Absurditas Cinta Mas Pur dan Novita dalam Belenggu Disiplin Pasar
Kisah cinta Mas Pur (Furry Setya Raharja) dan Novita (Putri Anne) dalam layar kaca “Tukang Ojek Pengkolan” yang berakhir getir telah memantik perbincangan hangat. “Mau gimana juga kan mami ga setuju Mas Pur, mami kan lebih senengnya sama Mas Radit. Ya daripada kita terlalu panjang, terlalu keburu, terlalu nyaman, sepertinya lebih baik udahin aja” ujar Novita sembari menangis. Mas Pur tampak berupaya untuk tegar.
“Aku harus melihat kamu bahagia, meskipun kamu bahagianya sama orang lain bukan sama aku,” balas Mas Pur menyetujui untuk berpisah.
Bagaimana bisa saling mencintai akan tetapi saling berpisah untuk menjadi sama-sama bahagia? Absurd bukan?
Itu berbeda dengan kisah cinta dari Minke dengan Annelies dalam sekuel novel Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer (disingkat Pram). Kisah mereka juga cukup getir. Dengan latar di era kolonialisme, hukum di Hindia-Belanda yang tidak memihak kaum bumiputera, menjadikan Annelies dipaksa diambil oleh keluarga Mellema (ayah Annelies) ke negeri Seribu Kincir Angin. Sebagai Gundik (Istri tak resmi, selir) dari Mellema, Sanikem (ibu Annelies) tidak memperoleh pengakuan, sehingga harta dan anaknya tidak diakui di mata hukum kolonial.
Annelies akhirnya meninggal di Belanda. Pram dengan cukup jeli mengkonstruksi kisah cinta ini menjadi suatu heroisme. Lewat perantara kisah cinta Minke dan Annelies maka realita ketidakadilan di tanah koloni ini dibuka lebar-lebar. Annelies tidak saja dirampas dari Ibundanya dan Minke, tapi juga di rampas dari tanah Nusantara. Tidak lebih seperti rempah-rempah dan hasil tambang yang dirampas dari negeri kita oleh para kolonialis.
Kisah cinta yang berujung perpisahan menjadi romansa yang selalu menyedihkan dan menyulut emosi serta simpati. Coba bandingkan dengan kisah cinta Florentino Ariza dengan Fermina Daza dalam novel Gabriel Garcia Marquez berjudul “Love in the Time of Cholera”. Ceritanya hampir mirip dengan kisah Mas Pur dengan Novita. Perbedaan kelas sosial, telah membuat cinta mereka dipaksa kandas.
Mas Pur sebagai tukang ojek dan Florentino sebagai buruh pengantar surat adalah bagian dari Kelas Proletariat, kontras dengan Novita dan Fermina yang lahir dari keluarga Borjuis. Seperti Fermina dengan terpaksa menolak Florentino, Novita juga digambarkan terpaksa menolak cinta Mas Pur. Keterpaksaan itu menunjukan bahwa ada “kekuatan lain” yang membatasi pilihan Novita walaupun begitu besar rasa cintanya kepada Mas Pur.
Komodifikasi Cinta?
Di era masyarakat yang terbagi-bagi dalam kelas sosial, masalah cinta tidak lagi menjadi urusan personal. Baik Mas Pur dan Novita atau Florentino dan Fermina, kisah cinta mereka tidak berada di ruang hampa. Walaupun kata pepatah “cinta itu buta” dan orang yang sedang jatuh cinta merasa dunia hanya milik mereka berdua, setelah mereka terbangun, berbagai tekanan sosial dan pilihan-pilihan mengerangkeng. “Kekuatan lain” yang membatasi dan menimbukan keterpaksaan itu terbentuk dari relasi yang dipengaruhi prinsip disiplin pasar di era kapitalisme sekarang ini.
Cinta secara mainstream telah menjadi komoditi. Cinta dipertukarbelikan untuk memperoleh laba, berupa kemapanan yang dapat memacu reproduksi sosial. Faktor keluarga dan tekanan dari masyarakat turut mempengaruhi. Di tengah budaya konsumerisme, maka muncul standart-standart tentang apa kriteria yang tepat menjadi suami atau menjadi istri dengan tolak ukur materi. Alibi pembenaran “cinta saja tidak cukup” membahana menyisihkan lagu “Can’t Buy Love” dari The Beatles.
Ukuran menyukai, hingga mencapai tahapan mencintai, selama ini telah membuat para Kapitalis menggelontorkan jutaan US Dollar untuk beriklan. Tujuannya agar ada realisasi nilai dengan terjualnya produk yang mereka iklankan. Para artis papan atas dibayar untuk membentuk citra itu. Konsumen bisa teralienasi (terasing) dengan membabi buta membeli produk berdasarkan keinginan dibanding kebutuhan.
