Resensi Buku

Pengiblisan Makna “Penyihir” dan “Gosip” oleh Kekuatan Modal

Kapitalisme kerapkali berteman baik dengan budaya patriarki, tak ayal jika perempuan sekarang terus mengalami peminggiran, dengan menempatkan jenis kelamin lelaki lebih superior dibanding perempuan. Lihat saja saat ini, pengambil keputusan dan kebijakan umumnya diambil oleh laki-laki. Begitu pula dalam agenda kehidupan kemasyarakatan, laki-lakilah yang mendominasi, sementara perempuan terdomestikasi. Oleh budaya patriarki, perempuan ideal digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami, menjalankan peran pada pekerjaan domestik, dan melahirkan anak. Kepatuhan dan domestikasi apa benar sebagai takdir perempuan?

Dalam hal ini, Silvia Federici seorang feminis sosialis yang berasal dari Italia, melakukan penelitian historis untuk memahami sejak kapan perempuan dikontrol tubuhnya dan kondisi politik apa yang melatarbelakangi hal itu?

Dalam bukunya berjudul Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation, Federici mengulas tentang adanya pengadilan penyihir yang digunakan sebagai alat untuk mengontrol tubuh perempuan dan mempercepat perkembangan kapitalisme pada masa transisi antara feodalisme menuju kapitalisme. Perempuan dijadikan target utama persekusi karena merekalah yang paling terdampak kemiskinan akibat kapitalisasi kehidupan ekonomi sehingga melahirkan populasi pengemis dan gelandangan yang menjadi ancaman tatanan kapitalis yang sedang berkembang.

Persekusi terhadap perempuan dengan tuduhan sebagai penyihir jahat dilakukan untuk mengurangi hambatan dan melancarkan proses perkembangan awal kapitalisme. Lebih dari 600 ribu orang yang menjadi korban, 85% diantaranya adalah perempuan dan semuanya berasal dari kelas bawah. Mereka ditangkap dan dieksekusi, ada yang melalui proses pengadilan dan juga banyak yang tidak. Melalui siksaan yang kejam dengan cara diikat rantai besi lalu dibakar dalam kobaran api.

Buku-buku Studi Kritis tentang Perempuan, dapat dipesan DI SINI

Lalu di buku terbarunya “Perempuan dan Perburuan Penyihir” (2020), Silvia Federici secara lebih gamblang menjelaskan tentang perburuan penyihir pada abad ke-16 dan perburuan serupa yang terjadi di abad ke-20.

Dalam buku tersebut, Federici menunjukan bahwa istilah penyihir (witch) tidak seperti yang kita kenal dan ketahui saat ini, bahwa penyihir digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang jahat nan menakutkan. Istilah penyihir mengalami peyorasi. Semula istilah penyihir merujuk pada perempuan petani yang juga seorang tabib (dukun beranak) yang membantu perempuan lain dalam persalinan atau pengguguran kandungan. Mereka dikenal memiliki kekuatan supranatural. Sehingga perempuan memiliki peran sosial yang berpengaruh karena dianggap memiliki kontrol atas reproduksi perempuan dan penguasaannya terhadap pengetahuan alam.

Federici memberikan dua titik fokus dalam bukunya mengapa perburuan penyihir ini penting untuk kembali dibahas. Demonisasi atau pengiblisan terhadap makna “penyihir” memiliki dasar yang sangat politis, hingga akhirnya pemaknaan tersebut memberi legitimasi terhadap pembantaian ribuan perempuan. Pertama, hubungan antara perburuan penyihir dan proses pemagaran (enclosure) serta privatisasi tanah kontemporer.

Pemagaran tanah adalah pemicu utama terjadinya perburuan penyihir. Bagaimana tidak, tanah yang semula bersifat komunal, kemudian diprivatisasi menjadi usaha komersial. Hingga akhirnya lambat laun perempuan termarjinalkan, karena sebelumnya mereka punya hak garap terhadap tanah komunal tersebut. Secara tidak langsung upaya pemagaran tanah atau pemberian batas atas tanah komunal mengakhiri hak-hak adat dan mengusir petani, serta penghuni liar yang bergantung pada tanah untuk keberlangsungan hidupnya (hal. 20).

