Resensi Buku

Tragedi Demokrasi dalam Jerat Kuasa Oligarki

Judul        : Dalam Moncong Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia
Penulis    : F. Budi Hardiman
Penerbit   : Kanisius
Cetakan    : Pertama; 2013
Tebal        : 112 halaman

Indonesia adalah negara demokrasi, begitu kata yang sering kita dengar dari para elite di pemerintahan. Walaupun terjadi berbagai gejolak dalam politik Indonesia, semuanya tetap dinyatakan berada di bawah payung demokrasi. Entah demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, maupun demokrasi pancasila. Namun tiap demokrasi tersebut memiliki wajah yang berbeda, sehingga timbul pertanyaan, apakah demokrasi itu? Mau ke manakah demokrasi Indonesia?

Pertanyaan itu membuat gusar banyak orang, termasuk F. Budi Hardiman. Buku Dalam Moncong Oligarki didekasikan sebagai perenungan akan kondisi demokrasi Indonesia yang telah lalu dan harapan terhadapnya. Terlebih banyak sekali permasalahan, atau yang disebutkan di buku ini sebagai skandal, yang sangat pelik dalam demokrasi Indonesia.

Masa peralihan dari masa otoriter Orde Baru ke era Reformasi dilihat sebagai titik keberangkatan untuk memulai refleksi terhadap demokrasi. Budi Hardiman melihat Orde Baru sebagai suatu periode otoriter yang penuh grand design akan negara, bangsa, dan masyarakat. Reformasi menandakan keruntuhan grand design tersebut. Mengutip Claude Lefort, demokrasi ditopang oleh penghapusan penanda-penanda kepastian (hal. 8). Termasuk di dalam penanda kepastian itu adalah grand design ala Orde Baru seperti Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Hal ini tidak berarti bahwa demokrasi berjalan tanpa arah karena tiadanya grand design. Posisi yang ditempati grand design tersebut menjadi suatu ruang hampa yang akan diisi oleh preferensi demokrasi. Demos (rakyat) yang menjadi inti demokrasilah yang seharusnya menempati ruang hampa tersebut. Namun, yang terjadi justru kontestasi. Itu karena tidak hanya demos yang ingin menempati ruang tersebut, tetapi juga para oligark. Sehingga terjadilah skandal demokrasi, yakni oligarki.

Budi Hardiman menggunakan argumen Michael Walzer mengenai 5 preferensi demokrasi sebagai landasan untuk jawaban pertanyaan quo vadis (ke mana) demokrasi Indonesia. Kelima preferensi itu adalah republikanisme, marxisme, kapitalisme, nasionalisme, dan masyarakat warga (civil society). Di antara kelima preferensi tersebut masyarakat warga dianggap sebagai preferensi yang paling tepat untuk demokrasi. Keutamaan masyarakat warga adalah preferensi ini mencakup 4 preferensi lainnya. Sehingga masyarakat warga dinyatakan sebagai latarnya latar (setting of settings) (hal. 19).

Masyarakat warga memusatkan kekuasaan pada demos sesuai dengan hakikat demokrasi. Sehingga masyarakat warga juga memiliki kemampuan untuk mengkritisi pemerintah. Mengikuti argumen Habermas, masyarakat warga dinyatakan memiliki daya untuk meresonansi suara atas ketidakadilan agar terdengar. Namun kala preferensi demokrasi hanya berada dalam tangan segelintir orang, demokrasi hanya akan berujung oligarki. Menurut Jeffrey A. Winters, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material” (hal. 22).

Oligarki adalah dalang di balik skandal demokrasi Indonesia. Berdasarkan klasifikasi preferensi-preferensi sebelumnya, penulis melakukan analisis terhadap demokrasi Indonesia dari era Orde Baru, saat marxisme sudah dilenyapkan dalam lanskap politik Indonesia. Preferensi yang mendominasi Indonesia adalah pasar dan agama. Kedua preferensi ini menghasilkan skandalnya masing-masing.

