Resensi Buku

Kesadaran & Perjuangan Kelas: Sanggahan Untuk Jun Bramantyo

Jun Bramantyo memberikan perspektif lain dalam menafsirkan ajaran Karl Marx di dalam buku yang ditulisnya, Mitos Merebut Negara: Gagasan Politik Anti-Politik & Senjakala Kesadaran Kelas. Tidak seperti kaum Marxis pada umumnya, yang meyakini bahwa kaum buruh adalah sebuah kelas. Menurut Jun, kaum buruh bukanlah sebuah kelas, mereka adalah sekumpulan individu yang tidak memiliki watak dasar bersatu. Selain itu, mereka juga selalu saling bersaing antarsesamanya.

Menurut Jun, istilah kelas hanya dapat dikenakan kepada mereka yang terikat dengan properti atau alat produksi, sedangkan bagi mereka yang tidak terikat dengan properti, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kelas. Mereka yang terikat dengan properti, diantaranya adalah tuan tanah, petani, dan pemilik pabrik, sedangkan mereka yang tidak terikat dengan properti adalah kaum buruh.

Lebih jauh, Jun mengatakan, kesadaran kelas hanya dimiliki oleh mereka yang terikat dengan properti, sedangkan bagi mereka yang tidak terikat, tidak memiliki kesadaran itu. Kaum buruh, karena tidak terikat dengan properti, maka mereka tidak memiliki kesadaran itu.

Jun mengaitkan kesadaran kelas dengan kepentingan mempertahankan dan mengamankan hak milik terhadap properti. Kelas-kelas pemilik properti sadar, apabila mereka ingin mempertahankan dan mengamankan kepemilikan mereka terhadap properti mereka harus melakukan berbagai tindakan, diantaranya adalah berpolitik, bertarung dengan sesama dan lawan kelasnya, dan bertindak mengendalikan negara. Melalui cara-cara seperti itulah keterikatan mereka dengan properti dapat dipertahankan.

Jadi, keberadaan kelas dan kesadaran kelas, berdasarkan logika yang dibangun oleh Jun, berakar pada keterikatan atau kepemilikan individu-individu dengan properti atau alat produksi. Karena kaum buruh tidak memiliki keterikatakan dengan properti, maka mereka bukanlah sebuah kelas, dan oleh karena itu mereka juga tidak memiliki kesadaran kelas.

Kaum Buruh Sebagai Individu-Individu yang Terdekomposisi

Ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh, menurut Jun Bramantyo, tidak hanya berakar atau disebabkan oleh ketidakterikatan mereka pada properti, tetapi juga disebabkan oleh terdekomposisinya mereka dalam masyarakat berkelas. Dalam masyarakat yang telah terpecah menjadi kelas dan nonkelas, kaum buruh menduduki posisi sebagai kaum nonkelas atau tanpa kelas, posisi yang ditempati oleh semua orang dalam masyarakat masa depan, yakni masyarakat komunis, masyarakat yang sudah tidak mengenal lagi adanya kelas-kelas, masyarakat tanpa hierarki, dan masyarakat tanpa otoritas. Terdekomposisinya kaum buruh dari masyarakat yang masih mempertahankan keberadaan kelas menyebabkan kaum buruh tidak memiliki keinginan untuk berpolitik karena tidak ada hak milik yang harus mereka pertahankan, dan oleh sebab itu mereka pun tidak memiliki kesadaran kelas, kesadaran untuk mempertahankan hak milik atau keterikatan terhadap properti melalui aktivitas politik.

Dekomposisi yang artinya proses pelapukan, pembusukan, atau pelenyapan rupa-rupanya digunakan oleh Jun sebagai istilah untuk kaum buruh yang menempati posisi nonkelas dalam masyarakat berkelas, kaum yang mencerminkan kondisi masyarakat tanpa kelas di masa depan, dan kaum yang tidak memiliki kesadaran kelas.

Dampak dari Ketiadaan Kesadaran Kelas di Kalangan Kaum Buruh

Ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh tentunya berdampak negatif terhadap kaum buruh itu sendiri. Menurut Jun Bramantyo, dampak dari tiadanya kesadaran kelas di kalangan kaum buruh adala:

  1. Tidak dimilikinya kepentingan politik untuk menyatukan diri dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kelas yang menindas mereka;
  2. Terjadinya persaingan kerja dalam meraih upah dan prestise antarmereka; dan
  3. Tidak adanya keinginan merebut negara dari kelas borjuis dan kemudian mengendalikannya untuk menindas perlawanan kelas yang sebelumnya menindas mereka.

Ringkasnya, dampak dari tiadanya kesadaran kelas di kalangan kaum buruh adalah terciptanya kondisi anti-politik di kalangan mereka.

Karena kaum buruh tidak memiliki kesadaran kelas dan anti-politik, maka upaya apa pun yang dilakukan oleh organisasi revolusioner untuk membangkitkan kesadaran kelas, kesadaran politik, dan keinginan untuk merebut negara dari para penindas mereka (kelas kapitalis), menurut Jun, akan menemui kegagalan. Terkait dengan upaya yang sia-sia itu, Jun menulis, “Kelas proletar tidak berminat pada kekuasaan[1]. Oleh karena itu, “Setiap kekuatan yang berupaya mendorong kesadaran kelas proletariat senantiasa akan mengalami kegagalan”[2].