Akibat pemagaran, para perempuan kehilangan akses mereka atas sumber penghidupan, yaitu tanah. Para perempuan tua kemudian menentang tindakan tersebut, karena mereka masih mewarisi ingatan komunalisme dan tak akan bisa apa-apa ketika tanah sebagai sumber penghidupan mereka telah dirampas. Sebagai bentuk perlawanan, mereka menyebarkan hasutan kepada warga lain tentang ketidakadilan yang dilakukan penguasa dan tuan tanah, serta melakukan berbagai ancaman dan melempatkan tatapan mencela kepada yang telah tidak adil kepadanya (hal. 27).

Fokus Kedua, hubungan antara perburuan penyihir dan peningkatan pembatasan tubuh perempuan melalui perluasan kontrol negara atas seksualitas perempuan dan kapasitas reproduksinya.

Di Bab I dan Bab II, buku “Perempuan dan Perburuan Penyihir” menjelaskan tentang hubungan persekusi perempuan dari Abad 14 hingga Abad 16 di Eropa yang dibenturkan dengan permasalahan marjinalisasi perempuan penyihir dengan konteks kondisi ekonomi politik di abad ke 21.

Lalu Federici mempertegas bagaimana peran negara dan agama turut serta melanggengkan desakan kapitalisme awal untuk menjadikan perempuan sebagai pemain cadangan dengan argumennya tentang gosip. Jika kita mau menilik lebih dalam, makna gosip tidak seperti yang kita dengar sekarang. Gosip pada masanya memiliki kekuatan politis yang sangat kuat. Gosip sebagai senjata perlawanan politik perempuan terpinggirkan yang dilakukan dalam upaya melawan ketidakadilan yang dialami perempuan dan memperkuat solidaritas di antara mereka.

Buku “Perempuan dan Perburuan Penyihir” dapat dipesan DI SINI

Pada perkembangannya makna gosip ini diplintir. Para perempuan akan dibawa ke pengadilan dan didenda karena telah “mengomel atau menghardik (menggosip)”. Para ulama/rohaniawan mengutuk lidah mereka. Upaya pendisiplinan ini gencar dilakukan, hingga pada tahun 1547 sebuah pengumuman dikeluarkan untuk melarang perempuan saling bertemu, mengobrol, dan berbicara, dan memerintahkan suami untuk menjaga istrinya di rumah (Louis B. Wright: 1965). Selain istilah penyihir, demonisasi istilah gosip sangat kental tujuan politiknya, yaitu untuk mengontrol dan mendisiplinkan perempuan.

Federici dalam buku ini membangun argumen dengan sangat memukau. Buku ini memberi banyak kejutan demi kejutan yang jarang ditemukan sebelumnya, baik tentang demonisasi istilah “penyihir” juga pemelintiran istilah “gosip.” Perempuan yang acap kali menjadi korban, melalui buku Federici ini, memberi penyegaran atas pemahaman yang lama usang terhadap peran sosial perempuan sebenarnya, dan mampu mendobrak tatanan konseptual yang mungkin terbentuk di kepala kita, yaitu pemikiran patriarkis dan turut mereproduksi gagasan serta tindakan untuk mengontrol perempuan. Melalui buku ini, Federici memberi kita peringatan dan kewaspadaan, agar peristiwa “perburuan penyihir” yang telah menundukan perempuan tidak terjadi lagi.

Judul Buku: Perempuan dan Perburuan Penyihir
Penulis: Silvia Federici
Penerbit: Penerbit Independen (PIN)
Penerjemah: Linda Sudiono dan Nolinia Zega
Tebal: xxiv + 158 Halaman
Tahun Terbit: Juni 2020

____________________
Ali Yazid Hamdani
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?