Resensi Buku

Seni Bertani Ala Chayanovian: Lebih Relevan Analisis Kelas atau Analisis Demografis?

Judul : Petani Dan Seni Bertani: Maklumat Chayanovian
Penulis : Jan Douwe Van Der Ploeg
Penerbit : Insist Press, 2019.
Tebal : xxiv + 226 halaman.

Salah satu cara petani mengatasi masalah produktivitas sawah atau kebun yang menurun adalah, mengganti jenis tanamannya. Misalnya, menanam padi selama tiga kali berturut turut dalam setahun, diubah menjadi menanam padi yang setelah panen diselingi dengan tanaman kedelai atau kacang tanah. Dampaknya, produktivitas sawah saat ditanami padi kembali meningkat. Cara bertani seperti ini juga banyak digunakan di Bantaeng, Sulawesi Selatan—mungkin juga di daerah lain. Alasannya dapat berbeda, bisa faktor musim atau cuaca, ada juga yang memang sengaja mengganti padi dengan tanaman lain.

Menggunakan cara bertani seperti padi-kacang-padi atau lainnya, ternyata juga membuat hama seperti wereng setidaknya tidak berkembang biak. Jadi, padi tidak terserang wereng secara terus menerus. Dalam hal memberantas hama, petani juga sering menggunakan cara-cara yang tidak tersedia dalam buku-buku cara bertani modern, misalnya untuk memberantas tikus sawah, kadang mereka menggunakan tanaman yang tersedia di sekitar kebun, ketimbang membeli racun tikus yang kian hari makin tidak mempan memberantas tikus.

Keterampilan petani, seperti mengganti tanaman dan memberantas hama adalah sebuah seni bertani. Dalam hal ini, petani menjadi otonom, ia yang menentukan apa yang harus ditanam atau dilakukan. Menurut Van Der Ploeg, seni bertani adalah sebuah rangkaian proses pembentukan ulang keseimbangan-keseimbangan dalam usaha tani petani. Bagi Ploeg, yang menggunakan pandangan dari Chayanov, petani adalah orang yang penuh dengan pertimbangan dalam bertani. Walau sekarang para petani terikat dengan skema kapitalisme, petani memiliki cara produksi yang sering kali bertentangan dengan kapitalisme itu sendiri. 

Jan Douwe Van Der Ploeg dalam bukunya “Petani Dan Seni Bertani: Maklumat Chayanovian” membahas pandangan Chayanov dengan menambahkan beberapa pembaruan. Bagi Chayanov, keseimbangan-keseimbangan dalam usaha tani petani membentuk seni bertani dan usaha tani. Chayanov juga membantah pandangan Lenin tentang diferensiasi kelas. Baginya, yang ada adalah diferensiasi demografis dan itu dipengaruhi oleh berbagai keseimbangan dalam usaha tani. 

Terdapat dua keseimbangan utama menurut Chayanov yang dikutip oleh Ploeg. Pertama, keseimbangan tenaga kerja dan konsumen, yaitu hubungan antara kebutuhan konsumsi keluarga dengan angkatan kerja. Dengan kata lain, keseimbangan ini merujuk pada jumlah tenaga kerja dan jumlah perut yang butuh makan dalam keluarga. Keseimbangan ini dalam arti luas berarti total produksi pertanian termasuk yang dijual dan total konsumsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga—termasuk kebutuhan yang dibeli di pasar menggunakan uang hasil penjualan produksi.

Kedua, keseimbangan antara faedah dan jerih payah, yaitu kerja ekstra yang dibutuhkan untuk meningkatkan total produksi. Meningkatnya total produksi berarti menjadi keuntungan—apa pun bentuknya—yang dihasilkan dari kerja ekstra, adalah bentuk “faedah.” Keseimbangan ini merujuk pada sisi pekerja individu dalam keluarga petani, bukan pada keluarga petani secara umum.

Keseimbangan lain yang dikemukakan oleh Ploeg—namun saling terkait satu sama lain—misalnya, keseimbangan antara produksi dan reproduksi. Reproduksi dalam hal ini adalah pembaruan modal agar usaha tani petani terus berlanjut. Dalam perkembangan terkini, reproduksi kian menjauh dari usaha tani dan digiring ke arah agroindustri—objek, peralatan, dan petunjuk kerja disediakan oleh industri. Di sini, Ploeg menyatakan bahwa keseimbangan ini memang gampang goyah dan dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya ketergantungan dengan pasar. Namun, faktor internal juga sering mempengaruhi, misalnya, degradasi lahan, dan keinginan petani mengejar keuntungan.

Keseimbangan lainnya adalah keseimbangan antara manusia dan alam yang hidup; keseimbangan antara sumber daya eksternal dan internal; otonomi dan ketergantungan; dan keseimbangan antara skala dan intensitas. Ikatan setiap keseimbangan tersebut, menurut Ploeg, merupakan tumpuan hadirnya usaha tani petani yang memberikan beragam ekspresi. Seni Bertani adalah pengembangan usaha tani beserta elemen pembentuknya melalui pertimbangan matang dan strategis yang tidak memisahkannya dari lingkungan ekonomi politik.

Kritik terhadap Pendekatan Chayanovian

Tapi, benarkah tidak ada diferensiasi kelas dalam petani? Ploeg pada pembahasan tentang keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan menyatakan bahwa pendekatan Chayanovian tidak menyingkirkan analisis kelas. Namun, analisis tersebut digunakan saat menganalisis pengoperasian unit produksi petani dalam konteks di mana mereka berada.

