Esai

Kisah Cinta antara Marx dan Jenny von Westphalen (Bagian I)

Keluarga Marx dan Jenny bertempat tinggal di dalam satu wilayah yang sama. Oleh karena itu, kedua keluarga itu, tentu saja, saling bertetangga. Tidak hanya bertetangga, antara ayah Marx, Herschel dan ayah Jenny, Ludwid von Westphalen bersahabat. Kedua sahabat itu, selain sering saling mengunjungi, mereka juga sering terlibat dalam diskusi tentang berbagi ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Dua keluarga dan sahabat itu, tinggal di suatu daerah yang bernama Trier, Rhineland, Jerman.

Sebelum Marx mengenal ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, dan seni di lembaga pendidikan formal, dia telah mendapat pendidikan dari ayah kandungnya sendiri. Tidak hanya ayahnya, ayah Jenny juga sering membagikan pengetahuannya tentang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni kepada Karl Marx. Seringkali Marx terlihat berjalan-jalan berdua bersama ayah Jenny di pinggiran hutan di dekat tempat tinggal mereka. Melalui kegiatan jalan-jalan itulah, Freiherr Ludwid von Westphalen[1] menyampaikan ajaran-ajaran seni dan sastra kepada Marx.

Antusiasme Marx terhadap sastra dan seni dibangkitkan oleh ayahnya dan tetangga sekaligus sahabat ayahnya. Marx dengan bersemangat menyerap ajaran-ajaran yang disampaikan oleh kedua gurunya itu. Penyerapan Marx terhadap ajaran-ajaran itu dengan baik membuat Ludwig von Westphalen menilai Marx sebagai anak yang berotak brilian, cerdas, dan cepat memahami apa pun yang sedang dipelajarinya. Berangkat dari penilaiannya itulah kemudian Ludwig banyak meminjamkan buku-bukunya kepada Marx, dan Marx pun dengan lahap dan rakus membaca buku-buku yang dipinjamnya itu.

Tidak hanya Marx yang mendapatkan pelajaran sastra dan seni dari Ludwig von Westphalen, tetapi juga anak perempuan kesayangannya sendiri, Jenny von Westphalen. Seperti Marx, Jenny pun, berkat ayahnya, memiliki antusiasme terhadap sastra dan seni.

Ludwid von Westphalen, selain memberikan berbagai pelajaran kepada Marx, dia juga memperkenalkan Marx kepada anak perempuan kesayangannya, Jenny von Westphalen. Marx terkesima terhadap kecantikan, kecerdasan, dan ketertarikan Jenny kepada ilmu pengetahuan, humanisme, sastra, dan seni. Perkenalan itu, pada akhirnya, menggiring Marx pada suasana romantis bertabur bunga-bunga cinta.

Pucuk dicinta ulam tiba, Jenny juga tertarik pada laki-laki yang cerdas yang memiliki gairah pada ilmu pengetahuan itu. Satu lagi yang membuat Jenny kagum terhadap Marx, Marx adalah sosok laki-laki yang rakus membaca buku dan memiliki pikiran yang kritis.

Pada usianya yang ke-17 Jenny von Westphalen dinobatkan sebagai Ratu Penari di Trier. Sebagai seorang penari, tentu saja, Jenny sering bertemu dengan penari-penari lainnya, baik penari perempuan maupun laki-laki. Pada suatu hari, Jenny bertemu dengan seorang tentara yang pandai berdansa. Tentara itu, bernama Karl von Pannewitz. Jenny begitu terkesan terhadap kepandaian tentara itu dalam berdansa. Begitu pula sebaliknya, tentara itu terkagum-kagum terhadap kecantikan Jenny. Oleh karena itu, tentara itu pun menyatakan cintanya kepada Jenny, bahkan dia bermaksud menjadikan Jenny sebagai istrinya. Namun, saat Jenny mengajak tentara itu mendiskusikan paragraf-paragraf yang ditulis oleh seorang sastrawan terkenal yang bernama Hamlet, tentara itu bingung, melonggo, dan tidak tahu-menahu apa yang dibicarakan oleh Jenny.

