Oase

Mengubah Ide Lama, Menolak Diskriminasi Tionghoa

Diskriminasi pada etnis tertentu di Indonesia masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Posisi etnis minoritas dalam kehidupan berbangsa belum terjamin dengan baik, mereka sering kali dijadikan kambing hitam pada banyak situasi dan keadaan buruk yang menimpa masyarakat mayoritas. Hubungan antara minoritas dan mayoritas yang buruk tersebut sampai membuat Geger Riyanto menulis tulisan sarkatis berjudul “Di Altar Kehendak Mayoritas, Minoritas adalah Korban Sajian” di situs Indoprogress.

“Di altar kehendak mayoritas, minoritas adalah korban sajian yang diminta,” tulis Geger, mungkin dengan perasaan miris. Nasib para minoritas, terutama yang kondisi ekonominya buruk, seakan menjadi sebuah mimpi buruk kehidupan yang teramat sangat. Di Indonesia, misalnya, diskriminasi yang cukup sering terjadi diarahkan pada etnis Tionghoa. Mereka dianggap sebagai perampok kekayaan “pribumi”, para manusia yang hanya suka mencari uang saja. Beragam usaha sudah dilakukan untuk meperteguh kesatuan dan menghilangkan prasangka rasialis tersebut. Namun, nyatanya keadaan tak banyak berubah. Mungkin ada baiknya kita menyimak persoalan mengenai “ide baru” dan “ide lama” untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut.

Pada kasus diskriminasi etnis yang diarahkan pada orang Tionghoa, kita mengibaratkan usaha pemerintah untuk meperteguh kebhinekaan sebagai suatu ide baru yang hendak dijalankan. Ide lamanya, berupa pandangan dan presepsi kebanyakan masayarakat mengenai orang-orang Tionghoa Indonesia. Ide lamanya terwujud dalam pemikiran seperti apa? Yaitu anggapan bahwa orang Tionghoa seluruhnya culas dan licik, hanya mau berdagang serta mencari uang dan tak mau ikut serta dalam usaha pembangunan bangsa. Dalam pemikiran ide lama ini, orang Tionghoa Indonesia digambarkan sebagai etnis yang sungguh buruk perangainya, dan lebih lagi, sebagai suatu masayarakat yang tidak termasuk dalam bagian internal bangsa Indonesia.

Tentu saja usaha merawat dan meningkatkan kebhinekaan hanya akan menjadi omong kosong serta sia-sia belaka tanpa terlebih dahulu mengubah pandangan negatif masyarakat yang sudah lama terpatri tersebut. Sejak Soeharto melakukan kudeta merangkak seusai peristiwa 1965, politiknya jelas-jelas terlihat dijalankan untuk memarginalkan kaum Tionghoa demi keuntungannya sendiri, baik politik maupun ekonomi.

Peraturan-peraturan rasialis bahkan dibentuk tanpa tedeng-aling oleh pemerintahan Soeharto. Itu terwujud misalnya, dalam Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina, Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina, ataupun Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.

Ditambah lagi dengan manuever politik yang dijalankan Soeharto kepada para pengusaha Tionghoa. Secara sengaja, sembari menerapkan kebijakan rasis dan menanamkan kebencian pada etnis Tionghoa, Soeharto malah memajukan beberapa penguasaha Tionghoa sebagai mitra bisnisnya. Mengenai paradoks ini, Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan (2015) menulis, “Favoritisme ini berfungsi untuk menghasut masyarakat atau mengipas-ipasi semangat anti-Tionghoa di masyarakat.”

Jadi, secara lebih gamblang, Ariel Heryanto menuliskan bahwa setiap kali terjadi ketegangan politik dalam perpolitikan negara di zaman Orde Baru, pemerintah dapat dengan mudah memicu kekerasan massal anti Tionghoa, yang memberikan tiga keuntungan. Pertama, hal tersebut membuat kemarahan masyarakat tidak terarah pada pemerintah, melainkan kepada etnis Tionghoa. Kedua, hal tersebut membuat etnis minoritas kaya akan terus bergantung pada perlindungan dari pejabat tertentu di pemerintahan, sekaligus terus meningkatkan ongkos pemerasan yang harus mereka bayar untuk “bantuan” tersebut. Dan yang terakhir, lingkaran kekerasan massa anti Tionghoa yang dirancang ini membuat aparat keamanan memiliki alasan untuk menjelek-jelekkan, menahan, atau menghukum tokoh-tokoh oposisi.