Lebih jauh, Jun menulis, “Upaya kaum kiri untuk masuk parlemen atau merebut negara—dengan alasan untuk memenangkan kaum buruh—adalah kecacatan berpikir dan miskinnya imajinasi”.[3]

Penafsiran Jun terhadap Ideologi Jerman

Jun mengatakan kalau konsep ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh bukan berasal dari pikirannya sendiri, tetapi berdasarkan ajaran Karl Marx dan Friedrich Engels. Menurutnya, ajaran itu dapat ditemui dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels, seperti “Ideologi Jerman”, dan “Manifesto Komunis”. “Saya membentuk kesimpulan-kesimpulan ini dengan bacaan-bacaan Marxisme itu sendiri”,[4] begitu kata Jun.

Untuk membuktikan perkataannya itu, Jun pun mengutip tulisan Marx dan Engels. Di halaman 5, 11, 21, 31, dan 80—81, dia mengutip tulisan Marx dan Engels yang terdapat dalam karya “Ideologi Jerman”. Berikut ini, penulis tunjukkan tulisan Marx dan Engels yang dikutip oleh Jun:

Individu-individu yang terpisah membentuk kelas hanya sejauh mereka harus melakukan pertempuran bersama melawan kelas lain. Jika tidak, mereka saling bermusuhan satu sama lain sebagai pesaing.[5]

Ajaran Marx dan Engels yang dikutip secara berulang tersebut digunakan oleh Jun untuk melegitimasi penafsirannya bahwa Marx sendiri membenarkan kalau kaum buruh tidak memiliki kesadaran kelas, yang disebabkan oleh ketidakterikatanya pada alat produksi atau properti. Dari situ, kemudian Jun memperluas tafsirannya kalau kaum buruh, sekali lagi, berdasarkan ajaran Marx sendiri, adalah kaum yang anti-politik dan tidak berkeinginan untuk berkuasa, terlebih lagi merebut negara dari tangan kelas kapitalis.

Jun dengan tidak hati-hati juga mengatakan kalau karya Marx dan Engels yang mereka tulis pada tahun 1847 dan 1848 ditujukan untuk menunjukkan ketiadaan kesadaran kelas di kalangan buruh, dan itu ditandai oleh penjudulan karya yang mereka tulis. “Karya itu, mereka beri judul, manifesto komunis bukan manifeisto proletariat”, begitu kata Jun. Lebih jauh, Jun dengan percaya diri mengatakan kalau, “Term kesadaran kelas tidak terdapat dimanapun dalam karya Marx dan Engels. Marx dan Engels hanya menyebut kesadaran komunis (baca: kesadaran masyarakat tanpa kelas, pen.)”[6].

Solusi yang Ditawarkan oleh Jun

Penulis membaca buku yang ditulis oleh Jun Bramantyo hingga dua kali. Hal itu, penulis lakukan untuk menangkap pokok-pokok pikiran yang berupaya disampaikan oleh Jun, serta solusi apa yang ditawarkannya untuk menyelesaikan permasalahan penindasan yang terjadi di kalangan kaum buruh. Hasilnya, penulis menemukan solusi yang ditawarkan Jun, sebagai berikut:

  1. Jun menyarankan agar pendekatan terhadap kaum buruh dalam rangka memperjuangkan kondisi mereka yang buruk dilakkuan secara individual, bukan melalui kerangka pendekatan kelas atau keorganisasian. Jun mengatakan pendekatan dalam bentuk seperti itu adalah pendekatan yang bodoh karena tidak akan menghasilkan apa-apa;
  2. Kaum buruh seharusnya tidak diarahkan untuk membangun organisasi-organisasi perjuangan kelas, tetapi diarahkan untuk membangun asosiasi-asosiasi sukarela; dan
  3. Tujuan dari ke-2 poin itu, bukan ditujukan untuk mengambil alih atau merebut negara, melainkan untuk menghancurkan negara.

Poin yang ke-3 tersebut, menunjukan ideologi apa yang dianut Jun  Jun adalah seorang penganut ideologi Anarkis, dan itu ditunjukkan oleh argumen Jun sendiri yang secara tidak langsung menginformasikan kepada kita kalau masyarakat komunis dapat diciptakan langsung tanpa melalui tahapan perebutan negara. Dengan kata lain, masyarakat komunis dapat diciptakan dengan menghancurkan negara dan kemudian melompat langsung ke tahapan masyarakat tanpa kelas.

Upaya mendamaikan antara Marxisme dan Anarkisme

Jun Bramantyo di dalam buku yang ditulisnya tersebut, akhirnya berupaya mendamaikan ajaran Marx dan Bakunin. Berikut ini, aku kutipkan tulisan Jun yang berupaya mendamaikan dua aktivis dan pemikir revolusioner itu.

… kita mesti memahami perdebatan antara Marx dengan Bakunin bukan sebagai perdebatan naif apakah proletariat harus mendirikan negara atau asosiasi sukarela, bukan!

Keduanya berdebat bukan dalam rangka menegaskan bagaimana lawan kelas proletariat diperlakukan melalui negara, asosiasi sukarela dan nama-nama lainnya yang menurut kamu memiliki konsep yang berbeda saat ini. Bukan juga!

Keduanya berdebat mengenai hal yang lebih jauh dan penting dibandingkan dua pertanyaan di atas, mereka berdebat mengenai hubungan antara proletariat dengan asosiasi sukarela sampai negara. Apakah keduanya, baik itu asosiasi sukarela dan negara ataupun konsep-konsep lainnya bisa menjadi suatu bentuk sistem pengelolaan produksi-ekonomi yang kooperatif, atau malah berbalik mendominasi kelas proletariat. Inilah yang diperdebatkan keduanya di berbagai forum.

