Oase

Lingkaran Setan Rasialisme

Mengatakan bahwa rasisme lahir dari sebuah stereotip atau sebuah prasangka yang dianggap secara garis besar menggambarkan situasi yang nyata merupakan sebuah persepsi yang salah juga menyesatkan.  Apa yang dimaksud dengan “prasangka yang menggambarkan situasi secara garis besar” di sini adalah suatu pemikiran di mana rasialisme dianggap ada dan berkembang oleh karena keadaan yang benar adanya, alias sesuai dengan fakta. 

Dalam pemikiran ini, perilaku rasis dilihat sebagai sesuatu yang “tidak buruk-buruk amat”, karena rasisme pada pandangan tersebut adalah hasil dari keadaan yang dianggap nyata. Jadi, sebelum “keadaan nyata” itu berubah, pemikiran rasis sah-sah saja bercokol di kepala orang banyak, karena toh faktanya “ya memang begitu”.

Pandangan seperti itu kerap terjadi pada golongan masyarakat yang teralienasi dan merupakan minoritas dalam suatu lingkungan mayoritas. Contoh dekatnya terjadi pada masyarakat Tionghoa di Indonesia atau masyarakat berkulit hitam di Barat. Keduanya kerap diidentikan dengan sikap, keadaan, maupun kebiasaan yang buruk. Anggapan yang mengacu pada hal-hal tersebut acap kali dilihat sebagai pewarta keadaan dan oleh karena itu tak menjadi soal pelik.

Di Indonesia, etnis Tionghoa diidentikan sebagai “binatang ekonomi” yang senang meraup keuntungan. Mereka dianggap hanya mau berbisnis tanpa mau memikirkan urusan lainnya. Etnis Tionghoa apatis, tidak punya rasa nasionalis, dan angkuh. Bukti yang disodorkan adalah orang-orang Tionghoa kota yang semuanya (nampaknya) berurusan dengan dunia perdagangan dan tak mau bekerja di bidang lain, terutama pemerintahan dan kemiliteran. 

Sementara itu, di barat (Eropa dan Amerika), masyarakat kulit hitam dicap sebagai ras yang bodoh dan lebih inferior dibandingkan orang kulit putih. Mereka dikatakan sebagai ras yang pemalas, kasar, dan tidak cerdas. Bukti yang disodorkan adalah bahwa jumlah intelek kulit hitam tak sebanyak intelek kulit putih, apalagi yang menduduki jabatan-jabatan di sektor penting hanya terdiri dari segelintir orang kulit hitam. Penelitian yang mengatakan gen kulit hitam lebih bodoh dari gen kulit putih yang dasarnya tidak kuat bahkan dijadikan landasan teori bahwa ras kulit hitam sudah bodoh “dari sananya”.

Jadi, dalam benak orang-orang yang memiliki pandangan di atas, sikap rasis pada orang Tionghoa bukanlah masalah karena memang mereka semuanya hanya “binatang ekonomi” belaka yang angkuh. Begitu pula perlakuan merendahkan orang kulit hitam bukanlah hal buruk, sebab pada dasarnya memang orang kulit hitam bodoh dan inferior. Sebelum kondisi tersebut berubah, rasisme tak menjadi hal yang buruk.

Pandangan tersebut melahirkan dua sesat pikir yang membahayakan. Pertama, rasialisme jadi dilihat sebagai sesuatu yang lahir dari keadaan alamiah. Karena sudah terlanjur berpikir demikian, masyarakat dibuat tak lagi kritis dan menerimanya begitu saja sebagai suatu fakta, padahal ada akar-akar yang menyebabkan kondisi rasialisme itu terjadi.

Pada kasus rasialisme terhadap orang kulit hitam, misalnya. Rasialisme justru lahir dari sebuah “lingkaran setan” yang diciptakan oleh orang kulit putih. Setelah ratusan tahun perbudakan yang dilakukan orang kulit putih, orang kulit hitam, meski telah dimerdekakan dari statusnya sebagai budak di pertengahan abad ke-19, telah terlanjur hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Itu membuat mereka tidak mampu memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan orang kulit putih, sampai bergenerasi setelahnya. Akhirnya mitos orang kulit hitam tak berpendidikan pun muncul.

