Esai

Hak Kepemilikan dan Tragedi Pengelolaan Sumber Daya Alam

Permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam terus menjadi perdebatan hingga hari ini. Salah satu poin utama perdebatan itu adalah agar alam tidak digunakan secara eksploitatif dan mampu mempertahankan keberlanjutan (sustainability) dari sumber daya alam yang akan dikelola. Terutama sumber daya alam yang memiliki perang vital bagi keberlangsungan hidup orang banyak. Dalam konteks ini, Garrett Hardin (1968) menyatakan suatu tesis yang disebut “the tragedy of the commons”. Tentu yang menjadi perhatian utama dari tesis ini adalah “the commons”, yang artinya adalah suatu sumber daya dengan akses terbuka (open-access). Commons dimengerti sebagai akses yang bebas dan tanpa perlu regulasi terhadap pemanfaatan sumber daya (McCay & Acheson, 1987: 1). Asumsi dari tesis ini, menempatkan setiap individu cenderung semena-mena dalam pemanfaatan terhadap commons sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai “tragedi”.

Kerugian yang disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan menjadi beban bagi banyak orang. Mengutip Lloyd, kondisi ini disebut sebagai “externalities” dalam eksploitasi terhadap commons (dikutip dari McCay & Acheson, 1987: 3). Pihak yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan justru melimpahkan dampaknya pada pihak-pihak lain. Misalnya kasus lubang bekas tambang di Kalimantan Timur yang total menyebabkan 36 jiwa melayang. Dengan kata lain, commons rentan terhadap penyalahgunaan.

Tesis tersebut disertai dengan saran dalam pengelolaan sumber daya. Hardin menyatakan bahwa negara harus berperan dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mencegah tragedi tersebut. Usulan ini sangat berisiko karena menurut Anderson (dalam McCay & Acheson, 1987) negara akan cenderung mengooptasi pengelolaan sumber daya untuk kepentingan mereka. Hadirnya negara sebagai aktor pemecah masalah dalam usulan Hardin adalah negara yang tidak memiliki kepentingan. Tentu hal ini terlalu utopis. Anderson menyatakan bahwa risiko menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada negara dapat membuat pengelolaan sumber daya digunakan untuk kepentingan politis negara. Dalam contoh kasus mengenai penangkapan ikan, Pinkerton melihat negara justru gagal, dan bahkan memperburuk keadaan. Negara kerap kali berpihak pada pihak yang eksploitatif. Bahkan negara juga sering mengerahkan aparatusnya seperti militer untuk melindungi korporasi yang mengeksploitasi alam.

Permasalahan yang tersirat dalam pembahasan di atas adalah tentang perbedaan pandangan dalam menempatkan property rights (hak kepemilikan) terhadap sumber daya alam yang disebut commons, seperti laut misalnya. Posisi tiap commons dianggap res nullius (tanpa pemilik). Ini yang menyebabkan tidak terkendalinya pengelolaan sumber daya alam yang berujung pada terjadinya abuse. Namun justru di sini tampak kelemahan lain dari basis tesis Hardin. Dalam kasus pengelolaan penangkapan ikan yang disebut Pinkerton, terdapat hak kepemilikan informal yang dimiliki masyarakat lokal terhadap sumber daya yang dianggap commons dan secara de jure berstatus tanpa pemilik. 

Tentu commons tidak benar-benar tidak memiliki regulasi dalam pengelolaannya. Regulasi mungkin tidak hadir dalam tataran formal yang mendorong Hardin untuk mengajukan pengelolaan oleh negara sebagai upaya penanggulangan tragedy of the commons. Namun nyatanya terdapat institusi-institusi informal yang telah mengatur penggunaan commons agar tidak terjadinya penyalahgunaan. Terdapat perbedaan antara status de jure dan de facto mengenai hak kepemilikan atas common. Secara de jure mungkin commons bersifat tanpa pemilik namun dalam kondisi de facto belum tentu berbanding lurus. Topik penting yang luput dari perhatian Hardin ini yang menjadi pembahasan dari Henley. Dalam jurnalnya, Henley (2008) melihat bagaimana institusi-institusi informal mengatur pengelolaan commons di Indonesia.