Kerja-kerja seorang Marxis maupun Anarkis sebaiknya berkutat pada pembangunan masyarakat baru, baik nanti menggunakan negara ataupun asosiasi, kedua konsep ini mestinya tidak balik mendominasi proletariat, karena ini adalah syarat dibangunnya masyarakat tanpa kelas. Tidak ada dominasi sistem tertentu, tidak ada kelas-kelas yang terikat pada properti tertentu, tidak ada pula kelas-kelas itu sendiri.[7]

Dari argumen Jun yang berupaya mendamaikan pemikiran Marx dengan Bakunin tersebut, kita bisa menangkap keresahan Jun. Jun tampaknya tidak ingin masyarakat yang dibangun di masa depan adalah masyarakat yang masih membiarkan tetap eksisnya otoritas, baik otoritas yang datang dari negara maupun asosiasi sukarela. Jun, melalui tulisannya itu, terkesan tidak mempermasalahkan transisi apa yang harus dilalui untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, namun dengan syarat di antara salah satu dari keduanya tidak membenarkan tetap eksisnya otoritas. Dihadapkan dua pilihan itu, Marxsime atau Anarkisme, Jun memilih Anarkisme. Namun, dalam karyanya yang diterbitkan oleh Penerbit Independen, Jun tetap ingin mempertahankan ajaran Marx.

*** *** ***

Sanggahan: Kelas, Kesadaran Kelas, dan Perjuangan Kelas

Jun Bramantyo mendefinisikan kelas sebagai sekumpulan individu yang terikat dengan hak milik terhadap alat produksi atau properti, dan karena kaum buruh tidak memiliki keterikatan terhadap properti, maka kaum buruh bukanlah sebuah kelas.

Penulis akan menguji pendefinisian kelas yang dirumuskan oleh Jun tersebut dengan tulisan-tulisan yang ditulis langsung oleh Marx dan Engels sendiri. Jun mengatakan, definisi kelas yang dia rumuskan itu di dasarkan oleh ajaran Marx sendiri. Apakah benar apa yang dikatakan oleh Jun itu? Mari, kita uji.

Karl Marx dan Friedrich Engels di penghujung tahun 1847 dan di awal tahun 1848 menulis sebuah karya yang mereka persembahkan untuk mempersenjatai perjuangan organisasi kaum buruh. Karya itu, berjudul “Manifesto Partai Komunis”. Di bagian awal karya itu, mereka menulis:

Sejarah masyarakat hingga hari ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dengan budak, patrisian dengan plebeian, tuan bangsawan dengan tani hamba, warga gilda dengan magang. Ringkasnya, penindas dan kaum yang tertindas senantiasa berada dalam pertentangan satu dengan yang lainnya, melakukan perjuangan yang tiada putus-putus, kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang terbuka, perjuangan yang setiap kali berakhir dengan perombakan revolusioner seluruh masyarakat atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang saling bermusuhan.[8]

Berdasarkan tulisan dari Marx dan Engels tersebut, dengan jelas mereka menunjukkan kalau mereka mengartikan kelas bukan sebagai individu-individu yang memiliki ikatan dengan properti, melainkan individu atau sekelompok orang yang terlibat dalam perjuangan atau pertentangan, dan mereka itu terdiri dari penindas dan orang yang ditindas. Selain itu, mereka juga menunjukkan kalau orang yang tidak terikat dengan properti, kaum budak misalnya, juga masuk dalam kategori kelas, dalam hal ini adalah kelas yang tertindas. Sama seperti halnya kaum buruh yang tidak memiliki ikatan dengan properti, mereka, menurut ajaran Marx dan Engels, juga termasuk dalam kategori kelas.

Dengan demikian, hasil dari pengujian menyimpulkan bahwa definisi kelas yang dirumuskan oleh Jun Bramantyo, yang katanya di dasarkan atas studinya terhadap ajaran Marx tidak terkonfirmasi.

Dalam perspektif Marxisme, kelas tidak hanya diikat oleh kepemilikan terhadap alat produksi, tetapi juga keberadaannya ditentukan oleh posisi setiap orang dalam hubungan hierarkis mereka terhadap kepemilikan alat produksi. Ketentuan itulah yang kemudian mengelompokan setiap orang pada kelompok yang memiliki alat produksi dan yang tidak memiliki alat produksi. Kelompok pertama disebut sebagai kelas kapitalis, dan kelompok yang kedua disebut sebagai kelas buruh. Mengapa disebut kelas bukan kelompok? Jawabannya, karena di dalam istilah kelas terkandung adanya pengertian hierarki, pemilik dan bukan pemilik, penguasa dan yang dikuasai, serta majikan dan buruh. Nah, berangkat dari hubungan yang bersifat hierarkis tersebut, maka munculah hubungan penindas dan yang ditindas, sedangkan hubungan ini akan mendorong munculnya perlawanan, baik perlawan secara spontan maupun terorganisasi. Munculnya perlawanan itulah yang disebut dengan munculnya kesadaran kelas. Jadi, kesadaran kelas bukan hanya semata-mata disebabkan oleh kepemilikan alat produksi, melainkan juga hubungan hierarkis kepemilikan terhadap alat produksi.

