Resensi Buku

Roh Pemikiran Kiri dalam Perjuangan Mencapai Indonesia Merdeka

Judul    : Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia
Penulis   : Peter Kasenda
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan  : Pertama, 2014
Tebal    : xiv + 274 halaman

Dalam gerak sejarah Indonesia, pergerakan mencapai puncaknya saat kaum pemuda mulai mengenali berbagai pemikiran dan filsafat kritis. Saat itu lahirlah gagasan atas nasionalisme Indonesia. Kaum pemuda ini dididik dengan gaya Barat oleh pemerintah kolonial. Namun, efek lain dari pendidikan itu telah membentuk luasnya wawasan mereka dan bahkan mampu menemukan gagasan nasionalisme progresif. Dengan hal itu, mereka jadikan sebagai alat untuk membangun gerakan nasional anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

Salah seorang pemuda yang paling menonjol dalam periode gerakan melawan kolonialisme ini adalah Sukarno. Meski pemuda lain tidak kalah cemerlang dan progresif, Sukarno memiliki pengaruh yang amat besar dan mampu bertahan bahkan sampai sekarang. Ia pun berasal dari era yang sama, era di mana pemuda pergerakan Indonesia mempelajari ide-ide progresif di seantero dunia sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Salah satu pemikiran yang paling berpengaruh pada kaum pergerakan pada umumnya, dan Sukarno pada khusunya, adalah Marxisme. Peter Kasenda menulis buku Sukarno, Marxisme & Leninisme, untuk menelusuri jejak pemikiran Marxisme-Leninisme dalam sejarah pergerakan Indonesia, terutama dalam pemikiran Sukarno yang ditempatkan sebagai tokoh utama oleh Peter Kasenda.

Berkembangnya Marxisme di Indonesia tidak lepas dari perkembangannya di Belanda. Partai Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) menjadi pendukung kebijakan Politik Etis yang memberi rakyat Indonesia sebagian haknya (hal. 5). Pada tahun 1914, Sneevliet, anggota SDAP, mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), organisasi sosialis pertama di Asia Tenggara.

Ide sosialisme pun mulai tersebar di Hindia Belanda salah satunya akibat andil gerakan ISDV. Pengaruhnya sampai pada tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI), yang kala itu berkembang pesat, yakni Semaoen dan Darsono. Mereka berusaha membelok kirikan SI agar menjadi revolusioner. Hingga akhirnya terjadi konflik di internal SI antara SI Merah (kaum SI dengan ideologi kiri) dan SI Hijau (kaum SI dengan ideologi reformis moderat). Disingkirkannya kaum SI merah, telah membuat SI mengalami kemunduran dalam hal progresifitas pergerakan.

Sukarno dan Pengaruh Ideologi Kiri

Polemik di tubuh SI, yang merupakan organisasi pergerakan terbesar di Indonesia saat itu, Sukarno masih belum terlibat dalam gerakan politik (hal. 11). Ia dipengaruhi Tjokroaminoto yang membimbingnya sebelum menjadi mahasiswa di Bandung. Kala ia jadi mahasiswa, ia terpengaruh pemikiran Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. Karir politiknya mulai melonjak setelah bergabung dengan Algemenee Studie Club di Bandung. Ia bertemu dengan mentornya, Marcel Koch, dan mulai menulis di majalah Indonesia Muda. Salah satu tulisannya adalah Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (hal. 14).

Langkah politik Sukarno terus melejit dengan berperan mendirikan Jong Indonesia. Pada 4 Juni 1927, ia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia yang nantinya menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Perkembangan Sukarno tidak hanya dalam karir politik, namun juga pemikiran. Pada Maret 1933, ia menulis buku Mencapai Indonesia Merdeka, tulisan yang sarat akan pengaruh pemikiran Lenin. Meski begitu, Peter melihat bahwa Sukarno telah mengembangkan filsafatnya sendiri. Mulai dari kritik terhadap “orang kecil” dalam Marxisme yang ia anggap terlalu sempit, penolakan terhadap diktator proletariat, ataupun partai pelopor ala Lenin (hal. 23-24).

