Resensi Buku

Warna Kulit Putih dan Standarisasi Kecantikan yang Opresif

Judul                     : Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional
Penulis                : L. Ayu Saraswati
Penerjemah       : Ninus D. Andamuswari
Penerbit              : Marjin Kiri
Cetakan               : Pertama, Juli 2017
Tebal                    : i-xiv + 254 halaman

Bagi sebagian orang, hidup tidak pernah mudah. Terlebih bagi perempuan, dunia yang patriarkal sama sekali tidak ramah terhadap mereka. Belenggu bisa hadir dalam bentuk apa saja, bahkan sampai bentuk yang seolah-olah tidak opresif (menindas atau membelenggu). Contohnya tentang standar kecantikan bagi perempuan. Standar kecantikan yang mungkin semua orang ketahui—dan mungkin sebagian besarnya percayai—adalah kulit putih.

Jelas, standar ini sangat diskriminatif. Perempuan berada dalam posisi dimana mereka harus tampil cantik dengan kulit berwana putih mulus. Namun, amat begitu mustahil kecantikan itu dicapai oleh perempuan yang tidak berkulit putih, berkulit hitam atau sawo matang contohnya. Opresi ini adalah fragmen dari gambaran besar belenggu dan penindasan terhadap perempuan. Penindasan terjadi bahkan sampai tingkat yang paling dasar, tubuh alami mereka.

Gadis Arivia dalam Filsafat Berperspektif Feminis menyatakan bahwa perempuan di Dunia Ketiga mengalami penindasan yang lebih buruk ketimbang perempuan di Barat. Salah satu permasalahannya adalah perempuan Dunia Ketiga yang tidak berkulit putih. Ini menandakan bahwa standar kecantikan berkulit putih sangatlah problematis. Kecantikan yang putih ini termasuk dalam apa yang disebut Slavoj Zizek sebagai kekerasan objektif. Dalam Violence, kekerasan objektif adalah kekerasan yang tidak jelas siapa pelakunya dan bahkan merasuk dalam praktik sehari-hari manusia, seperti bahasa misalnya.

Buku dari L. Ayu Saraswati, “Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” dengan dalam menganalisis tentang standar kecantikan putih dalam rentang ruang dan waktu yang panjang. Tentu yang perlu dipertanyakan adalah mengapa kulit putih sebagai standar kecantikan sangat diterima? Permasalahan ini sudah berada dalam tahap yang bisa dibilang amat mendasar bagi manusia, yaitu kesadaran.

Permasalahan warna kulit bukan hanya menimpa perempuan, bahkan laki-laki juga merasakannya meski dalam tingkat yang berbeda. Sehingga kebanyakan melihat masalah ini—dalam perspektif pasca-kolonial—sebagai rasisme yang berakar pada hegemoni kolonial Barat terhadap Sang Liyan (the Others) atau subaltern. Namun telaah historis sampai pada era Hindu-Buddha di Indonesia telah menunjukkan bahwa putih sudah menjadi standar kecantikan sejak sebelum era kolonialisme.

Dalam analisis terhadap Ramayana, putih dihubungkan dengan berbagai hal yang bersifat baik. Berlawanan dengan gelap yang berkonotasi buruk. Hadirnya kulit putih terang berada dalam oposisi biner dengan gelap. Seperti diungkapkan Levi-Strauss, posisi oposisi biner ini hierarkis. Terdapat pihak yang berkedudukan lebih rendah dibanding pihak yang lain. Hanya saja telaah strukturalisme ini kurang menjelaskan mengapa putih yang diterima sebagai pihak yang lebih tinggi?