Terkait dengan hubungan antara alat produksi dan lahirnya kesadaran kelas, Marx pernah berkata kalau masyarakat lama adalah ibu kandung dari masyarakat baru. Masyarakat zaman perbudakan adalah ibu kandung yang melahirkan feodalisme, dan feodalisme adalah ibu kandung dari kapitalisme. Namun, yang perlu untuk mendapat catatan di sini adalah, Marx mengatakan itu untuk menunjukkan kalau dalam masyarakat yang telah terbagi dalam kelas-kelas yang saling bertentangan akan berdampak pada terjadinya pertarungan antarkelas, dan pertarungan inilah yang kemudian akan mendorong terjadinya pergantian kelas. Dengan kata lain, titik berat yang ditekankan oleh Marx adalah perjuangan kelas. Terkait dengan hal itu, Marx dan Engels juga pernah berkata bahwa “Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas”[9], sejarah inilah yang merupakan rahim dari lahirnya kesadaran kelas, bukan seperti yang dikatakan oleh kawan Marxis beraliran Anarkis kita, Jun Bramantyo, kalau alat produksi secara langsung atau tanpa perantara akan melahirkan kesadaran kelas. Benar alat produksi memang akan melahirkan kesadaran kelas, tetapi kelahirannya diperantarai oleh adanya hubungan produksi yang bersifat antagonistik, yakni satu pihak mengeksploitasi pihak lainnya. Dari hubungan inilah kemudian muncul kesadaran kelas. Ringkasnya, kesadaran kelas adalah kesadaran untuk melawan dan mengubah keadaan.

Selanjutnya, penulis akan bergerak lebih jauh menguji argumen Jun tentang ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh sehingga kondisi seperti ini menyebabkan kaum buruh anti-politik.

Jun mengatakan kalau ketiadaan kesadara kelas di kalangan kaum buruh disebabkan karena tidak adanya kepentingan dari kaum buruh untuk mempertahankan dan mengamankan hak milik terhadap alat produksi atau properti karena alat produksi yang mereka gunakan untuk memproduksi komoditas (barang dagangan) bukanlah milik mereka.

Berangkat dari argumennya tersebut, Jun rupa-rupanya menilai kesadaran kelas hanya muncul saat individu mempertahankan dan mengamankan hak miliknya terhadap alat produksi, dan argumennya itu, katanya, di dasarkan oleh ajaran Marx dan Engels sendiri dalam “Ideologi Jerman”. Apakah benar apa yang dikatakan oleh Jun itu?

Jun tampaknya lupa untuk membaca, mempelajari, dan mencatat tulisan Marx dan Engels yang memberikan ulasan terhadap kelas penguasa dan ideologi penguasa dalam “Ideologi Jerman”. Di dalam tulisan itu, Marx dan Engels menulis:

Pemikiran kelas penguasa dari setiap zaman adalah pemikiran yang berkuasa. Artinya, kelas yang menguasai sumber daya material masyarakat sekaligus adalah kekuatan intelektual  yang berkuasa. Oleh karena itu, kelas yang memiliki alat-alat produksi material dan bisa digunakan juga mengendalikan alat-alat produksi mental, sehingga pemikiran orang-orang yang tidak memiliki alat produksi mental secara umum, tunduk padanya.[10]

Marx dan Engels dengan jelas mengatakan, pemikiran atau kesadaran (consciousness) yang dominan di dalam masyarakat adalah pikiran yang berasal dari kelas penguasa. Kelas penguasa yang dimaksud oleh mereka tidak lain adalah orang-orang yang menguasai alat produksi atau properti—kelas kapitalis. Melalui pengendalian pikiran atau penciptaan kesadaran palsu, kelas penguasa dapat mengelabui kaum buruh kalau mereka sebenarnya sedang tidak ditindas sehingga mereka tidak melakukan perlawanan. Melalui pengendalian itu, kelas penguasa juga dapat meyakinkan kaum buruh kalau persaingan adalah tindakan yang alami dalam rutinitas kehidupan sehari-hari sehingga kaum buruh bukannya bersatu memperjuangkan kondisi mereka yang tertindas, melainkan saling bersaing antarsatu sama lain, saling sikut-sikutan di tempat kerja, mencari muka di hadapan si Boss, dan bekerja keras agar mendapat promosi. Kelas penguasa melalui pengendalian pikiran, dapat meyakinkan kepada kaum buruh kalau pabrik atau perusahaan tempat buruh bekerja adalah milik bersama sehingga kaum buruh dapat merawat dan menjaganya dengan baik, tidak merusaknya, dan mencemarkan nama baiknya.

Kelas penguasa membutuhkan alat atau media dalam mengendalikan pikiran atau kesadaran masyarakat pada umumnya, dan kaum buruh pada khususnya. Media itu, dapat berupa pendidikan, agama, kebudayaan, moral, dan ideologi. Melalui pendidikan, kelas penguasa berupaya untuk terus menciptakan kaum intelektual yang siap merumuskan teori-teori berlabel ilmiah untuk melegitimasi keberadaannya, membelanya dari kritikan, dan mengokohkannya sebagai bangunan yang sulit ditolak oleh masyarakat. Melalui agama, masyarakat ditipu kalau keberadaan kelas-kelas yang saling bersaing, saling bertentangan, dan eksploitatif, adalah keberadaan yang alami, sudah dirancang dan diatur oleh tuhan, dan tidak dapat diubah oleh manusia. Kaum buruh digiring untuk menerima nasibnya yang sial, ditipu kalau nasibnya itu adalah takdir dari tuhan, dipaksa untuk bersabar dan diiming-imingi surga. Melalui agama, kelas penguasa berdalih, orang yang bersabar adalah orang yang sedang mengemban ujian dari tuhan, orang-orang yang bersabar akan mendapat ganjaran kenikmatan tiada tara di surga. Di tangan kelas penguasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Marx, kaum buruh dibius oleh candu yang memabukkan, mereka mengkhayalkan surga sebagai upaya menghilangkan rasa sakit yang mereka derita di dunia. Agama, dalam kondisi seperti itu, adalah lenguhan dari kaum yang tertindas. Melalui kebudayaan, kelas penguasa mengembangkan tradisi-tradisi yang mengekalkan terjadinya perpecahan kelas di dalam masyarakat seperti rasa cinta yang berlebihan terhadap ras, daerah, dan tanah air. Melalui moralitas, buruh tidak dibenarkan untuk mencuri hasil kerjanya sendiri dan mencemarkan nama baik perusahaan atau pabrik tempat dia mendapatkan sumber penghidupan, dan melalui ideologi kelas penguasa menanamkan kesadaran palsu kalau persaingan dan kerakusan adalah perilaku yang dibutuhkan untuk membangun peradaban manusia.

