CERPEN: Riwayat Dipan
Dipan itu letaknya persis di bawah pohon mangga di samping rumah Kopong. Tempat santai dari bambu itu sudah akrab sekali dengan ribuan pantat manusia yang duduk di atasnya. Tidak hanya pantat manusia, pantat piring dan gelas pun sudah tidak asing lagi dengan dipan. Di sana, di dipan itulah keluarga Kopong menghabiskan malam dengan kisah-kisah leluhur sambil menikmati jagung titi buatan Ibu.
Dipan itu sudah ada jauh sebelum Kopong lahir. Tempat itu sudah seperti meja makan kedua bagi keluarga Kopong. Di sana, Ama melepas keringat setelah pulang dari kebun. Di sana, Kopong dan teman-temannya bermain kartu sambil menikmati jagung titi buatan Ibu. Di sana, Ibu dan tetangga menghabiskan waktu mencari kutu saat pekerjaan dapur selesai.
Bapak merawat dipan seperti merawat Kopong. Kalau ada bagian yang reyot, Ama dan Kopong akan pergi ke kebun, memotong bambu, dan mengganti bagian yang reyot. Tamu-tamu yang datang pun seperti terhipnotis dengan keberadaan dipan. Bagi mereka, lebih enak duduk di dipan dan menikmati udara segar daripada harus melawan panas di ruang tamu.
Hampir semua tamu yang datang selalu begitu. Ibu terpaksa harus memindahkan makanan dari meja makan di dapur ke dipan. Di dipan itu, banyak kesepakatan telah terjadi. Di dipan itu, kisah cinta Bapak dan Ibu dimulai. Keduanya sering bertemu di malam minggu dan duduk di dipan itu.
Kopong sangat mencintai dipan lebih dari tempat tidurnya sendiri. Ibu pernah berkisah kalau dulu saat Kopong masih kecil, Kopong selalu disusui di atas dipan. Kopong juga lebih sering dibaringkan di atas dipan kalau Ina lagi memasak di dapur.
Cinta akan dipan membuat Kopong membenci siapa saja yang hendak membongkarnya. Kopong sempat mendengar kabar burung dari tetangga kalau dia lahir di dipan itu. Waktu itu, rumah mereka yang sekarang sedang dibangun sehingga tidak ada tempat yang layak selain dipan itu agar Ibu bisa melahirkan Kopong. Bibir Kopong belum sepenuhnya menyentuh pisang goreng buatan Ibu saat Bapak datang dengan kabar buruk itu.
“Dipan ini akan dibongkar.” Bapak bicara pelan.
“Memangnya dia ada salah? Tidak. Aku tidak akan biarkan dipan ini dibongkar.” Suara Kopong meninggi.
Rencana pembongkaran dipan disampaikan oleh Ama Belen, kakek Kopong. Ama Belen datang pagi tadi. Jenggot panjangnya dan keriput kulitnya menyiratkan perjuangannya membesarkan Ibu. Keluarga Kopong sangat menghormatinya. Perkataannya bagai dogma. Kopong juga sangat menghargai Ama Belen.
“Dipan itu harus dibongkar.” Kata Ama Belen sambil mengelur jengggotnya.
“Tapi itu tempat bermain Kopong. Itu tempat kami berkumpul.” Kata Bapak membela.
“Untuk apa kau bangun rumah besar ini kalau tempat berkumpulmu di luar rumah. Pokoknya dipan itu harus dibongkar. ”
Bapak hanya bisa diam. Menyelah mertuanya itu sama saja membuat persoalan baru. Ama pernah dikecam karena Ibu jatuh sakit. Pernah juga, Bapak dimarahi karena belum memberikan cucu padanya. Maka, diam adalah cara terbaik untuk menghadapi Ama Belen.
“Kenapa dipan itu harus dibongkar? Biarlah dia tetap di sana. Bukankah dulu Ama yang mau dipan itu dibangun?” Ibu mencoba merayu ayahnya.
“Iya memang. Justru itu aku menyuruh membangun dipan maka aku juga punya hak untuk menyuruh kalian membongkarnya.”
“Tapi kenapa? Dipan itu punya sejarah bagus untuk keluarga kita. Di sana, Bapak mengajariku berdiri. Di sana Ibu menyusuiku saat rumah kita dibangun. Di sana aku berbaring dan membuang kotoran. Bukankah di sana ibu menguyah makanan dan memasukkan ke dalam mulutku?”
“Diam Kewa. Kau jangan mengajari Bapak tentang sejarah. Semuanya harus dibongkar.”
Kopong orang yang paling bersedih saat tangan kakeknya, Ama Belen sendiri yang membongkar dipan. Tidak ada yang berani melawan. Kopong merasa tidak dicintai oleh kakeknya itu. Bapak diam saja. Ibu hanya bisa menghapus air mata Kopong.
Peristiwa pembongkaran itu menimbulkan banyak tanya. Pertanyaan itu tidak dipedulikan oleh Ama Belen. Dia mengubah tanah halaman rumah dengan memasang lantai kasar. Pohon dan tanaman digusur dan dibuat lantai dari semen.
“Begini kan rapi.” Kata Ama Belen sambil tersenyum.
“Apa artinya tersenyum kalau ada yang masih menangis.” Bapak menyelah.
“Kenapa Ama Belen membongkar dipan?”
“Sudahlah. Jawabku tak akan membuat dipan kembali berdiri.”
Dipan sudah tak ada. Bambu untuk membuat dipan sudah ibu gunakan untuk memasak air dan nasi. Kopong dan kawan-kawan tak lagi bermain kartu di tempat itu. Halaman rumah Kopong sepi. Mereka lebih memilih bermain di rumah masing-masing. Entah mereka kehilangan dipan atau takut pada Ama Belen.
Kisah-kisah leluhur tak lagi jatuh dari mulut Bapak. Bapak langsung mandi setelah pulang dari kebun. Bapak menikmati kopi sendiri di meja makan. Tak ada lagi tempat dan waktu berteduh dan melepas lelah sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring jagung titi buatan Ibu. Tamu-tamu yang datang menyayangkan pembongkaran dipan. Ya, mereka harus berjuang dengan panas di dalam ruang tamu.
Malam itu setelah mendengar kisah dari kakeknya, Kopong membuka mulut. Ibu dan Bapak sedang pergi ke kampung tetangga. Ini pertama kali dia berbicara empat mata dengan kakeknya.
“Kenapa kakek membongkar dipan?” Kopong membuka mulut pertama kali kepada kakeknya itu.
“Cucuku, kau masih kecil untuk mengerti.” Ama Belen mengelus rambut cucu pertamanya itu.
“Kakek tidak sayang padaku. Kakek merusak tempat tidur, tempat bermain, dan tempat aku bergembira, dan tempat aku dilahirkan.”
“Kopong, kakek sayang padamu. Tidurlah.”
“Tidak!! Kakek tidak sayang padaku. Kakek jahat. Aku benci kakek.” Kopong menangis.
Air mata Ama Belen jatuh. Ama Belen tertunduk. Kopong terdiam tapi air matanya masih jatuh.
“Mengapa kakek menangis?”
“Kopong, kakek membongkar dipan itu karena kakek tak mau cucu kakek bermain, tidur, dan makan di atas kuburan.” Suara Ama Belen terbata-bata.
“Kuburan? Kuburan siapa Kakek” Kopong terperangah.
“Di sana, jauh sebelum ibumu lahir, kakek telah membunuh seseorang dan menguburnya di sana, di tanah di bawah dipan.
___________________________
Fian Watu
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere.
Tinggal di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret dan anggota Teater Tanya. Mencintai cerita-cerita kampung.