Tak hanya Sukarno, kaum pergerakan yang lain pun berkutat dengan pemikiran Marxisme dan pemikiran Kiri lainnya. Pemikiran Kiri bahkan menjadi pondasi Revolusi Indonesia, meski pemikiran Kiri hadir dengan corak yang berbeda-beda, seperti pemikiran Hatta, Sjahrir, maupun Tan Malaka.

Pemikiran Sukarno juga memiliki ciri khas, konsepsinya tentang Marhaen misalnya. Konsep ini lahir sebagai perluasan atas konsep “proletar” dalam Marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Marhaen adalah seluruh kaum tertindas (hal. 39), karena Indonesia saat itu di bawah kolonialisme. Sukarno melihat realitas yang berbeda dengan Marx di Eropa. Bahkan petani yang memiliki faktor produksi sendiri tetap hidup melarat, meski bekerja untuk dirinya sendiri (hal. 40). Marhaen, atau bahkan Marhaenisme, menjadi buah pikiran yang berusaha untuk terus direproduksi oleh PNI, dan melahirkan banyak tafsiran.

Meski begitu, pemikiran Sukarno tetaplah Kiri, walaupun ia memadukannya dengan Islam dan Nasionalisme. Tujuannya tetaplah anti-kolonialisme. Sukarno berada dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda dengan Marx. Ia menyadari itu dan membentuk pemikirannya sendiri, meski berhutang besar dengan Marxisme. Hanya saja Sukarno memberi penekanan kontekstual sehingga ia melihat bahwa Nasionalisme dan Islamisme berada di jalan yang sama dalam koridor anti-kolonialisme.

Sukarno berusaha menerapkan filsafatnya saat menjabat presiden. Misalnya gagasan New Emerging Forces (Nefos) dan Old Entblistment Forces (Oldefos). Gagasan ini adalah perlawanan atas hegemoni nekolim (neo-kolonialisme dan neo-imperialisme) di dunia. Perjuangan anti-nekolim Sukarno adalah perjuangan yang kosmopolitan.

Kepemimpinan Sukarno jelas tampak pada era Demokrasi Terpimpin, meski dalam berbagai sektor ia harus berhadapan dengan pihak lain, misalnya militer. Ia tetap berusaha melakukan balance of power. Sayangnya, terdapat pihak yang tidak puas dan mengatakan Sukano terlalu condong ke PKI. Di era Demokrasi Terpimpin, Sukarno, Angkatan Darat (AD), dan PKI saling bertautan. Namun mereka juga berkonflik. Puncaknya adalah G30S, di mana PKI dan kelompok pendukung Sukarno, bahkan seluruh sayap kiri, dituduh sebagai pemberontak dan dibabat habis (hal. 133).

Kiri sudah mati, Sukarno sudah habis. G30S adalah tragedi dan pembukaan era otoriter. Sejarah Indonesia terus berjalan sampai kini. Peter tidak puas hanya menjelaskan Sukarno, pemikiran Kiri, dan sejarah Indonesia, jika nyatanya Kiri masih dianggap haram oleh sebagian besar masyarakat. Ia merasa perlu diadakan upaya rekonsiliasi. Mulai dari pembukaan fakta sejarah, pencabutan TAP MPRS XXV/1966 (hal. 221), dan rekonsiliasi di tingkat akar rumput.

Buku ini jelas menjadi tindakan pribadi Peter Kasenda menghadapi tragedi 65. Sesuai dengan sarannya, ia menguak fakta masa lalu. Nyatanya Kiri berperan dan berpengaruh besar bagi bangsa Indonesia. Tokoh-tokoh pendiri bangsa adalah pemuda yang besar dengan mempelajari Marxisme dan pemikiran progresif lainnya. Pembungkaman atas pemikiran-pemikiran bertentangan dengan visi awal bangsa Indonesia. Peter sendiri menjabarkan komunisme di Indonesia, mulai dari kontribusi sampai pemberontakan. Tapi rekonsiliasi tetaplah perlu, dendam sejarah hendaknya tidak diwariskan ke anak cucu mereka, atau bahkan kita (hal. 242-243).

___________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?