Berdasarkan ajaran Marx dan Engels tentang penciptaan kesadaran palsu tersebut. Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh bukan semata-mata disebabkan oleh tidak terikatnya mereka pada properti, tetapi disebabkan oleh terhegemoni atau tertipunya pikiran mereka. Dengan demikian, sekali lagi, penafsiran tentang penyebab ketiadaan kesadaran kelas di kalangan kaum buruh dari Jun Bramantyo tidak mendapatkan konfirmasi dari ajaran Marx dan Engels sendiri.

Dengan demikian, ketidakinginan kaum buruh untuk bersatu menjadi satu kelompok yang bernama kelas, dan ketidakpeduliannya terhadap politik, atau anti-politiknya kaum buruh, bukanlah watak mendasar yang tidak dapat diubah. Anti-politik di kalangan kaum buruh, berdasarkan ajaran Marx dan Engels, dapat diubah dengan cara menghancurkan kesadaran palsu yang mencengkram isi kepala mereka, membuka lebar-lebar mata mereka, dan menunjukkan kalau mereka saat ini sedang dalam kondisi tertindas, dan mereka dapat mengakhirinya. “Diam sekarang bukanlah emas, diam adalah tindakan membiarkan penindasan semakin merajalela”, begitu kira-kira kalimat yang seharusnya disampaikan kepada kaum buruh untuk membuka mata dan pikiran mereka. Dan, dengan demikian pula, tindakan-tindakan pengorganisasian buruh berbasiskan kelas bukanlah tindakan yang bodoh, naif, dan cacat sebagaimana dikatakan oleh Jun Bramantyo, melainkan tindakan-tindakan yang justru dapat membebaskan kaum buruh dari kesadaran palsu.

Pertanyaannya, bagaimana praksis pembebaskan kaum buruh dari kungkungan kesadaran palsu yang diciptakan oleh kelas penguasa, bagaimana membangkitkan kesadaran kelas, yakni kesadaran untuk berlawan? Berikut ini adalah jawabannya.

Karl Marx bukan hanya seorang penulis yang banyak menelurkan karya-karya revolusioner, dia juga seorang aktivis yang ikut berjuang bersama kaum buruh menumbangkan kaum penindas. Tema-tema karya yang ditulis oleh Marx bukanlah hasil perenungan Marx di puncak menara gading, melainkan refleksi dari perjuangannya bersama kaum buruh di ranah praksis.

Metode yang digunakan Marx dalam membebaskan kaum buruh dari belenggu kesadaran palsu adalah melakukan propaganda melalui media massa, dan turun mengorganisasi kaum buruh, menyatukan mereka dalam satu kelas, dan membangkitkan kesadaran kelas mereka untuk melakukan perlawanan. Untuk melakukan propaganda melalui media massa, Marx bergabung dengan Rheinische Zeitung (Buletin Rhein) pada tahun 1842. Di perusahaan koran itu, dia menjadi seorang jurnalis dan editor. Melalui aktivitas jurnalismenya, dia membongkar kebusukan penguasa yang mengabarkannya kepada publik melalui media massa. Hingga akhirnya, dia dan perusahaan koran tempatnya bekerja ditindas oleh penguasa Prusia. Walau mengalami penindasan, Marx tidak berputus asa, setelah menikah dengan Jenny von Westphalen yang telah bertunangan dengannya selama 7 tahun, dia pun pergi ke Paris untuk melanjutkan aktivitas propagandanya. Di Paris, aktivitas Marx dalam dunia propaganda semakin meningkat dan itu mendapat dukungan penuh dari istri tercinta, Jenny. Tidak berhenti berpropaganda, di Paris Marx bertemu dengan kaum buruh dan organisasi buruh revolusioner. Dari mereka Marx diperkenalkan dengan aktivitas revolusioner kaum buruh, dan pada saat itulah Marx menjadi seorang komunis hingga akhir hayatnya. Untuk memantapkan dirinya sebagai seorang komunis, propaganda yang dilakukan oleh Marx, tidak berhenti melalui kegiatan jurnalisme, dia, bersama Friedrich Engels, bergabung dengan organisasi revolusioner yang memperjuangkan nasib buruh, Liga Keadilan, yang nanti pada gilirannya, setelah Marx dan Engels bergabung, berubah namanya menjadi Liga Komunis. Melalui liga komunis, Marx turun ke bawah mengorganisasi kaum buruh, menjelaskan kepada mereka tentang teori-teori sosialisme-komunisme ilmiah kepada kaum buruh dengan bahasa yang mudah dicerna oleh kaum buruh, dan berupaya membebaskan kaum buruh dari belenggu kesadaran palsu dengan tujuan agar mereka dapat membangkitkan kesadaran kelas mereka untuk melakukan perlawanan terhadap kelas yang menindas mereka. Marx selalu mendorong kaum buruh melakukan perlawan terhadap penindas mereka dengan menggunakan senjata: aksi massa, pemogokan kerja, demonstrasi, dan teatrikal.

