Pendidikan atau Kepengaturan?: Tinjauan terhadap Visi Link and Match dalam Kerangka Neoliberalisasi Pendidikan di Indonesia
Globalisasi sebagai fenomena yang kerap disebut dimana-mana, baik sebagai ancaman, tantangan, atau bahkan keuntungan, kerap kali didefinisikan secara rancu. Yang kerap menjadi perhatian ketika berbicara tentang globalisasi adalah respon dari masyarakat lokal menghadapi perubahan. Namun Graeber (2002) menunjukkan bahwa ada fakta universal dalam globalisasi yakni the world market (pasar dunia), termasuk di dalamnya adalah neoliberalisme. Dengan melihat globalisasi sebagai bagian dari neoliberalisme, analisis mengenai globalisasi bisa digeser sehingga tidak terbatas pada masalah respon masyarakat lokal, melainkan membicarakan globalisasi sebagai suatu fenomena global utuh yang perlu dikritik.
Bentuk analisis mengenai fenomena neoliberalisme dalam globalisasi misalnya dilakukan oleh Ganti (2014). Salah satu yang menarik dari analisis tersebut adalah menempatkan neoliberalisme sebagai suatu rezim kepengaturan. Dalam neoliberalisme, individu menjadi objek disiplin yang harus mengikuti pasar bebas yang menjadi acuan dari neoliberalisme. Pasar bebas yang dianggap mendukung kebebasan individu mendisiplinkan individu untuk harus bisa bersaing. Kepengaturan ini jelas bertentangan dengan pendapat-pendapat pendukung neoliberalisme yang menyatakan bahwa neoliberalisme akan memaksimalkan individu.
Kepengaturan tersebut tentu memiliki fungsi. Sebagai suatu sistem neoliberalisme memiliki sisi ideologis yang menunjukkan kepengaturan yang memproduksi individu-individu yang cocok dengan pasar bebas. Salah satu bentuk konkretnya adalah visi link and match dari Menteri Pendidikan. Kecocokan yang berusaha diwujudkan tentu kecocokan dengan industri. Pendidikan sudah sejak lama dinyatakan sebagai teknologi kepengaturan tetapi visi link and match menunjukkan secara jelas target kepengaturan yang berusaha dicapai.
Pertama-tama perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai kepengaturan yang oleh Ganti (2014) sangat dipengaruhi oleh konsepsi Foucault mengenai governmentality (kepengaturan). Kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai hal yang sentralistik dan muncul dalam berbagai relasi kuasa. Pergeseran dari metode hukuman menjadi kepengaturan karena metode hukuman tidak lagi dianggap efektif sementara kepengaturan justru membuat individu dapat kembali ke masyarakat. Kepengaturan membutuhkan suatu standar sebagai target yang dituju melalui proses kepengaturan.
Proses kepengaturan nyatanya tak ubah dengan standarisasi dan normalisasi. Kepengaturan mengonstruksi subjek untuk ideologi tertentu, yang dalam konteks zaman sekarang adalah neoliberalisme atau ideologi pasar. Pergeseran dari hukuman ke kepengaturan disebabkan karena adanya krisis ekonomi yang membuat hukuman menjadi tidak ekonomis dan irasional. Metode kepengaturan berfungsi untuk mengintegrasikan individu ke pasar untuk tujuan ekonomi. Inilah kondisi yang, oleh Althusser (1971) disebut sebagai reproduksi ideologi dengan memanfaatkan aparatus-aparatus negara. Althusser sendiri secara eksplisit menyebut salah satu contohnya adalah sekolah.
Buku-buku tentang Pendidikan Kritis atau Pendidikan Alternatif, dapat dipesan DI SINI
Robet & Tobi (2017) menyebut setiap praktik kepengaturan, standarisasi, maupun normalisasi subjek selalu menyiratkan adanya Sang Liyan yakni subjek-subjek yang tidak sesuai standar, tidak disiplin, dan tidak normal, serta kedudukan yang hierarkis. Identifikasi tersebut berasal dari pihak luar yakni kekuasaan negara. Meski begitu, kepengaturan berada dalam berbagai tataran dengan menggunakan berbagai relasi kuasa. Mekanisme kepengaturan bergerak bolak-balik dari individu ke sistem. Walaupun pengaturan individu tersebut tidak terjadi secara sentralistis secara otoriter namun kepengaturan tetap berjalan sesuai dengan kepentingan ideologi sebagai conduct of conduct.