Pada bagian akhir bab 3, dalam bukunya, Ploeg justru menyatakan bahwa diferensiasi yang diajukan oleh Chayanov, adalah diferensiasi demografis, perbedaan luas usaha tani bersifat sementara. Artinya perbedaan dari setiap unit usaha tani petani bergantung pada jumlah tenaga kerja dalam keluarga tersebut. Ia mencontohkan, bahwa sebuah keluarga muda akan meningkatkan luas usahanya ketika konsumen dalam keluarga juga meningkat. Luas usaha tersebut akan kembali menyusut bila anak-anak mereka merintis keluarga sendiri dan mengerjakan usaha tani masing-masing (budaya pewarisan orang tua ke anak).

Jika melihat perbedaan kelas yang dibuat Lenin maupun penambahan yang diberikan Bernstein (2019), kelas petani diklasifikasi berdasarkan luas usaha tani. Saat ditinjau lebih jauh, stratifikasi tersebut justru mengarah pada perbedaan modal dari setiap kelas petani dalam berproduksi. Besar kecilnya modal ini yang berpengaruh dalam usaha tani.

Misalnya, petani miskin yang berjuang untuk mereproduksi diri sebagai kapital, sampai harus bekerja keras memproduksi diri mereka sendiri sebagai tenaga kerja dalam usaha tani sendiri—mereka tunduk pada apa yang disebut sebagai himpitan reproduksi sederhana (Bernstein, 2019: 146). Modal mereka baik uang, tanah, dan tenaga kerja, ternyata tidak dapat mencapai keseimbangan antara tenaga kerja dan produksi. Karena tidak dapat memenuhi kebutuhan, akhirnya mereka mengambil jenis pekerjaan lain, seperti menjadi buruh di sektor informal atau menjadi buruh tani.

Petani miskin semakin tidak dapat bereproduksi jika dihubungkan dengan keseimbangan antara produksi dan reproduksi. Faktor seperti pinjaman modal untuk bereproduksi sering kali tidak bisa dilunasi karena masalah harga hasil pertanian yang anjlok. Faktor lain dalam keseimbangan ini, seperti degradasi lahan, serangan hama, dan krisis iklim juga akan membuat petani miskin tidak dapat mencapai keseimbangan yang dimaksud oleh Ploeg.

Misalnya, petani di Padalarang yang gagal panen justru beralih menjadi pemulung (Cecep Wijaya Sari, Pikiran Rakyat: 2019). Luas lahan yang dikelola adalah 4 hektare—termasuk milik anaknya. Gagal panen karena kekeringan, membuat petani tersebut rugi 3 juta rupiah, sementara anaknya merugi 4 juta rupiah. Walau pun tidak menggambarkan secara keseluruhan tentang penguasaan modal, tapi berita ini setidaknya memberikan gambaran tentang pengaruh akumulasi produksi.

Luas lahan tidak berarti menentukan bahwa seorang petani masuk kategori kaya, menengah, atau miskin. Walaupun umumnya, semakin luas lahan yang dikuasai, maka tingkat akumulasinya juga semakin tinggi. Di sini saya menekankan pada seberapa banyak kapital yang dapat dikumpulkan oleh petani dalam semusim. Dan apakah kapital tersebut dapat menghidupinya hingga panen musim berikutnya atau tidak.

Hal tersebut tentu saja akan berbeda jika keseimbangan-keseimbangan ala Chayanovian dilihat dari sisi petani kaya jika dibanding dengan pendekatan kelas dari Bernstein. Petani kaya adalah mereka yang mengakumulasi aset produksi sekaligus mereproduksi diri sebagai kapital dalam skala yang lebih besar, dengan terlibat dalam reproduksi yang meluas (Bernstein, 2019: 145). Dalam keseimbangan antara tenaga kerja dan produksi maupun faedah dan jerih payah, kelas petani kaya lebih mampu mencapainya. Kelas ini, toh, dalam hal produksi, dengan modal yang tersedia, mampu menghasilkan produksi yang lebih baik. Kalau pun terdapat serangan hama, atau anjloknya harga hasil pertanian, petani kaya masih bisa bertahan dalam usaha tani.

Oleh karena itu, diferensiasi demografis yang diajukan oleh Chayanov, dapat dikatakan ada tapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Perbedaan jumlah tenaga kerja dalam setiap rumah tangga petani memang memberikan andil dalam proses produksi. Namun, luas lahan dan modal lainnya adalah faktor dominan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tani dan reproduksi usahanya.

Jadi, pandangan Ploeg tentang relevansi dari gagasan Chayanov mungkin dapat digunakan dalam situasi dan kondisi tertentu, serta pada tingkatan yang lebih spesifik. Tapi, dalam lingkup yang lebih luas, pandangan Lenin tentang diferensiasi kelas dan segala dampaknya bagi kaum tani lebih relevan digunakan. Saya sepakat bahwa petani tidak ditindas secara langsung dalam sistem kapitalisme layaknya buruh, namun mereka justru ditindas dengan cara yang lain.

____________
Nur Ansar
Mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Jakarta.
Dapat dihubungi melalui email nuransar243@gmail.com, atau di Instagram @nur_ansar

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang masuk di spam atau update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?