Semua kegiatan propaganda dan pengorganisasi kaum buruh itu, sebagaimana ditulis oleh Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman, adalah menggiring kaum buruh untuk bergerak melakukan perebutan kekuasaan atau merebut negara dari kaum penindas karena melalui perebutan kekuasaan kaum buruh dapat mendorong terciptanya masa transisi ke arah terbentukannya masyarakat tanpa kelas. “Setiap kelas yang mendominasi, bahkan apabila pendominasiannya dalam kasus ini adalah kaum buruh, akan mengarah pada penghilangan bentuk masyrakat lama, kriteria dominasi secara umum ini dilihat juga dari segi jumlahnya dan untuk mencapainya pertama-tama harus ada perebutan kekuasaan politik”,[11] tulis Marx dan Engels dalam karya Ideologi Jerman.

Perjuangan kaum buruh melalui organisasi revolusioner berbasiskan perjuangan kelas, berdasarkan ajaran Marx, bukanlah usaha yang sia-sia kerena hal itu adalah tuntutan sejarah bagi pembebasan kaum buruh dari belenggu penindasan. Terkait dengan hal ini, Marx pernah menulis dan mengirim surat kepada sahabatnya, Joseph Weydemeyer. Surat yang ditulisnya pada 5 Maret 1852 itu berisi tentang komentar Marx tentang tahapan perjuangan kelas, dan kediktatoran proletariat sebagai masa transisi yang sifatnya sementara.

Tidak ada keistimewaan yang layak kusandang hanya karena menemukan keberadaan dan pergulatan kelas-kelas di dalam masyarakat modern—masyarakat kapitalis. Jauh sebelum aku menemukannya, para sejarawan borjuis sudah menjelaskan tentang sejarah perjuangan kelas. Demikian pula dengan para ekonom borjuis, mereka juga telah menjelaskannya. Hal baru yang aku temukan dan jelaskan adalah:

Bahwa keberadaan kelas-kelas tersebut, tidak dapat tidak, terikat pada tahap-tahap kesejarahan tertentu dalam perkembangan produksi;

Bahwa perjuangan kelas pasti akan mengarah pada kediktatoran proletariat;

Bahwa kediktatoran itu sendiri mengandung makna: peralihan menuju penghapusan semua kelas dan peralihan menuju lahirnya masyarakat tanpa kelas.[12]

Tentang Otoritas

Jun Bramantyo tampaknya tengah mengalami keresahan ketika dia mempelajari Marxisme dan Anarkisme. Dia resah, karena baik Marxisme maupun Anarkisme dengan teori perebutan negara dan asosiasi sukarelanya akan membawa nalar otoritas ke wilayah konkret saat revolusi meletus. Tidak hanya resah, dia juga mengalami kebingungan untuk memilih Marxisme atau Anarkisme sebagai ideologi politiknya. Kebingungan itu, akhirnya dia sudahi dengan cara mengkombinasikan antara Marxisme dan Anarkisme dengan tidak hati-hati, dan ketidakhati-hatiannya itu dibuktikan oleh tidak terkonfirmasinya berbagai penafsiran yang dia lakukan terhadap ajaran Marx dan Engels dengan tulisan-tulisan Marx dan Engels sendiri. Selain itu, dalam rangka mendamaikan ajaran Marx dan Anarkisme, di satu sisi dia berupaya menafsirkan ajaran Marx agar sesuai dengan ajaran Anarkisme, namun di sisi lain dia mencampakkan inti dari ajaran Marx, yakni kesadaran dan perjuangan kelas. Dan, lebih celakanya lagi, pencampakan itu dilakukannya dengan cara memaksa Marx untuk menjadi seorang Anarkis. Berangkat dari situ, kesimpulan yang penulis peroleh dari hasil pembacaan argumen-argumen Jun yang dihamburkan di dalam buku yang ditulisnya adalah ini. Jun sebenarnya tidak berupaya mengkombinasikan ajaran Marx dan Anarkisme, tetapi mensinkretiskan ajaran Anarkisme dengan panafsiran subjektif Jun sendiri. Alih-alih dia ingin menjadi seorang Marxis beraliran Anarkis, namun akhirnya dia menjadi seorang Anarkis beraliran sinkretisme interpretasi Marxisme.

Jun rupa-rupanya menilai otoritas adalah tindakan yang jahat yang akan mensubordinatkan manusia dan memaksanya untuk mematuhi perintah. Penilaiannya yang negatif terhadap otoritas inilah yang kemudian menggiringnya untuk menolak politik Marxisme, politik revolusioner yang mengajarkan kepada kaum buruh untuk membangun kediktatoran proletariat melalui perebutan negara.

Pertanyaannya, apakah semua bentuk otoritas adalah jahat sehingga Jun alergi terhadapnya? Berikut ini, penulis akan menunjukkan ajaran tentang otoritas yang diberikan oleh sahabat dan kawan seperjuangan Marx, Friedrich Engels. Friedrich Engels menulis karya ini, An Authority, pada tahun 1873. Menurut penulis, karya ini masih tetap relevan di sajikan untuk meluruskan kesalahpahaman tentang otoritas hingga hari ini.

