Deskripsi
Agama bukan untuk dibicarakan. Apalagi dibicarakan cuma dalam bahasa kata. Ia laksana napas bagi awam yang senantiasa bernapas tanpa membicarakannya. Kitab suci diturunkan bukan untuk dipenjara dalam bahasa kata. Agama dan kitab suci dihadirkan Tuhan untuk disejiwai dan disebadani oleh seisi alam dengan berbagai macam bahasa—bahasa lukisan, bahasa musik, bahasa aroma, dan lain-lain bahasa bahkan bahasa keheningan—bukannya diributkan dalam perkelahian persepsi dan cuma dalam bahasa kata. Tapi, amit-amit, fakta yang jamak berlangsung kini malah: Agama dimonopoli golongan tertentu, lalu Tuhan ditunggangi untuk melegitimasi syahwat politik berkedok agama, bersenjatakan tusukan bahasa kata-kata di atas mimbar. Pesan-pesan miris inilah yang dihadirkan Sujiwo Tejo dan Dr. Muhammad Nursamad Kamba dalam sekuel Tuhan Maha Asyik ini.
Kritik dalam buku ini, seperti edisi sebelumnya, dibangun dengan arif. Hadir melalui kisah-kisah lincah tentang kemerdekaan berpikir ala bocah-bocah yang nama-namanya mewakili berbagai keyakinan, seperti Christine, Parwati, Dharma, Samin, Kapitayan, Buchori, dan Pangestu, yang diimbangi kearifan Bu Guru Matematika dan Pak Guru Biologi dalam “angon” murid-muridnya yang sangat independen itu. Dan, ditutup dengan hikmah tentang kasih sayang Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Tuhan adalah Kebaikan Absolut. Ia senantiasa mencipta tanpa jeda, sebagai wujud cinta pada makhluk-makhluk yang bersedia takluk pada kasih dan sayang-Nya. Cinta Tuhan tak terbatas ruang dan waktu. Dia Maha Asyik Sekali—sejauh manusia tidak kurang ajar, dengan nekat mempersepsikan-Nya, yang ujung-ujungnya malah mengajak Dia ribut.
Ulasan
Belum ada ulasan.