Pada kasus orang Tionghoa di Indonesia, usai kudeta Soeharto di tahun 1965, mereka dipaksa bekerja hanya pada bidang ekonomi saja. Mereka tidak boleh bekerja di bidang sipil dan kemiliteran, dan mereka yang menjadi pekerja seni pun dipersulit keadaannya. Beberapa pelukis Tionghoa yang mengadakan pameran lukisan di tahun 1980-an harus diawasi oleh Badan Koordinasi Intelejen negara, dan Siaw Tik Kwie yang notabene pelukis terkenal bahkan dilarang menggelar pameran seni di Taman Ismail Marzuki. 

Pada akhirnya, mau tak mau orang Tionghoa pun hanya mampu bekerja di bidang ekonomi, dan sebagian pengusaha Tionghoa kaya pun jadi “sapi perah” pemerintah sekaligus jadi kambing hitam jikalau ada kerusuhan. Lahirlah dengan begitu pikiran yang menyatakan bahwa orang Tionghoa hanya “binatang ekonomi” yang rakus pada harta. Padahal pemerintah sendiri yang menciptakan keadaan seperti itu.

Kedua, pemikiran sesat soal rasialisme menyebabkan munculnya gagasan bahwa etnis yang bermasalah itu berbeda dan patut diganyang. Karena rasialisme lahir dari suatu keadaan yang dianggap diciptakan sendiri oleh etnis minoritas yang bersangkutan, sentimen rasis yang menjurus pada kekerasan dan perlakuan merendahkan tidak dijadikan sebagai kesalahan si pelaku, tetapi pada etnis-etnis yang “bermasalah” tersebut.

Itulah pemikiran yang disebut Levinas sebagai gagasan akan Yang Lain (the Others). Sebagai golongan Yang Lain, etnis yang dianggap bermasalah tidak akan diperlakukan dengan baik sebagaimana dengan yang dianggap sebagai Yang Sama. Dalam segala hal, mereka berbeda dan dianggap sumber masalah dan ketidakamanan.

Oleh karena digempur terus-menerus pula dengan pernyataan dan informasi bahwa etnis yang “ini” dan “itu” buruk dan angkuh, lama-kelamaan ketidaksenangan akan etnis tertentu pun menumpuk. Pada akhirnya akan muncul perasaan untuk menundukkan dan menguasai mereka yang berbeda itu. Bahkan meski kelompok yang asing itu sebenarnya sudah tergabung dan menyatu dalam masyarakat setempat, perlakuan tidak adil tetap dilakukan oleh karena rasa ketidaksenangan yang sudah tertanam.

Rasialisme tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari sejarah buruk yang harus diselesaikan bersama. Sejarah buruk itu terwujud dalam gagasan dan presepsi negatif terhadap sebuah golongan yang sampai sekarang masih dipelihara dan sengaja disuburkan untuk kepentingan politik yang menjijikkan.

Membiarkan waktu yang bekerja menghapus pemikiran rasis merupakan tindakan yang tidak berarti. Semakin berjalannya waktu, kita justru melihat pemikiran rasialisme dan mitos negatif yang diarahkan pada etnis tertentu-semisal Tionghoa dan orang kulit hitam-malah semakin kokoh. Diam berarti turut melanggengkan pemikiran rasialisme terus terjadi. 

“Yang menentukan nasib minoritas bukan realitasnya melainkan mitos yang membahayakan”, kata Daniel Lev. Jadi, jika mitos dan pendapat negatif yang tidak sesuai dengan keadaan masih terus dipertahankan, rasialisme bakalan terus tumbuh subur. Gagasan-gagasan buruk pada salah satu golongan harus mulai dan terus disanggah.

Perlu diresapi bahwa apa yang terjadi pada etnis Tionghoa dan masyarakat kulit hitam di Barat hanyalah sebuah contoh kasus. Bukan berarti masalah yang menimpa mereka lebih urgen dan dipentingkan. Kedua kasus ini disebutkan guna dijadikan pembelajaran bersama menyelesaikan rasialisme. Harapannya, lingkaran setan rasialisme tidak terulang pada etnis yang lain, dan dengan begitu rasialisme perlahan bisa tereliminasi.

__________________________
Miguel Angelo Jonathan
Mahasiswa dan Editor di Penerbit Pustaka Kaji.
Dapat dihubungi di instagram @miguelangelojonathan

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?