Esai

Membudayakan Membaca, Melawan Sesat Pikir

Berbicara tentang dunia pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kata literasi. Literasi dalam pengertian yang sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Di Indonesia budaya membaca dan menulis masih sangatlah minim. Data UNESCO menunjukan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat membaca. Sedangkan Duta Baca Indonesia Najwa Shihab memaparkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 1 buku per tahun dan itu pun belum tentu buku yang bermanfaat. Padahal pendidikan dan kemampuan literasi adalah hal yang begitu penting dalam perkembangan dunia yang mengglobal saat ini.

Bukan hanya minat membaca saja yang rendah tetapi minat menulis masyarakat Indonesia pun masih rendah. Membaca dan menulis dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena membaca merupakan referensi untuk menulis. Jika sudah malas membaca bagaimana bisa seseorang untuk menulis. Padahal dengan menghidupkan budaya literasi akan meningkatkan mutu pendidikan yang ada di sebuah negara.

Membaca itu bukan hanya perihal menambah wawasan atau pengetahuan tetapi juga perihal merasa. Dengan membaca kita bukan hanya memahami teks yang tertulis dalam buku itu tetapi merasakan apa yang sebenarnya penulis inginkan dan diterapkan dalam dunia nyata. Seperti yang pernah dikatakan Maya Angelou “Aku belajar bahwa orang akan melupakan apa yang kau katakan, orang akan melupakan apa yang kau lakukan tetapi orang tidak akan melupakan bagaimana kau membuat mereka merasa”.

Data UNESCO menunjukan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat membaca.

Jika tengok ke masa lampau, tokoh-tokoh masa lalu begitu gencar dalam gerakan literasi. Budaya literasi seperti udara yang selalu dihirup dan dibutuhkan. Contohnya saja Soe Hok Gie seorang mahasiswa yang sangat kritis yang selalu mengirimkan tulisan-tulisannya di berbagai media misalnya koran. Ia menuangkan pemikirannya dan apa yang dia lihat dalam sebuah tulisan. Walaupun berbeda generasi dengan Soe Hok Gie, berkat tulisan-tulisan yang ia tuangkan di catatan harian dan di berbagai media membuat kita mengenal siapa itu Soe Hok Gie, cita-citanya dan bagaimana garis pemikirannya. Tak salah jika Pram mengatakan “Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”

Di era modern ini, budaya literasi sangat dibutuhkan untuk mencegah lunturnya budaya lokal akibat dari hegemoni budaya global yang sangat kuat dan mendominasi berbagai lini kehidupan. Kita tidak dapat menolak perkembangan zaman yang kian hari semakin modern tetapi dengan membaca kewarasan kita tetap terjaga di tengah arus globalisasi yang begitu deras. Di era yang semakin modern membuat masyarakat dengan mudah membaca lewat gadget. Namun kemudahan itu tidak serta merta membuat minat membaca dan menulis masyarakat meningkat. Sebagian masyarakat memang membaca melalui gadget tetapi yang dibaca terkadang belum tentu bacaan yang bermanfaat. Banyak masyarakat yang mengakses bacaan seperti berita hoax kemudian ditelan mentah-mentah karena analisis kritisnya tidak terbentuk melalui budaya membaca.

Membaca melalui gadget tidak disalahkan, karena literasi sebenarnya adalah program yang tidak terbatas, misalnya hanya dapat membaca yang berasal dari buku saja. Hanya saja terkadang masyarakat belum mampu memfilter keabsahan berita apa yang mereka baca. Jika dilihat sebenarnya mengapa minat membaca dan menulis itu rendah? Padahal di tengah zaman yang semakin canggih seharusnya membuat masyarakat lebih tertarik dengan membaca karena tidak perlu repot-repot membeli buku atau mencari satu buku di rak perpustakaan. Selain itu, pemerintah telah melakukan upaya seperti perpustakan keliling, taman baca, dan berbagai kegiatan lainnya yang diharapkan dapat mendekatkan anak-anak terhadap dunia membaca dan menulis. Tetapi hal itu masih saja belum dapat meningkatkan minat baca anak didik atau masyarakat di Indonesia.

Hal ini diakibatkan karena dunia pendidikan kita dari dulu hingga sekarang tidak membangun fondasi dasar yaitu kesukaan terhadap membaca dan menulis. Bukan hanya itu, didalam keluarga tidak dibangun budaya membaca. Anak didik hanya dituntut untuk menghafal begitu banyak rumus dan mengerjakan begitu banyak tugas tapi tidak dituntut untuk membaca buku. Mereka membaca tetapi hanya membaca buku yang dilegalkan dari sekolah. Selain buku pelajaran, anak didik tidak tertarik untuk menambah referensi mereka selain buku yang diberikan oleh pihak sekolah.

Anak didik hanya dituntut untuk menghafal begitu banyak rumus dan mengerjakan begitu banyak tugas tapi tidak dituntut untuk membaca buku.