Neoliberalisme, sebagai fenomena yang terjadi dalam globalisasi, menunjukkan dimensi pengaruh global dalam tataran ideologi. Ideologi neoliberalisme pada era sekarang ini masih merupakan kelanjutan dari kapitalisme sebagai bentuk dari pengutamaan akumulasi kapital yang meletakkan individu sebagai bagian dari mode produksi untuk menghasilkan kapital. Namun Graeber (2006) melihat ada permasalahan dalam pendekatan mode produksi yang digunakan selama ini yang fokus pada produksi aspek-aspek material. Terdapat aspek yang luput dari analisis ini yakni bahwa kapitalisme yang mengglobal sudah tidak lagi menciptakan materi tetapi juga production of people.
Pendekatan mode produksi yang materialistik tersebut pada dasarnya memang tidak sesuai dengan pernyataan Marx mengenai mode produksi. Permasalahan kapitalisme dan mode produksi terletak pada relasi-relasi sosial, bukan hanya material. Graber menunjukkan bahwa Marx sudah menegaskan production of people dalam The German Ideology. Proses produksi materi selalu berjalan bersamaan dengan relasi sosial dan production of people. Individu terus berada dalam proses production of people ini sejak lahir sampai mati. Ini juga menepis pendekatan mode of production dengan menggunakan infrastruktur dan suprastruktur karena pada dasarnya aspek ideologi terjadi beriringan dengan produksi materi, bukan berdiri secara hierarkis. Analisis tersebut justru menimbulkan luputnya production of people.
Production of people yang dinyatakan oleh Graeber (2006) sejalan dengan pendapat Ganti bahwa neoliberalisme memiliki aspek governance yang bertujuan mengatur individu. Produksi individu yang sesuai dengan kebutuhan pasar adalah bentuk dari neoliberalisme yang dilakukan secara halus melalui kepengaturan. Globalisasi dan kepengaturan sama-sama memiliki posisi untuk melakukan penetrasi pemahaman terhadap berbagai unit-unit sosial tanpa disadari sang objek. Clammer (2017) menyatakan bahwa globalisasi mampu mengkolonisasi lebih luas berbagai aspek kehidupan seperti berbagai bentuk konsumerisme dan budaya populer. Namun terdapat sedikit perbedaan karena globalisasi tidak hanya menciptakan individu-individu konsumtif tetapi juga individu-individu produktif. Tetapi Clammer tepat saat mengatakan bahwa globalisasi memberi kesempatan kapitalisme untuk melakukan kolonisasi terhadap aspek-aspek yang lebih luas.
Konsep link and match adalah visi untuk mengarahkan individu melalui pendidikan menjadi terdidik sesuai dengan keperluan industri. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim bahkan menyatakan bahwa pendidikan akan diarahkan untuk link and match antara industri dan institusi pendidikan. Di kesempatan lain, Nadiem menyatakan bahwa kekurangan Indonesia adalah SDM yang tertinggal dari negara-negara lain, terutama dalam soal produktivitas kerja. Ia mencontohkan ketidakmampuan tenaga kerja Indonesia untuk mengikuti produktivitas kerja di Jepang.
Di sini pasar dan industri menjadi penentu keberhasilan pendidikan. Indikator-indikator yang digunakan tidak lagi berasal dari pendidikan itu sendiri tetapi dari luar, yakni industri. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, standarisasi berasal dari pihak luar yang punya kepentingan. Hasilnya adalah kedudukan yang hierarkis tergantung dengan seberapa cocoknya individu dengan industri. Globalisasi memberikan logika perbandingan transnasional yang membuat individu di Indonesia tidak cukup hanya bersaing dengan individu-individu di Indonesia tetapi terlibat dalam persaingan skala global. Dalam logika link and match, pendidikan adalah aparatus untuk mengatur individu untuk bisa menjadi tenaga kerja (labor) yang “baik”.