Cinta yang menjadi komoditi, turut mengalienasi dua insan yang sudah saling berjanji untuk bersama. Sebelum menikah, ada tekanan untuk berlaku mewah agar tak malu dengan saudara, rekan kerja atau tetangga. Pekerjaan dengan ukuran layak harus ada sebelum dapat ACC dari calon mertua. Mereka terbelenggu oleh disiplin pasar bahwa keluarga ideal harus memiliki mobil ini, rumah tipe itu, dan barang-barang ini itu.Ya, hegemoni disiplin pasar telah menguasai. Secara budaya menjadi konsumeris, secara sosial-politik pro status-quo dan secara ekonomi untuk menopang akumulasi.
Para akademisi agraria kritis dalam penelitiannya tentang keluarga petani di Pedesaan Jawa menunjukan bahwa urusan Cinta (baca: pernikahan) turut didekte oleh kepentingan reproduksi sosial. Itu mengapa ada kriteria-kriteria tertentu yang memberi batasan-batasan pilihan, yang bisa memisahkan mereka yang tengah dilanda asmara.
Menyerah atau Melawan Pada Keterpaksaan?
Di tengah keterpaksaan akibat tekanan “kekuatan lain”, Novita akhirnya berbicara pada Mas Pur agar mereka berpisah. Cukup mengiris-ngiris perasaan melihat adegan keduanya berbicara untuk saling berpisah. Saling mencintai dan bersepakat untuk berpisah dengan atas nama cinta, adalah keabsurd-an.
Mengapa absurd? Karena keduanya menyerah pada keterpaksaan akibat belenggu disiplin pasar. Mereka menyerah ketika cinta sejati direbut oleh “kekuatan lain” menjadi komoditi.
“Tapi yang harus kamu ingat, di sini ada hati yang selalu dengan tulus menyayangi kamu” ungkap Mas Pur kepada Novita kemudian mereka berdua mengucap perpisahan.
Kisah mereka ini menunjukan kekalahan nurani atas kehendak liyan. Mereka menjadi orang-orang yang kalah dan pada akhirnya teralienasi dari cinta yang telah dirajut selama ini. Menyedihkan bukan?
Berbeda dengan kisa Mas Pur dan Novita yang menyerah pada keterpaksaan, Florentino tidak menyerah, dia melawan. Ketika ditolak oleh Fermina karena tekanan dari sang Ayah yang kaya raya, Fermina kemudian menikah dengan Dr. Juvenal Urbino.
Florentino Ariza menasbihkan diri untuk tidak menikah, untuk tidak menyerah pada belenggu. Dia bersetia dengan cintanya walaupun jatuh pada pelukan beberapa perempuan dalam cinta satu malam, namun cinta sejatinya hanya untuk Fermina.
Selama lima puluh satu tahun, sembilan bulan, dan empat hari setelah Fermina menolak cintanya, dia terus menunggu waktu yang tepat untuk kembali mengungkapkan perasaan itu. Sesuatu yang gila dengan atas nama cinta. Ketika suami Fermina meninggal, Florentino mendapati apa apa yang selama ini dinanti. Dia menyatakan cintanya yang abadi itu kepada Fermina lagi disaat rambutnya sudah memutih.
Fermina sempat marah dan kembali menolaknya. Akan tetapi tidak berselang lama mereka bersama untuk memadu cinta. Menghabiskan waktu di Kapal di sungai Amazon yang tak boleh berlabuh, karena wabah Kolera tengah menyerang di kapal itu. Artinya, cinta mereka yang mekar berseri, tak berselang lama akan abadi, karena kematian telah menanti.
Seperti kisah Mar Pur dan Novita, cukup absurd bukan kisah Florentio dan Fermina?
Tapi begitulah sewajarnya cinta, selalu butuh perjuangan, selalu butuh pengorbanan. Seabsurdnya Florentino, dia berani melawan keterpaksaan akibat belenggu disiplin pasar. Sementara Mas Pur dan Novita menjadi orang-orang yang kalah dalam perjuangan.
Kisah cinta Mas Pur dan Novita yang kandas, tidak patut untuk dirayakan. Kisah cinta mereka adalah simbol kekalahan terhadap “kekuatan lain” yang membatasi pilihan mereka untuk terus bersama. Perbedaan kelas sosial telah membuat Novita (dari kalangan Borjuis) mendapat tekanan sosial dari keluarga hingga masyarakat untuk memutus Mas Pur yang hanya seorang Proletariat (tukang Ojek). Mereka dipaksa kalah oleh keadaan, oleh ideologi disiplin pasar, yang memberi kriteria-kriteria tertentu dalam berpasang-pasangan.