Dalam keadaan di mana presepsi negatif terhadap etnis Tionghoa sudah ternanam kuat dan pada masa lalu memang sengaja diciptakan pemerintah, rasanya hampir mustahil untuk bisa mewujudkan ide baru persatuan dan kesatuan bangsa yang hendak merangkul seluruh elemen bangsa. Langkah pertama yang harus dilakukan dengan gencar justru bukanlah mengadakan berbagai seminar atau acara rekonsiliasi, tetapi mengikikis dahulu ide-ide lama buruk tersebut.

Guna mengikis ide-ide lama tersebut, kita patut mengapresiasi usaha dan cara Azmi Abubakar untuk meniadakan pemikiran buruk terhadap orang Tionghoa Indonesia. Sebagai seorang yang beretnis Aceh dan bukan Tionghoa, Azmi mengumpulkan segala kepustakaan Tionghoa Indonesia dan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Itu dilakukannya karena prihatin terhadap kondisi persatuan bangsa Indonesia, terlebih pada peristiwa kerusahaan 1998 di mana banyak etnis Tionghoa dijadikan sasaran kebencian massa yang mengamuk.

Dalam wawancara dengan penulis, Azmi mengatakan bahwa ia ingin berbagi informasi seputar etnis Tionghoa kepada khalayak ramai. Menurutnya, jika informasi mengenai orang Tionghoa tersampaikan ke masyarakat, kita bisa mengeliminasi sedemikian rupa cara pandang negatif masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Selama ini, menurutnya kebencian pada etnis Tionghoa tercipta karena masyarakat masih banyak yang belum mau mengenal lebih dekat etnis tersebut. Itu menyebabkan informasi yang diketahui soal orang Tionghoa hanya terbatas pada mereka yang terlihat bergelut di bidang ekonomi saja.

Padahal kenyataannya, etnis Tionghoa banyak pula bergelut di bidang lain seperti olahraga, kesenian, politik, dan bahkan gerakan kemerdekaan. Orang Tionghoa yang digambarkan semata-mata sebagai pengusaha bisnis kaya raya merupakan presepsi yang dibangun oleh Orde Baru. Faktanya, kita bisa dengan mudah menemukan komunitas Tionghoa Cina Benteng yang bukanlah sekumpulan masyarakat Tionghoa kaya, tetapi komunitas etnis yang kebanyakan warganya bekerja sebagai petani, dan ada pula yang menjadi tukang becak serta tukang pangkas rambut.

Lebih jauh lagi, Azmi juga berencana memasukkan pembelajaran mengenai sumbangsih orang Tionghoa Indonesia kepada negara melalui instansi pendidikan dengan cara mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Banten. Selama ini, tidak ada jejak-jejak tokoh perjuangan Tionghoa dalam buku pelajaran meskipun jumlah mereka cukup banyak. Seperti misalnya Liem Ko Hian atau Yap Tjwan Bing. Dengan adanya informasi mengenai etnis Tionghoa dalam buku-buku pelajaran pemerintah, Azmi berpendapat bahwa kebhinekaan dapat lebih mudah diwujudkan. Tidak akan ada lagi pendapat bahwa etnis Tionghoa pengecut dan tak menyumbang apa-apa kepada negara. Tanpa adanya usaha-usaha seperti yang dilakukan Azmi Abubakar, mewujudkan integrasi bangsa dan meniadakan diskriminasi akan menjadi sesuatu yang sulit dan bahkan hampir mustahil dilaksanakan. Masyarakat jangan saja berkutat pada “ide-ide baru”, tetapi juga melakukan usaha yang bisa menanggalkan ide lama yang sudah mengakar di dalam benak masyarakat. Jika tidak demikian, pernyataan bawa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bhineka hanya akan menjadi omong kosong belaka.

_____________________
Miguel Angelo
Seorang Mahasiswa yang bekerja sebagai editor di penerbitan Pustaka Kaji

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Untuk mendapatkan email secara otomatis dari kami jika ada tulisan terbaru di bukuprogresif.com, silahkan masukan email anda di bawah ini dan klik Subscribe. Setelah itu, kami akan mengirimkan email ke anda dan silahkan buka dan konfirmasi.

Related posts

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?