Pengelolaan Institusi Informal terhadap Sumber Daya

Sebelum membahas institusi informal yang  mengatur pengelolaan commons di Indonesia, Henley memulai pembahasannya mengenai skenario tragedi selain tragedy of the commons – atau yang ia sebut tragedy of the open access. Tragedi lain yang disebutkan oleh Henley adalah tragedy of the (1) future, (2) desperation, (3) ignorance, dan (4) indifference. Jika tragedy of the commons cenderung pada pengelolaan sumber daya alam yang terbarukan (renewable), maka kondisi tragedy of the future justru terjadi pada sumber daya yang dianggap terbarukan namun ternyata tidak. Contoh yang disebutkan oleh Henley adalah hutan hujan yang dianggap terbarukan namun nyatanya butuh waktu yang amat lama untuk pembaruannya. Sementara itu tragedy of the desperation cenderung terjadi pada masyarakat miskin di mana mereka tidak memiliki pilihan lain terhadap sumber daya yang akan dimanfaatkan. Dalam keterkaitannya dengan keberlanjutan, tragedy of the ignorance justru menyatakan kondisi di mana masyarakat tidak menyadari kondisi di mana keberlanjutan tidak terwujud. Kondisi ini hampir mirip dengan tragedy of the indifference di mana pelaku eksploitasi alam mengabaikan kondisi kerusakan lingkungan secara sengaja untuk suatu kepentingan. Meski dipaparkan secara terpisah, tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi lebih dari satu tragedi dalam suatu fenomena.

Dalam pencegahan terjadinya kelima tragedi tersebut, beberapa masyarakat memiliki institusi yang mengatur pengelolaan sumber daya alam agar tidak terjadi penyalahgunaan. Terutama karena sumber daya tersebut, dianggap Hardin sebagai free for all atau merupakan milik komunal. Kepemilikan secara komunal tersebut pada dasarnya secara informal memiliki pranata yang mengatur tindakan yang sekiranya diizinkan oleh tiap anggotanya dalam pemanfaatan sumber daya. Malinowski dalam etnografinya di Trobriand sebenarnya sudah memperlihatkan salah satu contoh di mana pengelolaan sumber daya tidak sebebas yang dikira Hardin. Terdapat mekanisme yang bahkan dapat dikatakan rumit. Selain itu, Henley menunjukkan contoh lain, misalnya sasi di Maluku, yang memiliki fungsi serupa. Mekanisme sistem ini dapat berupa excludability dan includability, dimana sistem ini mengatur akses terhadap sumber daya; ataupun yang bertugas untuk mengatur jumlah sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh tiap pihak. 

Tipe pengaturan seperti ini disebut oleh Henley sebagai manajemen sumber daya berbasis masyarakat (community-based resource management). Masalahnya adalah temuan Henley bahwa selayaknya negara, elite yang berperan vital dalam pranata ini memiliki kemampuan koersif. Secara eksplisit, Henley menyatakan ambiguitas dari keseluruhan tulisannya di mana dalam tataran agrikultur dan agroforestry Ia percaya pada kearifan lokal petani tapi dalam tataran konservasi alam dan hutan, peran negara menjadi penting (Henley, 1987, h. 287). Bahkan dalam sistem sasi yang dijadikan contoh oleh Henley ditemukan penyimpangan oleh pihak pengelola. Kasus yang ditunjukkan oleh Adhuri (2005) adalah penyimpangan pengaturan includability dan excludability dalam sistem sasi yang dilakukan pihak pengelola dan rentan terhadap kontestasi politik elite lokal.

Daftar Pustaka

Adhuri, D.S. (2005). Menjual Laut, Mengail Kekuasaan: Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Diunduh dari researchgate.net

Henley, D. (2008). “Natural Resource Management: Historical Lessons from Indonesia,” Human Ecology, 36(2), 273-290

McCay, B. & Acheson, J.M. (1987). “Human Ecology of the Commons”, dalam B. McCay & J.M. Acheson (Ed.). The Question of the Commons: The Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: University of Arizona Press

___________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe/Berlangganan. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda (kadang terkirim di menu spam/update) dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?