Friedrich Engels memberikan definisi otoritas sebagai bentuk dari pemaksaan kehendak dari satu pihak ke pihak lain, dan suatu kondisi yang menempatkan satu pihak berada di atas dan pihak lain berada di bawah (tersubordinasi). Dari definisi itu, kita dapat memahami bahwa otoritas artinya hubungan hierarki antara pihak yang diperintah dan yang menjalankan perintah, antara pihak yang berposisi sebagai pemimpin dan yang dipimpin, antara pihak yang memegang kendali dan yang dikendalikan, antara pihak yang memegang komando dan yang dikomando, dan antara pihak yang memegang kekuasaan dan pihak yang dikuasai.

Arti atau pemahaman yang dikandung oleh otoritas itulah, yang dinilai oleh sebagian orang, terutama oleh orang-orang di kalangan penganut ideologi Anarkisme, sebagai situasi yang buruk, dan membelenggu kebebasan manusia. Manusia dirantai tangan dan kakinya, tidak bebas, atau tidak merdeka.

Menurut Engels, otoritas tidaklah selalu buruk. Bahkan tanpa otoritas, sulit untuk mengembangkan peradaban manusia semakin maju dari waktu ke waktu. Lebih jauh, Engels menunjukkan bukti kalau otoritas adalah suatu hal yang tidak selalu buruk melalui contoh-contoh konkret berikut ini:

Dengan semakin berkembangnya teknologi dan alat-alat produksi, kerja manusia secara invidu—suatu proses produksi yang terpisah dengan proses produksi lainnya—sudah semakin hilang kerelevansiannya. “Industru modern, dengan pabrik-pabrik besarnya, yang menempatkan ratusan buruh sebagai operator mesin-mesin yang kompleks, yang dijalankan dengan tenaga uap, telah menggantikan bengkel-bengkel kecil yang dikerjakan oleh produsen-produsen yang saling terpisah antarsatu sama lain. Bahkan, pertanian semakin didominasi oleh mesin dan uap, yang dengan perlahan namun pasti dan tanpa kompromi menyingkirkan para individu petani kecil, dan menghadirkan kapitalis-kapitalis besar yang mempekerjakan buruh-buruh untuk menggarap pertanian yang sudah ditinggalkan oleh individu-individu petani kecil itu”, tulis Engels dalam karyanya, An Authority. Lebih jauh, Engels menulis:

Andaikata sebuah revolusi sosial berhasil menumbangkan kelas kapitalis, yang sekarang memiliki otoritas terhadap alat-alat produksi dan sirkulasi kekayaan. Andaikata, dengan mengadopsi sudut pandang kaum anti-otoritas (kaum Anarkis, pen.) secara keseluruhan, tanah dan alat produksi telah menjadi properti kolektif dan dikerjakan secara kolektif oleh kaum buruh. Apakah otoritas akan menghilang, atau apakah dia hanya akan berbuah bentuk? Mari kita uji.

Mari kita ambil contoh sebuah pabrik pemintal kapas. Kapas harus melewati setidaknya enam proses produksi berturut-turut sebelum dia menjadi benang, dan proses-proses produksi ini dilakukan sebagian besar di ruang-ruang terpisah. Terlebih lagi, untuk menjaga jalannya mesin-mesin kita membutuhkan seorang teknisi untuk mengawasi mesin uap, mekanik untuk memperbaiki mesin tersebut, dan banyak buruh lainnya yang pekerjaannya adalah memindahkan produk-produk dari satu ruang ke ruang yang lain, dan seterusnya. Semua buruh ini, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, harus memulai dan mengakhiri kerja mereka pada wakty yang telah ditentukan oleh otoritas masin uap, yang tidak mempedulikan kebebasan individual. Maka dari itu, para buruh harus pertama-tama memahami waktu kerja; dan waktu ini, setelah mereka ditentukan, harus dipatuhi oleh semua buruh, tanpa ada pengecualian. Dari sini, bila ada masalah yang timbul di satu ruang produksi dan pada setiap saat mengenai cara produksi, distribusi barang, dan lain-lain, yang harus diselesaikan oleh keptuusan dari seorang delegasi yang dipilih di setiap cabang produksi, atau jika memungkinkan diselesaikan dengan keptusan mayoritas, kehendak seoran gindividu harus selalu tunduk, yang berarti bahwa masalah tersebut diselesaikan dengan cara yang otoriter. Mesn-mesin otomatis di pabrik besar jauh lebih depostik ketimbang kapitalis-kapitalis kecil, Setidakna berhubungan dengan waktu kerja, kita dapat menulis di pintu masuk pabrik-pabrik ini: Lasciate agni autonomia, voi che entrante! (kalian yang masuk ke sini, tinggalkan semua kebebasan anda!).

Bila manusia, dengan menggunakan pengetahuan dan kejeniusan mereka, telah menundukkan kekuatan alam, maka yang belakangan ini membalas dendam dengan menundukkan manusia di bawah despotisme yang independen dari semua organisasi sosial, selama manusia menggunakan kekuatan alam ini. Ingin menghapus otoritas di dalam industri skala besar berarti ingin menghapus industri itu sendiri, menghancurkan mesin tenun untuk kembali ke pemintalan tangan.

Mari kita ambil contoh yang lain—rel kereta api. Di sini juga kerja sama dari banyak individu sangat dibutuhkan, dan kerja sama ini harus dilakukan dengan ketepatan waktu yang ketat supaya kecelakaan tidak terjadi. Di sini, juga, syarat pertama dari pekerjaan ini adalah sebuah kehendak yang dominan yang akan menyelesaikan semua masalah sekunder, biak kehendak ini diwakilkan oleh seorang delegasi atau sebuah komite yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan keputusan-keputusan dari mayoritas orang yang terlibat. Dalam kedua kasus ini, ada sebuah otoritas yang sangat jelas. Terlebih lagi, apa yang akan terjadi pada sebuah kereta api bila otoritas pekerja kereta api atas para penumpang yang terhormat dihapuskan?

