Esai

Militerisme dan Kepentingan Kelas dalam Pendidikan Bela Negara di IPB

Ada Hantu di IPB, Hantu Militerisme!

Pada tahun ajaran baru, Institut Pertanian Bogor (IPB) menyelenggarakan kegiatan Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB). Kegiatan itu, diselenggarakan pada 3—9 Agustus 2019. Agenda utama dalam kegiatan itu, tidak hanya mengenalkan IPB kepada mahasiswa baru, tetapi juga, tujuan paling utama dari yang utama, menanamkan semangat bela negara.

Materi penting bela negara yang diberikan kepada para mahasiswa tersebut terdiri dari empat materi. Materi pertama, Pendidikan Pancasila. Kedua, Bhineka Tunggal Ika. Ketiga, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keempat, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).[1]

Hal yang cukup menarik dari kegiatan MPKMB bukan pada pengenalan keempat materi tersebut. Pengenalan terhadap materi-materi itu, sebenarnya sangat membosankan mengingat semua itu sudah dikenalkan oleh lembaga pendidikan kepada peserta didik semenjak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), bahkan semenjak mereka duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), melainkan pada kehadiran tentara (TNI) di dalam penyelengaraan kegiatan tersebut. Kehadiran TNI di lembaga pendidikan (tentara masuk kampus) adalah pemandangan yang tidak asing pada zaman rezim paranoid Orde Baru masih berkuasa. Namun, pemandangan itu cukup mengherankan pada zaman pascareformasi atau pascaditumbangkannya Orde Baru.

Ketika gerakan prodemokrasi bergerak menumbangkan rezim orde baru, salah satu agenda terpentingan gerakan itu adalah menghapuskan militerisme. Rakyat Indonesia pada saat itu sudah muak dengan militerisme. Militerisme yang menjadi penopang utama bangunan rezim paranoid Soeharto (baca: Orde Baru) memainkan peran yang sangat merusak kehidupan demokrasi, hak asasi manusia, dan hak terhadap kesejahteraan ekonomi rakyat miskin. Militer tidak hanya dengan ketat mengawasi kegiatan-kegiatan rakyat yang mereka anggap bertendensi mengancam kepentingan rezim Orde Baru yang sangat patuh terhadap kepentingan modal imperialis, tetapi juga merepresi dengan kejam kegiatan-kegiatan itu. Pembunuhan terhadap buruh perempuan, Marsinah, pembinasaan terhadap wartawan koran bernas, Udin, perampasan paksa lahan-lahan produktif untuk kepentingan industri sudah cukup merepresentasikan kekejaman dari militerisme.

Hal yang harus selalu diingat, ketika militer melakukan penindasan terhadap ruang-ruang demokrasi, dalih yang mereka gunakan untuk melakukan semua itu adalah penegakan ideologi Pancasila, Pembelaan terhadap NKRI, dan UUD 45. Melalui semua dalih itu, militer dengan ganas membekuk, membungkam, dan membunuh kaum aktivis yang telah melontarkan pikiran-pikiran dan membangun gerakan-kerakan progresif. Dengan dalih mengamankan NKRI mereka membinasakan orang-orang yang dianggap mengancam keutuhan NKRI seperti pembantaian orang-orang Aceh, Timur-Timor, dan Papua sambil menyembunyikan kepentingan kelas pemilik modal yang pada hakikatnya adalah tuan dan Tuhan mereka. Dengan dalih mengamankan pancasila, mereka baik secara langsung maupun melalui para preman dan ormas-ormas reaksioner memburu, menangkap, menyiksa, dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa dengan dalih negara kita adalah negara pancasila bukan negara komunis sambil mempersetankan butir kemanusiaan yang adil dan beradab yang terdapat dalam pancasila itu sendiri.

Berangkat dari sejarah kekejaman militerisme yang ditulis dengan darah dan air mata tersebut, kehadiran militer dalam pendidikan Bela Negara di IPB sangat patut dicurigai. Sejarah militer di Indonesia telah membuktikan efektifnya militerisme dalam membungkam pikiran-pikiran kritis melalui pengoperasian mekanisme Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kehidupan Kampus (BKK) pada tahun 1970-an[2] yang dibarengi dengan berbagai tindakan represif di luar kampus. Melalui mekanisme intervensi kekuasaan ke dalam kehidupan kampus dan represi di luar kampus, tentara dapat mengontrol dan menindas pemikiran-pemikiran kritis dan membahayakan kepentingan modal. Bukti keefektifan itu, bisa jadi akan diulangi kembali hari ini, dan pengulangan itu dimulai dengan terlibatnya TNI dalam memberikan doktrin bela negara kepada mahasiswa-mahasiswa di Indonesia, salah satunya mahasiswa-mahasiswa baru di IPB.

Kelas pemilik modal sadar betul mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis memiliki potensi yang begitu kuat untuk merongrong kepentingan mereka, terlebih lagi saat ini mereka sedang stres karena dampak dari krisis kapitalis dunia yang meledak pada tahun 2008 yang tidak berkesudahan hingga hari ini. Oleh karena itu, kaum intelektual kampus yang berpotensi membuat mereka lebih stres harus dijinakkan melalui metode-metode lama yang digunakan oleh rezim Orde Baru: Menyelundupkan militer dalam dunia kampus!