Pasar sebagai preferensi mengubah gramatika kepentingan bersama menjadi kepentingan diri (hal. 28). Hal ini mengubah tatanan simbolis masyarakat menjadi bertautan dengan kepentingan pasar. Akibatnya merangsek pada 3  wilayah yang penting bagi publik yakni pendidikan, media, dan gerakan sosial. Ketiganya menjadi terikat pada pasar dan mengacu pada logika industri. Dari sebagai wilayah yang harusnya mengutamakan kepentingan masyarakat justru tunduk pada pasar. Sehingga penulis menyebutnya sebagai skandal solidaritas karena solidaritas telah tiada, berganti menjadi persaingan ala pasar.

Agama juga bukan merupaka preferensi yang tepat. Kelebihan agama yang paling utama adalah kuatnya legitimasi moral (hal. 36). Namun agama sebagai preferensi demokrasi sudah bukan lagi sebagai suatu spiritual melainkan ideologi dan kerap kali condong pada fundamentalisme (hal. 45). Perubahan tersebut juga membuat agama sebagai preferensi justru menghasilkan kontradiksi-kontradiksi dan standar ganda.

Namun kedua preferensi tidaklah sebagai sebab tunggal dari kekacauan demokrasi Indonesia. Elite di belakang berlakunya preferensi tersebut juga menjadi penyebab. Oligarki memilih arah yang akan ditempuh demokrasi Indonesia. Tujuannya jelas bukan kepentingan bersama melainkan, sesuai dengan definisi oligarki itu sendiri, mempertahankan kekayaan material mereka, atau bahkan menambahnya.

Buku ini juga dilengkapi dengan ekskursus. Isi ekskursus adalah esai-esai lain mengenai demokrasi dengan landasan teori yang berbeda dari sebelumnya. Ekskursus ini memberi sudut pandang lain dalam analisis terhadap demokrasi. Teori-teori tersebut dapat menjadi alternatif pencarian jawaban quo vadis demokrasi Indonesia.

Ekskursus pertama mengamati demokrasi menggunakan teori sistem Niklas Luhmann. Cara kerja demokrasi yang tidak beres dilihat melalui teori ini. Luhmaan mengemukakan tiga macam sistem yaitu mekanis, organis, dan semiotis. Dalam analisis penulis, rezim otoritarian Orde Baru diletakkan sebagai sistem semiotis yang terus menerus berusaha melakukan penaklukan secara ideologis melalui bahasa dan teror. Namun sistem itu berusaha hadir sebagai sistem organis. Gangguan-gangguan yang ada, yang dalam teori sistem disebut entropi, harus dilenyapkan seperti halnya penyakit.

Ekskursus kedua mengajukan demokrasi deliberatif sebagai solusi. Demokrasi deliberatif tidak lagi bertumpu pada elite melainkan pada massa. Hal ini karena demokrasi seringkali memperlakukan massa sebagai sekadar voters. Suara mereka hanya sebatas pemilih, sementara pilihan yang diajukan berasal dari oligarki dan partai politik yang sudah selayaknya kartel.

Ekskursus ketiga adalah analisis terhadap penerapan toleransi di Indonesia. Toleransi harus dijalankan secara tepat karena akan berhadapan dengan pihak intoleran. Merujuk pada Gunnar Myrdal, terkadang negara menjadi negara lembek kala berhadapan dengan pihak intoleran. Hasilnya adalah toleransi terhadap pihak intoleran. Hal ini justru membunuh toleransi itu sendiri.

Ekskursus terakhir adalah refleksi terhadap imaji kebangsaan. Selayaknya yang diungkapkan Benedict Anderson, bangsa adalah komunitas terbayang. Penulis menganggap kebangsaan, merujuk pada Richard Rorty, sebagai metafor yang merekatkan komunitas terbayang (imagined communities). Metafor ini kian memudar. Penulis berpendapat bahwa kebangsaan ini harus diwujudkan kembali tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga pemerintah sebagai pimpinan solidaritas bangsa.

Secara garis besar, buku ini mudah dipahami. Meski dalam beberapa bagian mengacu pada teori filsafat dan politik yang rumit, namun contoh yang dihadirkan membantu pemahaman. Ekskursus yang ada juga memberi sudut pandang lain yang sekaligus dapat digunakan untuk mengkritisi bagian buku yang lain. Kekuatan yang paling terasa dari buku ini adalah penjelasan yang ringkas, padat, namun kaya akan teori. Dalam masa jaya oligarki ini, buku ini memberi analisis yang tajam terhadap krisis politik karena persaingan elite oligarki.

___________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?