Namun analogi yang saya paparkan tersebut masih belum cukup. Sebagai perbandingan dengan analogi strukturalisme yang saya tulis, penjelasan di buku ini mengisi ruang mengenai alasan putih bisa diterima dalam posisi yang lebih tinggi. Sehingga ini menjadi pintu untuk masuk ke dalam penjelasan terhadap dimensi kesadaran dalam merespon putih. Dalam analisis terhadap respon kesadaran yang ditunjukkan dalam kisah Ramayana, konsep rasa menjadi penting. Penjelasan atas rasa yang dipadukan dengan teori afek dan emosi memungkinkan untuk menganalisis hierarki warna kulit (hal. 38). Bahwa rasa masuk dalam dimensi kesadaran dan ingatan serta menghubungkan dengan hal-hal yang dianggap indah lainnya seperti bulan purnama. Tidak hanya Ramayana, tulisan Risa Herdahita Putri berjudul “Empat Tipe Perempuan Jawa Kuno” di Historia menunjukkan bahwa perempuan terdiri dari tipe yang tinggi dan rendah. Tipe yang paling tinggi adalah padmini yang wajahnya seperti bulan purnama.

Poin penting lainnya adalah pergeseran cantik putih mengikuti perkembangan zaman. Di Indonesia, meski putih tetap dominan tetapi hal ini bertindihan dengan wacana lain seperti ras sehingga muncullah putih Kaukasia, putih Jepang, putih Tionghoa, dan putih kosmopolitan.  Dalam pergeseran ini, media berperan dalam menguatkan anggapan tersebut. Analisis terhadap iklan pemutih kulit pada zaman kolonial, Jepang, dan Indonesia yang baru merdeka menunjukkan bahwa iklan tersebut terus mereproduksi nilai kecantikan yang opresif ini.

Melalui media, kesadaran dalam tataran emosi untuk menjadi putih ditanamkan. Inilah yang disebut sebagai emosionologi kolonial. Dengan kata lain emosi itu sendiri bersifat ideologis. Selain itu hadirnya putih Jepang juga menunjukkan bahwa wacana ini bukan hanya milik orang Eropa (hal. 99). Bahkan orang Indonesia sendiri berusaha membuat tipe putihnya sendiri. Dalam analisis pasca-kolonial, putih Indonesia merupakan bentuk dari hal yang disebut Homi K. Bhabha sebagai mimikri kolonial (hal. 223).

Globalisasi memungkinkan ide cantik putih menyebar ke berbagai penjuru dunia melalui media. Bersamaan dengan itu, cantik putih Kaukasia, Jepang, atau Indonesia bergeser ke tipe baru yakni putih kosmopolitan. Hal yang tersirat dari kata kosmopolitan ini adalah dimensi spasial karena kosmopolitanisme menyiratkan jangkauan spasial yang transnasional. Pengaruh dimensi spasial lainnya adalah terdapat tempat-tempat yang dilekatkan dengan imej kecantikan seperti kota Paris. Menguatkan bahwa cantik putih memang universal.

Selain berbagai tipe ideal kecantikan yang cenderung mengutamakan putih, dalam konteks Indonesia hal ini dilengkapi dengan nilai lainnya yang opresif yaitu malu. Di sini malu dapat dipandang sebagai suatu teknologi pengaturan atau governmentality dalam term Foucauldian.  Sasaran malu yang terutama adalah tubuh sebagai bagian yang paling mencolok. Sehingga malu dapat dimaknai sebagai suatu biopower, governmentality yang mendisiplinkan tubuh. Meski terdapat suatu interseksi yang terlihat dimana putih Tionghoa tidak menjadi pilihan karena kedudukan Tionghoa di masyarakat Indonesia yang berkonotasi buruk.

Nyatanya ideal kecantikan memang penuh dengan pertemuan dan benturan dari berbagai hal. Pembongkaran terhadap idealisasi kecantikan berdasarkan warna kulit juga berbicara mengenai hal-hal lain yang cakupannya lebih luas. Putih harus dimaknai berdasarkan kekuasaan di balik pembentukan maknanya. Bahwa terdapat ideologi-ideologi yang berada dibelakangnya dan terus mereproduksi nilai-nilai ini.

___________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?