Melalui ini maka dibutuhkan sosok-sosok sebagai teladan yang “baik” untuk dicontoh. Sebaliknya, individu yang tidak sesuai dengan industri dianggap gagal. Ini didasarkan dengan standarisasi mengenai produktivitas dan juga kepengaturan yang membentuk individu untuk saling bersaing. Logika persaingan ini akan membuat berbagai permasalahan hanya berada dalam tataran individu. Persaingan tersebut tidak lain untuk kepentingan kapitalisme untuk mengeksploitasi labor.
Eksploitasi labor merupakan salah satu fondasi dari kapitalisme. Neoliberalisme pun sama. Proses eksploitasi itu hanya dapat terjadi jika labor dapat diabstraksi dengan ukuran tertentu yang konkret, yakni upah (wage). Upah menjadi teknologi eksploitasi yang digunakan kapitalisme. Abstraksi ini memungkinkan labor dieksploitasi dalam “kenormalan”. Ini menjadikan wage labor sebagai hasil transformasi dari perbudakan. Wage labor tidak hanya bayaran yang diperoleh dari seseorang tetapi terdapat hubungan tuan-budak. Ada hierarki dalam relasi dan hubungan yang terjadi sebenarnya berupa penindasan.
Sistem upah dapat berjalan lancar tanpa pertentangan karena sistem upah bekerja dalam kebebasan individu, namun kebebasan tersebut hanya sekadar untuk “menjual” tenaga mereka sebagai labor. Dalam terbentuknya prekariat, misalnya, kebebasan justru memperparah eksploitasi karena fleksibilitas yang tampak seperti kebebasan bagi bekerja menyembunyikan eksploitasi yang lebih parah. Prekariat tidak memiliki kontrol terhadap waktu mereka, terutama waktu kerja mereka. Contohnya adalah skema sharing economy dengan model kerja yang fleksibel seperti pada pekerja kreatif yang dituntut bekerja setiap waktu. Selain eksploitasi lebih parah, solidaritas antar pekerja berkurang. Dalam kasus transportasi daring, justru terjadi konflik horizontal antar pekerja.
Pendidikan dengan visi link and match hanya mengarahkan pada eksploitasi melalui wage labor seperti di atas. Di era sekarang, link and match juga mengarahkan individu sebagai pekerja kepada bentuk kapitalisme yang mutakhir seperti neoliberalisme, sharing economy, dan platform capitalism. Eksploitasi dalam kapitalisme akan selalu terjadi dan pengarahan peserta didik pada industri hanya akan membuat mereka mengantri untuk dieksploitasi.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 1979. “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation)”, dalam Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press
Clammer, John. “What (if anything) can economic anthropology say to neoliberal development? Toward new anthropologies of capitalism and its alternatives”, Dialectical Anthropology, 41(2): 97-112
Ganti, Tejaswini. 2014. “Neoliberalism”, Annual Review of Anthropology, 43: 89-104
Graeber, David. 2002. “The Anthropology of Globalization (With Notes on Neomedievalism, and the End of the Chinese Model of the Nation-State)”, American Anthropologist, 104(4): 1222-1227
Graeber, David. 2006. “Turning Modes of Production Inside Out or, Why Capitalism is a Transformation of Slavery”, Critique of Anthropology 26(1): 61-85
Izzati, Fatimah Fildzah. 2018. “Kata Pengantar”, dalam Coen Husain Pontoh (Ed.), Buruh, Feminisme, Media Digital, dan Demokrasi: Sebuah Kumpulan Wawancara. Tanpa kota: IndoProgress
Prabowo, Haris. 2019. Nadiem Makarim: Pendidikan Harus Link and Match dengan Industri. Diakses terakhir pada 26 Desember 2019 dari tirto.id
Robet, Robertus dan Hendrik Boli Tobi. 2017. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. Tangerang Selatan: Marjin Kiri
S., Lidya Julita. 2019. Buka-Bukaan Menteri Nadiem Soal Orang RI: Kurang Gesit!. Diakses terakhir pada 26 Desember 2019 dari cnbcindonesia.comStanding, Guy. 2014. “Precariat”, Contexts, 13(4): 10-12
__________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta
________________________________
Jika kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.
Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.