Untuk meningkatkan kebiasaan membaca dan menulis anak didik di Indonesia, maka ada dua hal yang perlu dilakukan. Yang pertama, Membiasakan membaca dan menulis dari keluarga. Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam membangun minat membaca dan menulis anak. Seperti yang kita ketahui bahwa keluarga merupakan tempat pertama anak-anak belajar nilai-nilai yang tidak didapatkan di sekolah atau lingkungan sekitarnya. Melalui keluargalah kepribadian-kepribadian anak tersebut akan terbentuk. Orang tua harus mengenalkan sejak dini kebiasaan membaca dan menulis kepada anak-anaknya. Ketika di dalam keluarga sudah dibudayakan kebiasaan membaca dan menulis maka tidak akan menjadi hal yang baru bagi anak didik jika pihak sekolah mengenalkan budaya literasi ini.

Yang kedua, pemerintah Indonesia perlu memasukkan budaya literasi dalam kurikulum Indonesia. Misalnya dengan gerakan membaca satu buku satu bulan. Gerakan ini memang sudah diterapkan di sebuah yayasan ilmu agama kota Bandung Jawa Barat tetapi tidak salahnya ini di masukkan dalam kurikulum pendidikan Indonesia sehingga hal ini legal dan menjadi sebuah keharusan seperti mempelajari matematika atau mata kuliah lainnya. Selain itu, syarat kelulusan anak didik jangan hanya yang diuji tentang MIPA, Bahasa Indonesia, bahasa Inggris tetapi diminta untuk membuat tulisan mereka sendiri. Ini merupakan cara terbaik untuk membuat anak-anak sedini mungkin terbiasa dengan dunia menulis.

Dimana dari PAUD hingga tingkatan kuliah dituntut untuk membaca satu buku dan menuliskan apa yang mereka telah baca. Bacaan dan jumlah yang harus dibaca pun bervariasi tergantung tingkatan pendidikan mereka. Ketika dari kecil anak-anak sudah dibiasakan baca buku minimal 1 buku satu bulan, beranjak dewasa ini bukan lagi menjadi suatu hal untuk memenuhi nilai tetapi menjadi suatu dorongan untuk mengetahui dunia lebih luas. Itu karena dengan membaca, kita berarti tengah melawan sesat pikir. Artinya membaca adalah untuk merdeka dari kebodohan, kebebalan, dan pikiran yang sempit,

_____________________________
Prilia Resa Anggriana
Lahir di Surabaya,  saat ini tengah menjalankan studi di
Jurusan Administrasi Publik  – Universitas Merdeka Malang

________________________________
Jika
kawan-kawan hendak mengirimkan tulisan untuk dimuat di bukuprogresif.com, silahkan lihat syarat dan ketentuan ini.

Related posts

5 Thoughts to “Membudayakan Membaca, Melawan Sesat Pikir”

  1. Harry harminus loho

    Sangat tepat, saya salut sekali untuk mempromosikan kenapa orang indonesia 100% persen tdk igin membaca atau mungkin iru kelalaian kami?
    Saya rasa ketika kita jadwalkan membawa henfon, kita bisa merasahkan sendiri. Kenapa hampir semua orang tidak pernah sejarahkan membaca, itu artinya kelalaian kami.

  2. Edward

    Benar sekali. Budaya membaca kita sangat lemah.
    Semoga kebiasaan membaca bisa disadari oleh suami-istri atau keluarga muda,,,
    Sehingga nantinya,,,,anak-anak mereka bisa memiliki kebiasaan membaca yang baik.

  3. Meli

    Semoga org yg membaca opini ini setelah baca langsung berubah menjadi Kutu buku dimanapun dia berada. Amin

    Opini sangat bermanfaat

  4. geri

    iya betul, ini karna sistem kapitalisme yg membuat masyarakat tidak lagi bergantung pada berita atau tulisan (opini, terkait kajian, pandangan akan sesuatu, analisis sosial dll) yg yang sifatnya percetakkan. indonesia adalah negara kedua dari tingkatan akhir yg minat baca masyarakatnya sangat kurang. dari sistem inilah (kapitalisme) yang mendoktrin pikiran yg akhirnya membuat ketergantungan akan prodak kapitalis seperti android dan lain sebagainya. pendidikan sekarang pun tidak mengajarkan siswa/mahasiswanya berpikir kritis. mereka hanya di ajarkan “menghafal” tanpa mendalami ilmu yg mereka pelajari. budaya seperti itul, merupakan indikator pembentuk pola pikir yg “instan” sekaligus karakter masyarakatnya.

  5. thesa Lassa

    Setelah saya membaca sekian teks yang memang benar Dri sekian warga negara indonesia cuma satu orang saja yang masih punya niat untuk membaca .membaca itu adalah salah satu skenario bagaimana kita bisa menjadi seorang penulis yang bisa mengisahkan tentang perjalanan hidup kita untk kedepannya .baca itu salah satu unsur dan pedoman hidup bagi siapa pun yang membacanya dan hal yang sangat penting bagi siapa saja karna dengan membaca kita bisa meningkatkan pola pikir kita dan dalm hal membaca pastinya harus ada perasa karna dengan begitu kita bisa tahu dan bisa mengerti konsekuensi yang ada.

Leave a Comment

× Ada yang bisa kami bantu?