tidak diolah secara baik. Bahkan, ada indikasi bahwa akan ada banyak Caleg yang mengalami stres setelah pemilu sebagai akibat dari kegagalan yang dialami. Hal ini bukan sebuah fenomena baru dalam setiap Pemilu.
Fenomena stress setelah pemilu ini kemudian dikenal dalam ranah psikologi dengan istilah Post Election Stress Disorder atau diterjemahkan menjadi ‘Gangguan Stres Pasca Pemilu’ (GSPP). Istilah GSPP ini muncul pada tahun 2016-2017 dalam Jurnal APA, yang mengemukakan bahwa warga Amerika mengalami lonjakan kecemasan yang berlebihan setelah Pemilu.
Fenomena stress setelah pemilu ini kemudian dikenal dalam ranah psikologi dengan istilah Post Election Stress Disorder atau diterjemahkan menjadi ‘Gangguan Stres Pasca Pemilu’ (GSPP). Istilah GSPP ini muncul pada tahun 2016-2017 dalam Jurnal American Psychological Association (APA), yang mengemukakan bahwa warga Amerika mengalami lonjakan kecemasan yang berlebihan setelah diadakannya pemilu.
Kalau kita menelusuri panduan diagnosis gangguan jiwa yang digunakan para Psikolog, yakni DSM-V (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), maka istilah gangguan stres pasca pemilu (GSPP) tidak ditemukan. Batasan atau defenisi yang jelas mengenai istilah GSPP pun masih belum ada, sehingga istilah GSPP secara resmi tidak dikenal dalam ranah ilmu psikologi maupun ilmu kejiwaan. Akan tetapi, dengan mencermati fenomena yang terjadi sekarang, istilah GSPP ini kemudian menjadi nyata karena banyak persoalan yang sudah mulai nampak di kalangan para calon legislatif. Bahkan yang paling menonjol saat ini adalah persoalan klaim kemenangan dari dua pasangan Capres-Cawapres berdasarkan perhitungan cepat atau quick count berbagai lembaga survei maupun real count dari masing-masing kubu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika oleh APA, beberapa simptom atau gejala seorang dikatakan mengalami gejala stres pasca pemilu yakni munculnya kecemasan yang berlebihan terhadap berbagai hal, khususnya kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kalangan tertentu. Selain itu, gejala lainnya adalah sikap yang terlalu pesimis, mudah marah khususnya pada hal-hal yang berbau politik, suka menuduh dan memfitnah, timbulnya ketidak-percayaan terhadap berbagai hal, sering halusinasi, depresi, suka memprovokasi, over confident (kelebihan percaya diri), sering berbohong demi kepentingan pribadi, kehilangan daya kritis dan munculnya pikiran irasional. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, ada beberapa jenis stress yang bisa bahkan mungkin ‘sedang’ dialami oleh para Capres-Cawapres dan para Caleg pasca pemilu ini. Beberapa bentuk stres yang bisa muncul setelah pemilu antara lain depresi, halusinasi dan megalomania syndrome.
Depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak peduli. Semua orang pasti pernah merasa sedih atau murung sesekali, dan hal tersebut adalah normal. Namun seseorang akan dinyatakan mengalami depresi jika sudah dua minggu merasa sedih, putus harapan, atau merasa tidak berharga lagi. Kondisi ini bisa menyebabkan efek yang lebih buruk pada penderitanya, yaitu produktivitas kerja menurun, hubungan sosial terganggu, hingga keinginan untuk bunuh diri. Ciri-ciri psikologi seseorang mengalami depresi antara lain mengalami kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak stabil secara emosional. Sedangkan ciri-ciri fisik dari seseorang mengalami depresi antara lain selalu merasa lelah dan tak bertenaga, mengalami pusing dan rasa nyeri tanpa penyebab yang jelas.
… gejala seorang dikatakan mengalami gejala stres pasca pemilu yakni munculnya kecemasan yang berlebihan terhadap berbagai hal,… sikap yang terlalu pesimis, mudah marah khususnya pada hal-hal yang berbau politik, suka menuduh dan memfitnah, timbulnya ketidak-percayaan terhadap berbagai hal, sering halusinasi, depresi, suka memprovokasi, sering berbohong demi kepentingan pribadi, kehilangan daya kritis dan munculnya pikiran irasional.