Jadi, dibalik penyelengaraan pendidikan bela negara di IPB tersebut ada kepentingan horor yang membayang. Kepentingan itu, seperti hantu yang tidak terlihat, tetapi sangat berbahaya. Siapa pun yang sudi mempelajari sejarah militerisme di Indonesia pada zaman Orde Baru, sejarah yang jujur bukan sejarah yang sudah diobok-obok oleh kepentingan penguasa, hantu itu akan tampak nyata, gigi-gigi taringnya akan tampak menyeringai dan dilumuri oleh darah manusia yang tidak berdosa.

Berangkat dari situ, tidak berlebihan apabila digaungkan seruan tanda bahaya, “Awas ada hantu berkeliaran di IPB, hantu militerisme!”

Mahasiswa, Tentara, dan Pelarangan Ajaran Kiri

Seorang perempuan Marxis dari gerakan sosialis Chile, Carol Cariola, pernah mengatakan kalau kaum muda adalah kaum yang memiliki potensi revolusioner, dan potensi itu disebabkan oleh gejolak mudanya yang masih meledak-ledak. Lebih jauh, dia mengatakan, “pemuda yang tidak revolusioner adalah pemuda yang sedang mengalami kontradiksi biologis”.

Perkataan Carol Cariola itu, bukan tidak berdasarkan fakta. Kaum muda adalah kaum yang selalu mempertanyakan kondisi sosial yang sedang mereka alami, dan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka akan mencari jawaban yang tidak bersifat klise dan membosankan, yang telah dijejalkan ke dalam pikiran  mereka [oleh kelas penguasa] semenjak mereka duduk di bangku TK. Nah, jika pencarian mereka tidak dikendalikan oleh kelas penguasa modal, sangat mungkin mereka akan tertarik pada ajaran-ajaran kiri yang dapat mencerahkan pikiran mereka, tetapi membahayakan kepentingan kelas yang sedang berkuasa.

Kontrol dan represi harus dilakukan oleh penguasa entah melalui negara, TNI, maupun alat-alat lainnya. Kaum muda dilarang membaca buku-buku kiri, memiliki pikiran kiri, dan melakukan tindakan-tindakan kiri, dan salah satu cara yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mengawali semua itu adalah masuk ke kampus.

Ya, pelarangan ajaran kiri, tentu saja, terkait dengan kepentingan kelas yang sedang berkuasa. Kaum elite kekuasaan sangat takut apabila kekuasaannya dikiritk dan terancam ditumbangkan. Berangkat dari ketakutan itulah, tanpa menggunakan akal sehat, karena akalnya memang tidak sehat, kelas penguasa berupaya mengatur pikiran massa dan mahasiswa sesuai dengan kepentingan kelas mereka. Pikiran yang cerdas dan kritis sangat membahayakan bagi kestabilan mereka. Berangkat dari situ, kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa misi utama negara adalah pembodohan, bukan mencerdaskan rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 45. Dengan begitu, kelas penguasa Indonesia tengah mengalami kontradiksi pada dirinya sendiri.

Kontradiksi itu, akan tampak sangat nyata ketika kita menengok pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Pelanggaran HAM secara tegas dilarang oleh Pancasila dan UUD 45, tetapi pelarangan itu tidak mencegah polisi dan TNI melakukan pelangaran HAM di tanah bangsa Melanesia itu. Dengan dalih menjaga keamanan NKRI mereka menyiksa dan membunuh aktivis dan bangsa Melanesia, dan dalih inilah yang bisa jadi diserukan oleh TNI kepada mahasiswa-mahasiswa baru di IPB tersebut. “Pertahankan NKRI agar eksploitasi terhadap kekayaan alam Indonesia dan kelas buruhnya dapat tetap dipertahankan”, begitu kira-kira kepentingan kelas yang disembunyikan oleh penguasa.

Karl Libknecht, seorang Marxis Jerman, yang dibunuh bersama comrade-nya, Rosa Luxemburg, oleh tentara kaki tangan borjuis pernah menulis seperti ini, “Kalau pukulan dan pistol polisi tidak mampu menjinakkan pemogokan, tentara dengan senjata mematikan di tangan siap merepresi buruh”.[3] Hari ini, kalimat itu dapat diubah seperti ini, “Kalau hegemoni dan teori-teori borjuis dari para dosen tidak mampu menjinakkan pikiran kritis kaum muda, TNI dengan doktrin politik dan senjata mematikan di tangan siap menjinakkannya.


[1] Republik.co.id, Mahasiswa Baru IPB dapat Kurikulum Bela Negara. Sabtu, 03 Agustus 2019.

[2] Lihat: Adi Suryadi Cula, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergerakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908—1998), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

[3] Karl Liebknecht, Militerisme dan Antimiliterisme, IRE Press, Yogyakarta, 2004.

_________________________
Ismantoro Dwi Yuwono
Redaktur di Penerbit Paragraft, sebuah penerbitan yang fokus pada buku-buku kritis dan progresif.

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?