Dia bertanya pada Jenny, “Siapa itu, Hamlet?” Sejak saat itu, Jenny menolak cinta dan lamaran tentara itu dengan sopan. [2] Bisa jadi, pada saat itu, Jenny berpikiran untuk apa berdampingan hidup dengan orang yang “tidak memiliki otak”.

Semenjak Marx diperkenalkan dengan Jenny oleh Ludwig von Westphalen, Marx seringkali berkunjung dan bermain ke kediaman Jenny. Selain dia ingin bertemu dengan Ludwig, sosok guru yang dikaguminya, dia juga ingin bertemu dengan perempuan cantik yang menggetarkan hatinya. Melalui Ludwig, dia semakin mengembangkan minatnya terhadap sastra, seni, dan humanisme yang diinspirasi oleh revolusi Perancis, dan melalui Jenny dia membangun interaksi intelektual dan memupuk cinta romantis yang semakin hari semakin tumbuh tidak terkendali.

Cinta dan Puisi

Saat Marx belajar ilmu hukum kriminal di Universitas Bonn, Marx juga memperdalam kemampuannya dalam bersastra. Kemampuannya itu, selain dituangkannya ke dalam bentuk tulisan, juga dia tuangkan dalam bentuk surat cinta yang dikirimkannya kepada kekasihnya, Jenny. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk ayahnya, di tahun 1837, saat Marx berumur 19 tahun, Marx berkata, “… tiga jilid pertama puisi yang aku tulis aku kirimkan untuk Jenny …”[3]

Berikut ini, penulis tunjukkan salah satu puisi yang ditulis oleh Karl Marx untuk kekasih hatinya, Jenny von Westphalen, pada usia Marx yang masih belia tersebut.

UNTUK JENNY
Kata-kata—dusta, bayangan hampa, tidak lebih
Sesakkan hidup dari setiap sudut!
Padamu, letih, dan kematian, haruskah kutuangkan?
Jiwa yang padaku bergelora?
Namun Dewa-Dewi bumi pemcemburu
Mengintai api manusia dengan mesra

Dan selamanya manusia melarat
Menemani cahaya hatinya dalam sunyi
Karena, gelora yang menyentak nyalang

Dalam helaian jiwa cemerlang
Akan mendekap duniamu
Akan meruntuhkan tarian purba
Dunia mekar lalu bersemi dan mati

Pada tahun 1837, untuk membuktikan cinta dan keseriusannya kepada Jenny, dia menemui Ludwig von Westphalen. Dalam pertemuan itu, Marx meminta izin untuk menjadikan Jenny sebagai tunangannya. Permintaan itu, disambut dengan baik oleh Ludwig. Dengan kata lain, izin itu diperoleh Marx dengan mudah, tanpa halangan dari ayah calon mertuanya. Halangan hanya datang dari keluarga Jenny yang masih berpikiran konservatif dan feodal, yang menilai keluarga Marx hanya dari sudut pandang status sosialnya, mereka menilai keluarga Marx tidak sederajat dengan keluarga mereka, keluarga bangsawan Ludwig von Westphalen. Namun, halangan itu, hanyalah krikil kecil yang dengan segera disingkirkan oleh Karl Marx dan Jenny von Westphalen dengan hanya satu jentikan kecil jari manis sebelah kiri.


[1] Isaiah Berlin, “Biografi Karl Marx”, Jejak, Yogyakarta, 2000. Halaman 31. [2] Lihat: Sigit Susanto, “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan”, Insist Press, Yogyakarta, 2012. Dalam “Makam Marx di London”, Halaman 323—337. [3] Surat Marx Kepada Ayahnya (1837) dalam Martin Suryajaya, “Teks-Teks Kunci Filsafat Marx”, Resist Book, Yogyakarta, 2016. Halaman: 10.
[3] Surat Marx Kepada Ayahnya (1837) dalam Martin Suryajaya, “Teks-Teks Kunci Filsafat Marx”, Resist Book, Yogyakarta, 2016. Halaman: 10.

_________________________
Ismantoro Dwi Yuwono
Redaktur di Penerbit Paragraft, sebuah penerbitan yang fokus pada buku-buku kritis dan progresif.

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?