Halusinasi adalah gangguan persepsi yang membuat seseorang mendengar, merasa, mencium aroma, dan melihat sesuatu yang kenyataannya tidak ada. Pada keadaan tertentu, halusinasi dapat mengakibatkan ancaman pada diri sendiri dan orang lain. Halusinasi adalah sensasi yang diciptakan oleh pikiran seseorang tanpa adanya sumber yang nyata. Gangguan ini dapat memengaruhi kelima panca indera kita. Seseorang disebut berhalusinasi ketika dia melihat, mendengar, merasa, atau mencium suatu aroma yang sebenarnya tidak ada. Hal ini hanya ada di dalam pikiran mereka. Penderita gangguan halusinasi seringkali memiliki keyakinan kuat bahwa apa yang mereka alami adalah persepsi yang nyata sehingga tak jarang menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam ilmu psikologi, megalomania syndrome termasuk salah satu bentuk gangguan kepribadian manusia. Banyak juga yang beranggapan bahwa seorang pemimpin bisa dikategorikan sebagai penderita megalomania, mengingat banyaknya tokoh terkenal dunia yang dicurigai mengidap megalomaniam karena ciri negatif dari seorang pemimpin adalah keinginan kuat untuk tampil sebagai orang dihormati, dihargai, dan ditaati. Sigmund Freud, memberikan pendapat bahwa akar dari megalomania adalah narsisme atau perasaaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Penderitanya memiliki suatu kecenderungan untuk menilai dirinya secara berlebihan atau menghargai diri melampaui batas (big–ego). Megalomania adalah perilaku mental yang dapat digunakan oleh setiap individu sebagai cara untuk mengatasi kesulitan ketika frustrasi, atau ditinggalkan, atau merasa kehilangan. Dalam pengertian ini, kita dapat melihat megalomania sebagai bentuk ekstrem dari maniak pertahanan terhadap kecemasan. Dalam dunia sosial, megalomania bisa menjadi karakteristik mabuk kekuasaan atau diktator.
Beranjak dari jenis stres pasca pemilu yang sudah dijelaskan di atas, maka yang harus diperhatikan para Capres-Cawapres dan juga para Caleg adalah mempersiapkan mental dan psikis yang baik ketika KPU resmi mengumumkan hasil perhitungan. Dalam arti lain, untuk menghindari stres yang berlebihan maka strategi koping dan manajemen stres dari setiap calon perlu diperhatikan secara serius. Manajemen stres adalah sebuah kecakapan dalam menghadapi tantangan dengan cara mengendalikan tanggapan (respon) secara proporsional. Ada beragam bentuk manajemen stres yang bisa dikembangkan oleh masing-masing Caleg.
Salah satu contoh kongkrit agar bisa terhindar dari gejala stres pasca pemilu adalah dengan membatasi atau bila perlu berhenti sejenak mengonsumsi berita dan informasi seputar Pemilu. Aktivitas atau perbincangan yang berkaitan dengan pemilu harus ditinggalkan dulu. Rutinitas harian yang biasa perlu ditingkatkan, pergaulan perlu diperluas, membangun diskusi yang ringan dengan orang lain, membaca bacaan atau informasi dengan materi yang lebih ringan dan tidak membebani pikiran serta mengurangi akses di media sosial. Dengan cara sederhana ini, kiranya para Capres-Cawapres dan para Caleg serta kita semua bisa menjadi orang yang kritis dan memiliki pikiran yang rasional. Pemahaman akan gangguan pasca pemilu sangat perlu diketahui kita semua agar kita tidak mengalami stres yang berlebihan dan menjadi pribadi yang sehat pikiran maupun fisik. Begitupula bagi para pendukung dan tim sukses Capres-Cawapres serta Caleg.
_______________________
Wardy Kedy
Penulis adalah mahasiswa Magister Psikologi di Universitas Gadjah Mada.