Pentingnya otoritas dapat kita temui di atas sebuah kapal laut di tengah samudra. Di sana, pada saat kapal sedang dalam bahaya, nyawa dari semua penumpang tergantung pada kepatuhan dari semua penumpang pada kehendak satu orang.

Terkait dengan otoritas di bidang politik, Engels menulis:

Semua kaum sosialis setuju bahwa negara, dan dengannya otoritas politik, akan menghilang sebagai hasil dari revolusi sosial yang di masa depan, yakni fungsi-fungsi publik akan kehilangan karakter politiknya dan akan diubah menjadi sekedar fungsi-fungsi administratif untuk mengawasi kepentingan sejati dari seluruh masyarakat. Tetapi, kaum anti-otoritas (kaum Anarkis, pen.) menuntut negara dihapuskan dalam satu mamal, bahkan sebelum kondisi seosial yang melahirkan negara dihancurkan. Mereka menuntut bahwa tindakan pertam adari revolusi sosial adalah penghapusan otoritas. Apakah orang-orang yang terhormat ini tidak pernah menyaksikan revolusi? Sebuah revolusi adalah hal yang paling otoritas; sebuah revolusi adalah satu tindakan  yang menempatkan sebagian populasi memaksakan kehendaknya pada sebagian populasi lainnya dengan senapan, bayonet, dan meriam—yakni cara yang otoriter; dan bila ihak yang memang tidak ingin berjuang sia-sia, maka dia harus mempertahankan kekuasaannya dengan meneror kaum reaksioner melalui senjatanya. Dapatkan Komune Paris bertahan satu hari bila dia tidakmenggunakan otoritas rakyat bersenjata melawan kaum borjuis? Sebaliknya, tidakkan kita seharusnya mengeritik Komune Paris karena mereka tidak menggunakan otoritasnya dengan penuh?

… kaum anti-otoritas tidak tahun apa yang sedang mereka bicarakan, dalam hal ini mereka hanya menciptakan kebingungan; atau mereka tahu apa yang sedang mereka bicarakan, dan dalam hal ini mereka mengkhianati gerakan kaum buruh. Biar bagaimana pun, mereka membantu kaum reaksioner.[13]

Berdasarkan tulisan dari Friedrich Engels, yang penulis kutip tersebut, kita dapat mengomentari usulan dari Jun untuk menghancurkan negara dan melompat ke kondisi masyarakat tanpa kelas dengan komentar seperti ini. Sebagaimana yang dikatakan Engels tersebut, penghancuran negara sebenarnya merupakan tindakan yang paling otoriter, despotik, dan bentuk dari otoritas penuh (pemaksaan kehendak). Dengan dihancurkannya negara, kelas pemilik modal yang masih memiliki kendali terhadap kesadaran palsu dan kemampuan ekonomi akan mudah untuk kembali lagi menegakkan kepentingannya apabila mereka tidak ditindas. Namun, kalau mereka ditindas, hal itu bertentangan dengan ajaran Anarkisme itu sendiri, yang menentang secara membuta segala bentuk penindasan dan otoritas.

Dengan demikian, penghancuran negara dan pembangunan masyarakat tanpa kelas melalui kediktatoran proletarian usulan dari Jun tersebut sarat dengan contradictio in terminis—bertentangan dengan ketentuan dan tujuan yang ingin dicapai ideologi Anarkis: Penciptaan masyarakat tanpa kelas, hierarki, dan otoritas.

____________________
Ismantoro Dwi Yuwono
Aktivis dan Pengelola Penerbit Paragraf

DAFTAR PUSTAKA

David Fernbach, Revolusi [Borjuis] 1848 dan Perkembangan Pemikiran Karl Marx, October Light 1917, Yogyakarta, 2017.

Friedrich Engels, Otoritas: Kritik terhadap Ajaran Kaum Anarkis tentang Otoritas, Paragraf, Yogyakarta, 2019.

Jun Bramantyo, Mitos Merebut Negara: Gagasan Pollitik anti-Politik dan Senjakala Perjuangan Kelas, Penerbit Independen, Yogyakarta, 2019.

Karl Marx dan Friedrich Engels, Ideologi Jerman: Jilid 1, Pustaka Nusantara, Yogyakarta, 2013.

Jurnal Kiri Tahun 1, No. 1, Juli 2000, Kelas, Perjuangan Kelas, Neoliberalisme, Neuron, Tanpa Nama Kota, 2000.

Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, Bandung, 2015.

____________________________

[1] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 38.

[2] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 29.

[3] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 70.

[4] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 28.

[5] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 5, 11, 21, 31, dan 80—81.

[6] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 10.

[7] Jun Bramantyo, Ibid. Halaman 31—32.

[8] Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, Bandung, 2015. Halaman 29.

[9] Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, Bandung, 2015. Halaman 29.

[10] Karl Marx dan Friedrich Engels, Ideologi Jerman. Jilid 1, Pustaka Nusantara, Yogyakarta, 2013. Halaman 55.

[11] Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Doug Lorimer, Tentang Manifesto Partai Komunis, Jurnal Kiri Tahun 1, No. 1, Juli 2000. Halaman 88.

[12] David Fernbach, Ibid. Halaman 29.

[13] Friedrich Engels, Otoritas: Kritik terhadap Ajaran Kaum Anarkis tentang Otoritas, Paragraf, Yogyakarta, 2019. Halaman 5—7.

Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?